Cemburu

2980 Kata
Aldefan’s POV Lampu merah tampak terang dan mencolok di suasana yang sedikit mendung. Kuhentikan mobilku. Suasana jalan masih ramai. Kota ini tak pernah tidur meski malam merangkak menuju hampir pukul sebelas. Aku bergelut dengan sesuatu yang aku sendiri tak tahu kenapa bisa sampai membuatku kalut seperti ini. Ada secuil resah meninggalkan Rayya seorang diri, namun aku juga ingin cepat-cepat bertemu Derrel. Kusentuh ujung bibirku. Jejak bibir Rayya seakan melekat begitu kuat. Aku masih bisa merasakan rasa mintnya. Aku dan dia memang pernah berciuman sebelumnya, tapi sensasinya tidak sekuat tadi. Rayya sudah mulai tahu bagaimana cara membalas sebuah ciuman. Ngomong-ngomong dia belajar dari mana ya? Dasar sinting, bagaimana bisa aku bepikir seperti itu. Manusia adalah makhluk yang kaya akan insting. Bahkan anak belasan saja tahu, mungkin malah jauh lebih ahli dari yang dibayangkan untuk soal seperti ini. Sungguh seumur hidup aku belum pernah berciuman dengan perempuan. Aku juga tak tahu kenapa tadi aku nekat mencium Rayya. Atau sebenarnya aku sudah menganggapnya benar-benar sebagai istriku? Aku tak terkejut akan sikap Rayya yang selalu memberiku kesempatan untuk bersinggungan secara fisik dengannya, entah menggenggamnya atau menciumnya. Dia memang ingin memberi dirinya kesempatan untuk jatuh cinta padaku. Atau mungkin dia sudah benar-benar jatuh cinta padaku? Aku merutuki diri sendiri. Sungguh, aku bahkan tak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan? Aku seperti terombang-ambing. Aku akui aku menemukan kenyamanan bersama Rayya. Tapi yang aku rasakan belum bisa dibilang sebagai cinta. Aku sendiri yang membuat kesepakatan untuk tak melibatkan hati pada pernikahan ini, tapi aku juga selalu mencoba membangun keintiman dengannya meski aku belum bisa memberinya nafkah batin. Aku belum menemukan ketertarikan padanya secara seksual. Aku mungkin baru tertarik pada karakternya. Suara klakson dari arah belakang mengagetkanku. Kulirik lampu lalu lintas. Rupanya lampu sudah berganti menjadi hijau. Buru-buru kujalankan mobilku sebelum pengendara di belakang membunyikan klaksonnya lagi. Sekitar dua puluh menit kemudian, aku tiba di pelataran parkir apartemen. Kulangkahkan secepat kilat untuk segera tiba di tempat Derrel. Kuketuk pintu. Aku tak perlu menunggu lama, karena pintu itu langsung terbuka. Derrel mematung dengan wajah sedikit pucat dan tatanan rambutnya awut-awutan. Tanpa berkata-kata dia berjalan kembali menuju sofanya, yang artinya dia sudah mempersilakanku untuk masuk. Aku cukup tercengang dengan penampakan beberapa botol wine di atas meja. Sepertinya Derrel sudah menghabiskan bergelas-gelas. Derrel jarang sekali mabuk. Saat ke club, dia hanya akan meminum sedikit wine atau tequila. Dia tak suka minum berlebih. Kuhempaskan badanku di sebelahnya. Derrel masih diam. Dia terlihat begitu lelah. “Kenapa kamu minta aku ke sini? Bukankah tadi kamu jalan bareng Martin?” “kamu pasti mikir aku dan Martin ada sesuatu, ya kan?” Aku menyeringai. Derrel tahu benar akan tabiatku. Aku memang sedikit posesif. “Sejak kamu menikah, kamu nggak pernah ngubungin aku. Apa salah kalau aku bertemu Martin dan ngobrol-ngobrol dengannya?” Derrel menuangkan wine itu lagi. Sebelum dia menyentuhkan gelas ke ujung bibirnya, aku segera merebut gelas itu. “Jangan terlalu banyak minum Rel. Kamu sudah minum banyak.” Derrel tersenyum sinis, “kamu belum tahu gimana rasanya ditinggal nikah ama orang yang dicintai.” Lidahku serasa kelu. Aku tak tahu harus berkata apa. “Sudah aku bilang kan pernikahan kami hanya untuk status. Ray itu lesbian, atau mungkin lebih tepat dibilang SSA. Dia mungkin belum tertarik padaku.” Derrel mengernyitkan dahi dan menatapku tajam, “mungkin belum tertarik? Berarti ada kemungkinan dia akan tertarik padamu? Atau malah dia memang sudah jatuh cinta ama kamu tapi kamu ragu. Oh aku ngerti sekarang. Kalian sedang mencoba untuk saling jatuh cinta.” Perkataan Derrel terdengar seperti tuduhan. Cecarannya membuat hatiku meradang. Aku masih mencintainya tapi dia menuduhku sedang belajar jatuh cinta pada Rayya. “Jangan berpikir macam-macam Rel.” “Genggaman tangan kalian di mall menggodaku untuk berpikir macam-macam.” Derrel beranjak dan membuka gorden yang menutup jendela. Tatapannya menerawang ke luar jendela. “Itu hanya sebuah genggaman Rel.” Aku masih duduk terpekur. “Hanya sebuah genggaman? Aku bahkan nggak bisa bayangin saat kalian tidur satu ranjang. Atau malah kamu udah tidur dengannya.” “Cukup Rel.” Segera kupotong perkataan Derrel. Aku mendekat ke arahnya. Dia belum mau menatapku. “Kami hanya pernah berciuman, nggak lebih dari itu.” “What?” Derrel menolehku dan ekspresi wajahnya menunjukkan keterkejutan luar biasa. “I think you start falling in love with her. How you can kiss her easily if you don’t have any feelings for her?” Derrel melotot seakan ingin menelanku mentah-mentah. “Every man can do that Rel. He can have s*x with anyone without feelings. So if I kiss her, it doesn’t mean I have feelings for her.” Balasku tak kalah keras. Derrel menyentilkan ujung jari telunjuknya ke dadaku, “you’re not that kind of person. I knew you..!” Derrel berbalik ke sofanya. Dia meneguk segelas wine di hadapannya. Aku kembali mendekat ke arahnya. “Sudah kubilang jangan minum lagi Rel.” Derrel menundukkan wajahnya. Badannya ikut membungkuk. Kedua telapak tangannya saling berpaut. Aku bertumpu di atas lutut dan mencoba melihat wajahnya yang tengah menunduk. Kuraih kedua pipinya. Kucoba mengangkat wajahnya. Namun Derrel mati-matian mempertahankan posisinya. “Derrel lihat aku.” Derrel menangkis tanganku. Isakan lirih terdengar mengalun syahdu dan telapak tanganku basah tertimpa linangan air matanya. Dia menangis. Begitu tecekat dan menyayat. Aku tahu dia sudah menahannya sedari awal aku masuk ke sini, dan sekarang pertahanannya roboh juga. Kurengkuh Derrel dalam pelukanku. Derrel menangis semakin keras. Semakin tercekat. Bahkan dia terdengar kesulitan untuk mengatur napas. Dan mataku pun membasah. Aku melupakan janjiku pada Rayya untuk pulang secepatnya. Aku tak sampai hati meninggalkan Derrel dalam keadaan seperti ini. “Kau tahu, pernikahanku nggak akan mengubah perasaanku padamu. I still love you.. and I will always love you.. Please don’t cry like this. Noone can replace your name in my heart..Kamu tahu kan? Aku sanggup menghadapi kesulitan apapun, tapi aku nggak bisa lihat kamu kayak gini.. Tolong demi aku, kamu harus kuat.” Derrel masih terisak. Dia mengeratkan pelukannya ke punggungku. Kepalanya bersandar di bahuku. Detak jantungnya bisa kudengar. Aku bisa merasakan sakit yang bergemuruh di hatinya. Bahkan aku akan lebih sakit melihatnya terluka dibanding merasakan luka yang ada di dadaku. Ya Allah, aku pikir tidak akan sesulit ini menjalani semuanya. Kini aku benar-benar melibatkan hati dalam pernikahanku. Aku tak mau melepas Rayya, tapi aku juga tak bisa meninggalkan Derrel. ***** Aku kenakan kemejaku yang masih tersimpan di lemari Derrel. Rencananya aku akan mampir ke Masjid untuk sholat subuh sebelum pulang ke rumah. Laki-laki utamanya sholat di Masjid lho.. Kata-kata Rayya selalu terngiang. Jadi aku sempatkan mandi dulu sebelum pulang. Kulihat Derrel masih mendengkur di balik selimut. Semalam dia tertidur di pangkuanku. Dia terus menangis sampai akhirnya dia benamkan kepalanya di pangkuanku. Kuusap rambutnya dan perlahan matanya terpejam. Tubuhnya lebih ringan dariku, aku tak begitu kesulitan menggendongnya dan menidurkannya di ranjang. Kutengok smartphoneku. Tak ada balasan WA maupun telepon dari Rayya. Dia pasti sudah bangun. Mungkin dia belum membuka smartphonenya. Semalam aku mengirim WA mungkin sampai puluhan kali. Aku juga menelponnya puluhan kali tapi tidak diangkat. Aku duduk di sebelah Derrel. Melihatnya rapuh seperti ini menerbitkan perasaan bersalah yang sedemikian besar. Wajahnya begitu teduh saat ia terlelap. Dari semua kisah cinta yang pernah singgah dalam perjalanan hidupku, hanya Derrel yang membuatku bisa mencintai seseorang sehebat ini. Ingatanku melayang pada masa awal masuk universitas. Aku dan dia sama-sama kuliah di fakultas ekonomi. Aku mengambil jurusan Manajemen, dia jurusan Akuntansi. Kami pertama kali bertemu di lapangan basket. Saat itu aku bertanding bersama teman-teman satu tim manajemen, dan dia mewakili tim akuntansi. Tak ada kesan berarti kala melihatnya di pertandingan itu. Hingga rangkaian suratan kehidupan kembali mempertemukan kami di satu tim fakultas ekonomi. Saat itu ada pertandingan basket antar fakultas. Aku dan Derrel terpilih mewakili tim fakultas ekonomi. Kami sering berlatih bersama. Saat itu di ruang ganti, hanya ada aku dan Derrel. Aku merasakan Derrel beberapa kali mencoba melakukan kontak fisik denganku. Dia mencuri kesempatan memeluk pinggangku, mencubit lenganku atau mengusap kepalaku. Aku punya insting gaydar yang tajam. Aku bisa merasakan ada yang beda dari tatapan Derrel. Derrel tengah mengambil tasnya dari dalam loker. Dia duduk mendekatiku dan menyerahkan sebotol air mineral karena ia tahu air dalam botolku sudah habis. Saat kuterima botol itu darinya, dia meletakkan telapak tangannya di atas pahaku. Langsung kuremas pahanya tanpa ampun. Dia meringis kesakitan. “Aoo sakit..” “Jangan cari-cari kesempatan untuk megang-megang aku.” Derrel menganga. Wajahnya memerah karena malu. Kudekatkan wajahku padanya. Rona wajahnya semakin tersipu. “Aku tahu kamu gay.” Derrel terperanjat, “apa maksud kamu? Aku bukan gay.” Aku menjauhkan kembali wajahku dan terseyum tipis, “nggak usah berkelit. Aku tahu kamu gay sejak pertama kali kamu mencuri pandang ke arahku waktu pertama kali kita latihan bareng.” Derrel terlihat salah tingkah, “ya aku gay dan aku suka kamu.” Jujur, aku juga tertarik padanya. Waktu itu aku sedang tak punya pacar. Kutatap wajahnya lekat-lekat, “aku juga suka kamu.” Ada keterkejutan pada garis wajahnya yang oval dan cute. Ekspresi kagetnya berganti dengan senyum merekah. Dan sejak itu, kami jadian. Tak kusangka ikatan diantara kami semakin hari semakin kuat. Untuk pertama kalinya aku dibuat tergila-gila akan cinta. Hanya Derrel yang bisa membuatku seperti ini. Lamunan flashback-ku terhenti ketika Derrel menggeliat dan membuka matanya. Dia mengucek kedua matanya lalu duduk. “Kamu bangun jam berapa? Kamu udah mandi?” “Aku cuma tidur dua jam semalam. Aku mandi karena aku mau mampir subuhan di Masjid sebelum pulang.” Derrel mengernyitkan dahi, “sejak kapan kamu jadi alim gini Al? Istrimu sudah mengubahmu sedemikian drastis.” Aku terpaku. Tak tahu harus menjawab apa. “Sekarang aku mengerti kenapa sikapmu menjadi dingin. Biasanya saat datang padaku kamu akan langsung menciumku atau memelukku. Tapi sekarang nggak lagi. Apa istrimu menceramahimu panjang lebar?” Kutatap Derrel. Entahlah aku tak suka dia bicara frontal tentang Rayya. “Jangan bawa-bawa Rayya Rel. Aku muslim, jadi sudah seharusnya kan aku sholat lima waktu?” Derrel tersenyum kecut. Tangan kanannya mengusap belakang kepalanya, “kamu ingin bertaubat Al? Atau kamu takut masuk neraka? Atau udah kehasut omongan para ahli agama bahwa pelaku homoseks macam kita nggak pantes dapet surga?” Kupejamkan mataku sejenak, “aku hanya berusaha untuk memperbaiki diri Rel. Setiap agama punya rules sendiri kan? Homoseks dalam agamaku memang dilarang. Aku nggak bisa nyangkal soal itu.” “Itulah kenapa aku nggak percaya pada satupun agama. Isinya hanya doktrin yang menakut-nakuti. Aku masih percaya Tuhan, tapi aku nggak mau memeluk satu agamapun.” Setiap kata yang meluncur dari bibirnya seperti ranjau yang siap meledak dalam hatiku. Entah kenapa aku begitu sedih mendengarnya. Dulu Derrel sosok yang rajin ke gereja. Entah gerangan apa yang membuatnya memutuskan menjadi seorang agnostic. “Cukup hormati saja keyakinanku Rel, itu sudah cukup.” Derrel beranjak dari ranjang dan mematung di depan cermin. Kedua tangannya tertumpu pada meja di depan cermin. “Please answer my question. Do I still have a chance to find heaven even though I’m a gay? Do I still have a chance to find heaven if I decide to be myself? How can I live my own life? It’s so pathetic.” Aku mendekat ke arahnya. Aku berdiri di belakangnya. Mungkin dia tengah memperhatikan bayanganku dalam cermin. “Aku nggak bisa jawab Rel, karena aku juga ragu, apa aku masih pantes mendapatkan surga? Tapi aku bisa membuat analog atas pertanyaanmu.” Derrel berbalik dan menatapku penuh tanda tanya. “Apa kamu bisa jadi kupu-kupu sementara kamu nggak mau membentuk kepompong dan berpuasa di dalamnya? Apa kamu bisa menjamin kepalamu tak retak saat terantuk aspal sementara kamu nggak mau pakai helm?” Derrel terdiam membisu. Dia hendak membuka mulutnya tapi kembali menutupnya rapat-rapat. “Aku pulang dulu Rel. Sebentar lagi adzan.” Aku berbalik. Namun tiba-tiba Derrel memanggilku, “Aldefan Angkasa.” Aku menolehnya. Tak biasanya dia menyebut nama lengkapku. “So, heaven is only for straight and religious person?” Aku tak bisa menjawab. Kulangkahkan kaki menuju pintu. Dia memanggilku lagi, “Al kenapa kamu nggak ngasih aku kecupan pagi?” Aku menghela napas. Kutatap Derrel lekat-lekat, “aku mencintaimu Rel. Hanya saja, aku nggak bisa menjalani hubungan ini seperti dulu.” Air muka Derrel tampak membeku. Aku tahu dia kecewa. Tapi aku juga tak bisa memberinya harapan lebih, sama seperti apa yang kulakukan pada Rayya. Aku nggak bisa memberinya harapan semu. *** Aku duduk bersimpuh di dalam tempat yang sudah lama luput dari kehadiranku. Kurasakan kesejukan menyergap seluruh ruang di jiwaku. Air mataku perlahan menetes. Aku teringat akan kesalahan-kesalahanku di masa lalu. Sholat subuh berjamaah barusan memberikan efek luar biasa untukku. Aku seperti mendapat energi baru. Tiba-tiba sosok Rayya melintas di pelupuk mataku yang terpejam. Entahlah aku sangat merindukannya. Segera aku beranjak dan keluar Masjid. Aku ingin segera tiba di rumah dan memakan sarapan yang dimasak Rayya. Pintu rumah tidak terkunci, berarti Rayya memang sudah bangun dan mungkin dia sempat bersih-bersih di halaman, karena semua terlihat bersih dan rapi. “Assalamu’alaikum,” aku berjalan ke menuju dapur. Aku tahu Rayya pasti ada di sana. “Wa’alaikumussalam,” Rayya tampak sedang mengiris wortel. Dia menatapku sekilas, lalu kembali sibuk dengan bahan masakan yang ada di depannya. Aku duduk di kursi. Kuperhatikan wajahnya yang tak ramah seperti biasanya. Apa dia marah padaku? “Ray kenapa WA-ku nggak dibales? Teleponku juga nggak diangkat?” “Aku sibuk bersih-bersih.” Jawabnya sekenanya. “Masa cuma balas WA nggak sempet Ray? Kamu marah ya?” “Nggak..” jawabnya ketus. Ternyata benar kata Denis, perempuan itu makhluk yang susah ditebak. Kadang baik seperti peri, kadang kejam seperti nenek sihir. Aku beranjak dan melangkah mendekatinya. “Dari jawabanmu aku tahu kamu marah.” Rayya menatapku tajam. Sorot matanya tak lagi menyejukkan. “Kamu janji mau pulang cepat kan? Tapi kamu baru pulang pagi ini. Dan lihat kemejamu, rupanya masih ada kemejamu yang tertinggal di apartemennya.” Rayya memasukkan potongan jagung dan daging ke dalam panci yang sudah diisi air. Kuamati ada potongan wortel, brokoli, kembang kol dan pokcoy yang belum ia masukkan. “Kenapa yang lain nggak dimasukkan juga?” “Jangan mengalihkan pembicaraan. Semua orang tahu prinsip memasak itu dahulukan bahan yang lebih lama matang. Setelah itu baru wortel, untuk sayuran hijau seperti brokoli dan pokcoy, masukkan belakangan karena cepat matang dan biar nutrisinya nggak banyak yang terbuang.” Aku akui Rayya meski dari luar terlihat cuek, dia sangat detail dan perfeksionis di beberapa hal. “Aku tadi mampir subuhan di Masjid makanya aku numpang mandi dan kebetulan kemejaku ada yang masih tertinggal di sana.” Rayya sama sekali tak menoleh tapi berjalan menuju kulkas dan mengambil sekantong cabai. Rayya mengiris cabai dengan kekuatan yang berlebih hingga suara ketukan pisau itu terdengar begitu nyaring. “Sejak kapan masak sop perlu cabai Ray?” Rayya menghentakkan pisau ke meja dengan kerasnya hingga aku kaget. “Aku ingin makan sop yang pedas.” Lihatlah tampangnya sekarang. Dia memang benar-benar marah, tapi kenapa terlihat menggemaskan. “Semalam aku WA ke kamu, aku nggak bisa pulang karena kondisi Derrel sangat memprihatinkan. Dia tidur di pangkuanku sambil menangis terus-menerus. Mana tega aku ninggalin dia. Tapi bisa kupastikan, tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia.” “Siapa yang menjamin nggak terjadi apa-apa antara kamu dan Derrel? Aku nggak di sana, aku nggak lihat apa yang kalian lakukan.” Rayya masih terus mengiris cabai. Sebenarnya aku ingin mengingatkannya bahwa dia sudah mengiris begitu banyak cabai, tapi aku biarkan. Mungkin itu salah satu caranya melampiaskan kemarahan. “Are you jealous?” Rayya menghentikan aktivitasnya dan menatapku, lagi-lagi dengan tatapan ala singa yang siap menerkam mangsanya. “Jealous? Noooo..!!!” Tukasnya mantap. “Yes, you are.. Kamu jealous. Aku bisa melihatnya.” Rayya memasukkan wortel ke dalam panci tanpa menanggapi perkataanku. Saat itulah aku berjalan lebih dekat padanya. Kupeluk pinggangnya dari belakang. “Tolong Al, jangan bikin aku baper.” Aku masih memeluknya, kali ini kurekatkan pelukanku. Sungguh melihatnya marah-marah seperti ini membuatku bingung, tak tahu harus bagaimana meredakan amarahnya. Rayya menyingkirkan tanganku dan bergerak menjauh. “Selama kamu masih ada perasaan sama Derrel, jangan pernah peluk-peluk aku, jangan cium aku, jangan sentuh aku, jangan genggam tanganku, jangan colek-colek, jangan grepe-grepe, jangan.. pokoknya jangan nglakuin sesuatu yang bikin aku baper dan makin berharap lebih sama kamu.” Aku melongo dan hanya bisa menyenderkan pinggangku di meja dapur. “Menjauh dari sini, aku mau masak.” Ucapnya sewot. Ya Allah beginilah perempuan. Moody dan suka marah. Aku bergerak menjauh, tapi aku masih berdiri dan terpekur memperhatikannya dari jarak yang nggak terlalu jauh. “Apa begini cara istri menyambut suaminya pulang Ray?” Rayya menatapku datar. “Aku masih lebih baik Al. Istri lain mungkin akan menyincang suaminya tanpa ampun begitu ia tahu suaminya tak pulang ke rumah semalam karena nginep di tempat pacar cowoknya.” Jleb Aku seperti dikuliti habis-habisan. Dari tadi Rayya terus-terusan cerewet. Rasanya aku ingin membungkamnya dengan ciuman. Boro-boro dicium, dia aku peluk saja sudah keluar tanduknya. “Ray please don’t be childish like this. Aku kangen Ray yang tenang dan nggak marah-marah gini.” “Who is childish? What about you? Are you better than me? You spent the night with him and You didn’t even know that your wife didn’t sleep until morning just to wait for you.” Aku bengong untuk sesaat. Pipiku memanas. Aku merasa sangat bersalah telah membuatnya bergadang sampai pagi hanya untuk menungguku. “Aku udah WA kamu kalau aku nggak akan pulang kan? Kenapa kamu masih menunggu?” Rayya menunduk dan menghembuskan napas perlahan, “aku pikir kamu akan berubah pikiran dan pulang.” Setitik air membasah di sudut matanya yang berkaca. Napas di tenggorokan seakan mencekatku. Aku sakit mendengarnya. Aku menyesal membiarkannya menunggu. Aku mendekat ke arahnya. Kudekap tubuhnya dan kali ini dia tak menolak. “Maafkan aku. Aku janji hal kayak gini nggak akan terulang lagi.” Dia melingkarkan tangannya ke leherku dan membenamkan kepalanya di d**a bidangku. Kurasakan kemejaku rembes karena air matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN