2

1060 Kata
Aku duduk meringkuk dengan memeluk lutut dan menggigiti kuku jempolku. Peluhku banyak dan menetes dengan perlahan hampir di seluruh wajah, kening dan punggungku. Tubuhku juga tidak bisa berhenti gemetar sejak tadi. Aku tidak bisa tidur. Kejadian tadi sore membuatku stress, gelisah dan takut. Jantungku berdetak lebih lambat dan beberapa kali mengalami gejala depresi pernapasan seperti sesak napas, linglung dan sakit kepala. Hal ini membuatku mengalami insomnia, padahal sebelumnya aku bisa tidur di mana dan kapan pun. Walaupun, hal itu kebanyakan terjadi di siang hari, bukan saat malam. Penampakan yang aku lihat tadi memang tidak menyeramkan. Dia mirip seperti ayahku, hanya mungkin wajah pucat dan seringai menakutkannya saja yang berbeda. Walau begitu, itu sukses menakutiku hingga ke tulang-tulang. Aku tak terkencing-kencing saja tadi, itu sudah sangat bagus. Aku penakut, terutama untuk hal-hal berbau mistis. Aku hanya diam untuk beberapa waktu, tanpa melakukan apa-apa. Hanya berdoa jutaan kali di dalam hati, berharap kegelisanku akan segera pergi. Dengan begitu, mungkin aku bisa tenang dan tidur lagi. Sialan. Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari, tetapi aku belum juga mengantuk. Mataku memang terasa sedikit panas, lelah. Namun pikiranku masih meracau kemana-mana. Aku memutuskan untuk berbaring di tempat tidurku. Tubuhku terasa capek dan pegal karena duduk dalam waktu yang lama. Berharap, kantuk akan datang dan membuatku terlelap. Mataku nyaris terpejam ketika suara ketukan jendela membuatku kembali membuka mata. Awalnya, aku hanya diam, mencoba memfokuskan diri sebelum bangun, khawatir akan pusing jika bangun tiba-tiba. Beberapa detik kemudian, suara ketukan jendela kembali teedengar membuatku perlahan bangun. Dalam posisi duduk, aku menoleh ke arah jendela. Tidak ada siapa-siapa. Aku beranjak dari kasur, pergi menuju jendela yang aku curigai telah diketuk. Tak terdengar suara ketukan ataupun angin. Jendela yang tanpa gorden membuatku segera menghadap ke jendela besar milik tetanggaku. Gorden kamar itu masih tertutup dengan sempurna dan cahaya kamarnya menyala. Walau begitu, tidak tampak ada bayangan atau siluet seseorang di sana. Kaca jendela kamarku hitam. Seseorang di luar jendela tidak akan bisa melihat ke dalam, sedangkan aku bisa melihat ke luar. Walau sudah berdiri cukup lama, tidak terlihat seseorang atau sesuatu yang mencurigakan. Jadi, aku memutuskan untuk tidur kembali.   Tidurku kembali terusik ketika terdengar suara gaduh. Kali ini bukan dari jendela, tetapi sepertinya berasal dari lemariku. Aku merasa seperti seseorang mengacak-ngacak isi lemariku dan mengeluarkan barang-barang yang ada di dalamnya seperti baju, celana dan tas-tas milikku. Aku berpikir mungkin itu ulah Sena, adik bungsuku. Namun pikiran itu segera aku tepis sendiri. Rasanya tidak masuk akal jika Sena akan melakukan hal seperti itu. Terlebih, sepertinya ini dini hari, bukan pagi hari. Kalaupun dia ingin bermain, seharusnya dia langsung naik ke tempat tidurku bukan mengacak lemariku. Aku memutuskan untuk bangun dari tidurku dan mengucek beberapa kali mataku sebelum mengarahkannya ke lemari bajuku. Di sana, seseorang dengan memakai gaun panjang berwarna merah sedang duduk membelakangiku. Dia mengeluarkan semua isi lemariku dengan napas yang memburu memberikan efek tidak biasa ke dalam jantungku. Kaki dan tanganku seketika mendingin. Buku kudukku bahkan meremang tanpa diminta saat melihat rambut panjangnya yang menjuntai hingga lantai. "Ha-halo?" Aku mencoba memberanikan diriku untuk menyapanya. Barang kali, dia Ibu atau seorang tamu atau siapapun, yang termasuk dalam kategori manusia. Aku tidak mau berpikir sebaliknya. "Ha-halo?" ulangku lagi. Kali ini seseorang itu menghentikan aktivitasnya. Kepalanya perlahan menoleh ke arahku lalu otomatis aku menjerit saat mendapati wajahnya tidak ada. Aku mengambil bantalku dan spontan melemparkannya ke arah seseorang tanpa wajah itu. Merinding, saat suara tawa cekikikan tiba-tiba terdengar menggema di seluruh ruangan kamarku. Seseorang itu kemudian melayang dan menghilang di langit-langit kamarku. Aku tidak tahan lagi. Menjerit sekuat tenaga lalu berlari menuju kamar orang tuaku. Aku gedor pintunya membuat Ayah dan Ibu menjumpai aku dengan wajah terganggu. "Ada apa, Mevi?" tanya Ayah. Aku tidak menjawab, hanya masuk dengan cepat menuju kamar orang tuaku lalu berbaring di ranjang dan menutupi tubuhku dengan selimut mereka. "Kenapa kamu terlihat ketakutan?" tanya Ibu yang terdengar mendekat ke arahku. Ibu dan Ayah duduk di tepi ranjang. Salah satu dari mereka mencoba mengambil selimut yang menutupi tubuhku tetapi aku tahan. "Ada apa?" tanya Ayah. Aku tidak menjawab, hanya terus menyembunyikan diri. "Kamu tidak suka kamarmu?" Ibuku ikut membuat dugaan. Aku tetap diam, tidak ingin menjawab dengan gegabah. "Kamu sudah besar, Mevi. Tidak logis jika kamu masih tidur dengan kami. Sena saja punya kamar sendiri," ucap Ibu setengah menyindirku. Aku tetap bungkam. "Baiklah, kamu boleh tidur di sini malam ini. Tapi besok, tidak lagi," kata Ayah memutuskan. Aku menghela napas lega. Ibu dan Ayah kemudian berbaring dengan aku berada di antara mereka. Sampai pagi tiba, aku tetap tidak bisa tidur. Hanya menyembunyikan diri dengan mata yang sengaja dipejamkan. Aku masih merasa takut, bahkan meski ada kedua orang tuaku di dekatku. Terdengar kokok ayam yang cukup panjang beberapa kali, membuatku yakin bahwa hari sudah menjelang pagi. Suara Ayah dan Ibu tidak terdengar, sepertinya mereka sudah tidur. Perlahan-lahan, aku menurunkan selimut yang menutupi tubuhku. Mataku mengarah ke segala penjuru, memindai situasi. Aman. Tidak ada siapa atau apapun. "Syukurlah," ucapku merasa lega. Aku turun dari ranjang orang tuaku dan keluar kamar. Sudah pagi, mustahil akan ada sesuatu yang menakutkan. Begitu, yang hatiku yakini. Aku melangkah menuju kamarku. Pintunya dibuka sedikit lalu kepalaku melongok ke dalam, kosong. Dengan keberanian yang minim, aku masuk ke dalam. Berantakan. Tanganku dengan cekatan mulai meraih baju-baju yang berserakan, merapikan dan meletakkannya ke tempatnya. Baju terakhir telah masuk, lemari pun ditutup. Tugas telah selesai. Aku menyeka keringat yang berada di keningku. Lelah. Tenagaku seperti dikuras hanya dalam beberapa jam saja. Tertarik, tiba-tiba aku ingin menoleh ke jendela kamar tetanggaku. Lampunya masih menyala. Bola mataku melebar, menyadari sesuatu yang tidak biasa. Ada siluet seseorang di tengah gorden. Dia tidak tinggi atau pendek, sedang. Menilai dari bentuk rambutnya, sepertinya di lelaki. Bayangan itu berdiri, sejajar dengan tempat di mana aku berdiri. Kami berdiri saling berhadapan dari kamar masing-masing. Selama beberapa waktu, dia hanya diam, tidak melakukan apapun. Aku juga melakukan hal yang sama. Intinya, kami saling menunggu dan mengawasi. Aku tidak melihatnya, gorden kamar miliknya menghalangi pandanganku. Dan, dia juga begitu. Namun, aku tidak bisa menurunkan tingkat kewaspadaanku tatkala jantungku mulai berdetak tidak karuan. Keringat dingin juga bercucuran seolah menyiratkan kalau aku sedang ketakutan. Aku memutuskan untuk berlari pergi ketika melihat gorden kamar itu tersingkap di bagian ujung. Sebuah tangan muncul dari sana lalu melambaikan tangan. Padahal, sileut yang aku lihat tetap berada di tempatnya. Mustahil, jika dia bisa memanjangkan tangannya. Terkecuali, apa yang aku lihat barusan, memang bukan manusia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN