1

1130 Kata
Aku mengerutkan dahi, merasa terusik ketika kakiku seperti sedang digelitiki. Beberapa saat, aku hanya berdiam diri, menikmati sentuhan lembut dari jemari yang menari-nari di telapak kaki. Seulas senyuman terkembang saat tangan kecil itu mulai merayap naik, menoel-noel gemas betis sebelah kiri. "Geli, Sen," tegurku. Aku membuka mata dan mendapati adik bungsuku yang jail, Sena, sedang terkikik tanpa suara. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai dan kulit putihnya yang sedikit pucat masih sukses membuatku iri. Aku bangun dari tidurku, duduk sebentar di kasur untuk memulihkan kesadaran baru kemudian berdiri. Sena masih menatapku. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menggerakkan tangannya. Ibu bilang, sudah waktunya untuk sarapan. Sena memberikan bahasa isyarat yang dengan mudah dapat aku pahami. Selain sudah terbiasa berkomunikasi dengan cara ini, aku memang sengaja mempelajari bahasa isyarat. "Oke," sahutku sembari memberikan isyarat dengan jariku. Sena tersenyum lalu berlari pergi dengan baju princess yang membuat bagian bawah roknya yang berenda bergerak lepas ke sana-kemari. Sena sedikit berbeda. Sejak kecil, adik kecilku yang baru berusia sembilan tahun itu dilahirkan sebagai seorang tuna wicara; bisu. Walau begitu, aku sangat menyayanginya. Dia lucu dan selalu ceria sehingga membuat siapa pun merasa bahagia saat bersamanya. Aku keluar kamar dan mendapati ruangan yang masih belum tertata rapi. Di sana-sini barang-barang kami masih berserakan. Cahaya matahari juga agaknya malu-malu, karena ruangan di rumahku terlihat sedikit gelap. Aku menuju ruang makan, di mana anggota keluargaku yang lain sudah duduk di kursinya masing-masing. Ayah duduk di kursi paling depan, sementara di samping kirimnya ada Ibu. Di samping kanan kosong, khusus untukku. Di sebelahku ada Bagas dan di depan adik lelakiku ada Sena, yang duduk tepat di samping Ibu. "Pagi ini, kita sarapan roti bakar," kata Ibu sesaat setelah pantatku menyentuh kursi. Aku hanya mengangguk. "Terima kasih," kataku menghargai sarapan buatannya. Aku mengambil roti bakar yang sudah tersaji lalu mulai memakannya. Tidak ada yang bicara lagi setelah itu. Keluargaku terbiasa untuk tidak bicara selama makan dan minum. Kata Ayah, itu adalah cara termudah untuk menikmati makanan dan minuman pemberian Tuhan pada kami. Selesai sarapan, aku menggantikan tugas Ibu mencuci piring dan gelas. Sementara Bagas kembali ke kamarnya yang berada di lantai dua. Ayah membaca koran di tuang tamu sedangkan Ibu menemani Sena bermain. Aku tersenyum, senang mendapati keluarga kecil kami terlihat bahagia. Memang, keluargaku tidak bisa dikatakan sebagai keluarga kaya, tetapi bisa hidup tercukupi begini, aku sangat mensyukurinya. Karena bahagia bukan dinilai dari seberapa banyak uang yang dimiliki, melainkan sebesar apa cinta yang bisa diterima dan diberi. Selesai mencuci piring dan gelas, aku membersihkan meja makan, menghilangkan bekas roti dan noda s**u yang tertinggal agar semut tidak mengerumuni. Sebenarnya, keluargaku tidak terbiasa sarapan dengan roti bakar dan s**u, lebih sering nasi. Namun, pagi ini Ibu bercerita kalau tukang sayur keliling tidak menghargainya. Sebagai orang baru, tampaknya tukang sayur dan beberapa tetangga, memperlakukan Ibu dengan kurang baik. Mereka mengabaikannya sehingga membuat Ibu kesal dan tidak jadi berbelanja. Ayahku, Darno, sedang cuti bekerja dengan alasan pindah rumah. Untuk beberapa hari ke depan, aku akan melihat ayahku di rumah di siang hari. Padahal biasanya, aku hanya melihatnya di malam hari. Sena mulai mengantuk dan tertidur tak lama kemudian. Dia masih menggenggam erat boneka mainan di tangannya. Ibu yang melihat Sena telah tenggelam dalam mimpi, segera menggendong adikku itu ke kamarnya. Sena penakut sehingga masih tidur di kamar yang sama dengan Ibu dan Ayah. Rumah baru kami cukup luas. Ada empat kamar dengan satu ruang tamu dan ruang makan yang menyatu dengan dapur. Di bagian belakang, ada sedikit celah sebelum tembok besar menghadang seolah menjadi batas. Kamarku berada di nomer dua, sedangkan kamar orang tuaku di paling depan. Aku memilih kamar itu karena terdapat jendela besar yang mengarah langsung pada rumah tetangga.  Di sana, juga ada jendela besar yang saling menghadap ke kamarku. Saat melihatnya dari dekat, itu seperti sebuah pintu yang saling terhubung. Aku merasa begitu walau belum berkenalan dengan tetangga yang tinggal di situ. Pukul sembilan pagi, jika melihat dari jam di ponselku, semua anggota keluargaku mulai tumbang satu per satu. Berdasarkan tebakanku, Bagas yang pertama tertidur karena semenjak masuk ke kamarnya, dia tak keluar lagi. Barulah yang kedua Sena kemudian Ibu. Kini tinggallah aku dan ayah yang masih berjuang satu sama lain untuk melihat siapa di antara kami yang paling kuat menahan kantuk. Walau tentu, kebanyakan ayah yang menjadi juaranya. Ayah tetap menjadi juara bertahan. Karena pada akhirnya aku tertidur tanpa disadari. Saat aku bangun, aku sudah berada di kasur dan hari sudah menjelang malam. Terlihat dari sinar matahari yang kemerah-merahan jika mengintip dari jendela kamarku. Aku beranjak dari kasur, merasa tertarik dengan jendela besar milik tetanggaku. Gorden di kamar itu masih tertutup. Berbeda dengan jendela kamarku yang belum dipasang gordennya. Namun, aku tidak khawatir. Karena hanya aku yang bisa melihat keluar sedangkan siapapun yang berada di luar, tidak bisa melihat ke dalam. Gorden jendela kamar itu bergerak-gerak dan sebuah bayangan manusia mondar-mandir di sana. Entah apa yang sedang dilakukan olehnya. Namun, untuk beberapa saat, perhatianku hanya terpaku pada bayangan itu. Lalu, bayangan itu tiba-tiba menghilang membuatku mengerutkan dahi. Dingin terasa di telapak kakiku. Walau hanya di situ tanpa menjalar ke mana-mana. Aku memilih keluar kamar, mencoba mencari anggota keluargaku yang lain. Barang kali, sudah ada yang bangun selain aku. Perutku juga sudah berbunyi dan menagih untuk diisi. Aku melangkah ke dapur dan membuat secangkir teh. Setelahnya, aku duduk di kursi ruang tamu untuk bersantai sembari menunggu yang lain bangun. Tak lama kemudian, ayahku datang. Dia duduk di kursi sebelahku. "Yah, mau teh?" tawarku. Ayah tidak menjawab, hanya diam dengan kepala menoleh ke samping, tidak menghadapku. Aku hanya menghela napas sambil meminum tehku lagi. Ayah baru bangun, jadi mungkin belum sepenuhnya sadar. Jadi, aku menunggu cukup lama sebelum akhirnya mengajaknya mengobrol. Aku membicarakan banyak hal, seperti kesanku di rumah ini dan lainnya. Namun, selama aku bicara, ayah tidak menjawab atau merespon. Dia hanya diam seolah tidak tertarik dengan apa yang aku bicarakan. Aku menggaruk pelipisku, kecewa dengan respon ayah. Jadi, aku berdiri, berniat meletakkan cangkir tehku yang sudah kosong. "Yah, aku..." Ucapanku tidak tergenapi ketika ayah menghilang dalam seperkian detik. Aku meloncat kaget saat merasa ada orang yang lewat sembari meniup tengkukku. Mataku membulat saat melihat ayah melintas dengan seringai aneh di bibirnya. Tanpas basa-basi, aku segera berlari saat menyadari bahwa 'ayahku' melayang tanpa kaki. Saat melihat ayahku keluar dari kamar, aku nyaris berteriak, tetapi suaraku seperti tertahan di tenggorokan. "Kenapa terengah-engah, Mev?" tanyanya keheranan. Aku tidak menjawab, hanya menatap ke bawah. Kaki Ayah ada, membuatku menghela napas lega. "Ayah," kataku dengan napas masih tersengal. "Kenapa?" tanya Ayah dengan heran. "Tidak apa. Mau teh, Yah?" tawarku, sengaja mengalihkan topik agar tak ketahuan kalau baru saja ketakutan. Ayah mengangguk mengiyakan. "Boleh, Mev." Aku segera menggandeng lengan Ayah dan membawanya ke ruang makan bersamaku. Aku ingin ditemani saat membuat teh, tidak mau sendiri. Karena bisa jadi, apa yang baru saja terjadi, bukan sekadar halusinasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN