Seolah tidak berhenti menyusahkan Ara, saat pulang dari salon, langkah Ara dihentikan oleh mobil mahal yang kemarin mengantarnya. Dari plat nomornya, Ara tahu dia Raka. Laki laki kaya yang memiliki tingkat kesombongan di atas rata rata. Hobinya menghina orang yang lebih rendah darinya. Dan dia adalah ayah dari bayi yang sedang Ara kandung.
Tidak turun, hanya kaca mobil yang terbuka. Pria itu membuka kacamatanya dan menatap Ara, "Naik!" titahnya dengan gaya arogan seperti biasa.
"Ada keperluan apa lagi, Pak Raka?" tanya Ara.
"Pak kamu bilang? Berkali-kali saya ingatkan! Jangan panggil saya seperti itu."
"Baik, ada keperluan apa Om Raka?"
"s**t! Jangan panggil om juga. Panggil aja Raka!" Raka terlihat kesal. Alisnya sudah terpaut.
"Nggak sopan, saya panggil Kak Raka aja boleh?" tanya Ara.
"Setidaknya bukan pak dan om," balas Raka.
"Jadi ada keperluan apalagi?"
"Naik. Kita bicarakan perjanjian kita," jelas Raka seraya menutup kembali kaca mobilnya.
Ragu, Ara membuka pintu dan naik mobil mahal itu. Sejujurnya ia lelah berjalan, namun karena ia hemat biaya transportasi, akhirnya ia memilih berjalan. Hitung-hitung olahraga.
Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan antar keduanya. Raka maupun Ara diam saja. Sampai mereka di tempat parkir apartement yang berada di basement. Raka langsung turun tanpa sepatah kata, dan Ara mengikutinya. Saat masuk dan menunggu pintu lift terbuka juga Ara diam saja di belakang Raka.
Ting!
Pintu lift terbuka, sialnya di dalam lift kosong. Ara jadi kikuk. Lagi lagi ia berdiri di belakang Raka seperti ekor.
Dari pantulan di pintu lift, Raka bisa melihat dengan jelas ekspresi Ara yang terlihat gugup. Senyum sinis terukir. Ia suka melihat ekspresi ketakutan di wajah Ara. Itu tandanya Ara mudah ia gertak. Jika diingat lagi, Ara memang tidak pernah membahas masalah kompensasi atau uang.
Satu pertanyaan muncul di benak Raka. Mungkinkah Ara memang bukan gadis seperti apa yang ada di pikiran Raka? Namun pikiran itu buru buru ia tepis. Raka belum mengenal Ara sepenuhnya. Ia dan Ara hanya sebatas orang asing, dan karena kesalahan fatal malam itu ia dan Ara terikat.
Ting!
Lift kembali terbuka. Raka keluar dan lagi lagi dibuntuti oleh Ara. Sesampainya di depan pintu apartemen, Raka yang membuka pintu dan mempersilakan Ara masuk tampak bingung melihat Ara diam saja seraya memainkan jarinya.
"Masuk, Ara."
Ara mengintip dalam apartement Raka. Kemudian ia menggeleng.
"Apa maksud kamu menggeleng? Saya bilang masuk, ya, masuk."
"Apa di dalam tidak ada orang?" tanya Ara.
"Ini apartemen pribadi saya, tidak mungkin ada orang. Apartemen ini saya gunakan jika ingin sendiri dan istirahat tanpa diganggu."
"Saya nggak mau masuk," ucap Ara.
"Kenapa?"
"Karena apartemennya nggak ada orang."
"Memangnya kenapa kalau apartemen saya tidak ada orang?" tanya Raka heran. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Ara.
"Saya takut," jawab Ara singkat.
Raka berdecak. Ia menarik napas besar.
"Dengar, saya tidak dalam keadaan mabuk. Saya sadar sepenuhnya. Jadi jangan berpikir saya akan melakukan kebodohan untuk kedua kalinya. Kamu pikir saya mau tidur untuk kedua kalinya dengan kamu?"
Ara menatap kedua mata Raka. Setelah memastikan kalau Raka tidak akan macam macam terhadapnya, Ara pun masuk ke dalam. Ia akan mempercayai ucapan Raka.
Ara melepas sepatunya, kemudian memakai sandal rumah yang sudah disiapkan di rak pintu masuk. Sesampainya di dalam, mata Ara melirik isi apartement yang sangat luas. Belum lagi barang mewah yang terpajang, interior serta perabotan yang Ara yakini harganya tidak murah.
Ara dipersilakan duduk di sofa. Gadis itu mengatur jantungnya yang berdegup kencang. Sungguh Ara tidak tahu apa yang akan terjadi padanya kedepannya. Sejak acara di hotel itu, hidup Ara seolah berubah seratus delapan puluh derajat.
Hamil anak seorang pria kaya juga bukan impian Ara. Tidak ada setitik pun niat untuk Ara menikah dengan orang kaya mengingat ia sendiri bukan dari kalangan itu. Ia hanya ingin menikah dengan laki laki yang sungguh sungguh mencintainya. Yang mau menjadi teman hidup hingga ia tua.
Harapan hanya sebuah harapan. Takdir berkata lain. Ia dijebak dengan laki lak kasar, arogan, dan suka seenaknya sendiri. Orang yang susah menghormati orang lain apalagi yang berada di bawahnya.
Raka Andreas, dia melepas jasnya dan melemparnya di sofa seberang Ara. Ia juga melipat lengan kemejanya, kemudian melonggarkan dasi yang seolah mencekiknya itu.
“Mau minum apa?” tanya Raka kepada Ara.
“Terserah,” balas Ara.
“Bukan terserah yang mau saya dengar. Kamu mau minum apa?”
“Saya nggak tahu mau minum apa.”
Raka membuang napas, “Jus jeruk mau?” tawarnya.
“Boleh,” balas Ara sekenanya.
“Sebentar, saya ambilkan dulu,” ucap Raka.
Raka berjalan menuju dapur. Ia mengambil gelas, kemudian membuka kulkas dan mengambil jus jeruk kemasan. Raka menuangkannya ke dalam gelas. Pria itu menghampiri Ara kembali dan menghidangkan gelas tersebut di hadapan Ara.
“Terimakasih, Kak,” balas Ara. Ia langsung meneguk habis jus dalam gelas itu. Ara sangat haus, jadi tidak heran kalau dia langsung menghabiskannya dalam sekali tegukan.
“Kita akan tanda tangan surat perjanjian,” ucap Raka seraya duduk di sofa.
“Sekarang?” tanya Ara.
“Saya bukan orang yang suka membuang buang waktu,” balas Raka.
Ara melirik sekitar. Harusnya jika mereka menandatangani kontrak, pengacara Raka ada di sana, bukan?
Seolah mengerti dengan jalan pikiran Ara, Raka menjawab. “Saya tidak mau buat kamu tidak nyaman. Itu kenapa pengacara saya tidak ada di sini.”
“Tapi kita butuh saksi, kan, Kak?” tanya Ara.
“Nggak butuh. Kamu hanya tanda tangan, biar sisanya pengacara saya yang urus. Lagi pula pembuatan surat perjanjian, saya ditemani pengacara saya,” balas Raka.
Ara tidak menaruh curiga sama sekali. Gadis itu mengangguk mengerti.
Raka beranjak dari sofa, pria itu mengambil surat perjanjian. Ia menyerahkan amplop besar kepada Ara.
“Kamu baca aja, kalau ada yang perlu direvisi, saya akan merevisinya,” ucap Raka.
Ara mengeluarkan kertas dari dalam amplop. Di sana sudah tertera namanya sebagai pihak kedua, dan Raka sebagai pihak pertama.
Dari awal sampai akhir Ara membaca, ia merasa benar benar dirugikan. Semua hanya tentang pihak pertama, sedangkan pihak kedua hanya harus menurutinya. Bukankah surat perjanjian tidak merugikan dua belah pihak? Ini hanya tidak merugikan pihak pertama alias Raka Andreas.
Ara tidak boleh sampai membocorkan ke publik bahwa dia istri Raka nantinya, ia juga tidak boleh membiarkan Fiona —kekasih Raka tahu akan pernikahan mereka. Belum lagi Ara tidak boleh muncul saat ada acara keluarga karena Raka akan mengajak Fiona. Aneh memang, tapi itu yang tertulis. Ara adalah istri yang statusnya harus disembunyikan dan tidak boleh publik sampai tahu.
Tidak, bukan karena Ara sakit hati. Ia hanya merasa hal itu aneh. Ara juga tidak mau dan tidak bangga menjadi istri Raka. Tapi laki laki itu seolah membuat Ara menjadi benalu atau parasit. Ara tidak sehina itu, dan ia tahu apa yang harus ia lakukan tanpa perlu Raka susah susah mencantumkan semuanya ke dalam surat perjanjian bermaterai.
Poin terakhir membuat Ara lebih tidak habis pikir. Ara tidak boleh keluar dari rumah mereka selama masa kehamilan sampai melahirkan. Ia boleh keluar jika status mereka resmi bercerai. Ara bukan tahanan. Bisa bisa ia gila jika dikurung di dalam rumah. Belum lagi kalau ia harus bekerja. Ia juga butuh uang. Untuk hidupnya dan anaknya nanti. Biaya persalinan juga tidak murah. Ia tidak mengharap Raka membayar semuanya. Ia tahu Raka laki laki berengsek. Jadi Ara tidak mengharapkan apa pun.
“Surat perjanjian ini hanya menguntungkan kamu. Sedangkan aku? Nggak ada sama sekali. Kamu bahkan lupa poin hak asuh anak ini!” ucap Ara dengan nada sedikit tinggi. Ia bahkan tidak lagi berbicara formal lagi. Emosinya meluap.
“Saya tidak akan memperebutkan hak asuh anak kamu itu. Tenang aja. Setelah lahir, dia 100% milik kamu. Anak saya nantinya akan lahir dari rahim Fiona, bukan dari rahim kamu!”
“Kalau begitu revisi surat perjanjiannya. Aku juga keberatan sama poin terakhir. Di sana ditulis kalau aku nggak boleh keluar rumah. Emangnya aku tahanan?”
“Setidaknya hal itu buat kita berdua aman. Tidak ada yang mengerti kamu. Itu lebih baik. Dan saat Fiona datang ke rumah, kamu harus sembunyi.”
“Aku harus kerja, Kak! Emangnya aku pengangguran? Pengangguran pun kalau ditahan di rumah bakal stress,” protes Ara.
“Saya bakal kasih kamu uang. Beres.”
“Aku nggak mau uang kamu,” balas Ara tanpa ragu.
Raka tertawa mengejek, ia menatap wajah Ara yang terlihat menahan emosi. Air matanya bahkan sudah mengambang di pelupuk mata.
“Ya sudah, saya akan revisi bagian itu. Lakukan apa yang kamu mau di luar sana, tapi dengan satu syarat, kamu harus lapor semuanya kepada saya.”
“Itu nggak adil!”
“Nggak adil apa lagi?” tanya Raka. Ia mengusap wajahnya, merasa lelah dengan protes Ara.
“Aku nggak boleh ngurusin hidup kamu, tapi kamu urusin setiap urusan aku. Lapor? Itu bukan hal yang harus aku lakuin, kan?”
“Terserah, kalau kamu nggak setuju, saya tidak akan revisi surat perjanjiannya.”
“Surat ini hanya menguntungkan kamu aja,” balas Ara lesu.
“Kamu nggak baca? Setelah kita bercerai, kamu akan dapat kompensasi. Dan tidak sedikit.”
Ara kembali membacanya, ia sempat membulatkan mata saat melihat 10 milyar tertera di sana. Uang itu cukup untuk menghidupinya dan anaknya hingga tua nanti. Tapi sungguh, Ara tidak mengharapkan uang sepeserpun dari laki laki arogan itu.
“Aku nggak butuh uang ini. Aku bisa cari uang sendiri.”
“Tidak ada penolakan. Setidaknya uang itu adalah uang tutup mulut. Kamu dan anak kamu itu pergi dari hidup saya setelah kita bercerai. Tidak usah kembali.”
Ara memegang perutnya, papa kamu bener bener orang jahat, Dek, ucap Ara dalam hati.
“Kak Raka nggak nyesel kasih uang segini banyaknya buat aku?”
“Selama surat perjanjian ini berjalan dengan baik, dan kamu tidak melanggarnya, saya tidak akan rugi. Anggap uang jajan saya sedekahkan kepada gadis menyedihkan.”
“Kalau mereka tahu bukan dari aku, gimana?”
“Itu urusan saya, yang penting kamu tutup mulut kamu. Sampai kamu mati sekali pun. Tidak boleh ada yang tahu kalau kamu pernah menjadi istri saya.”
“Baik, aku bakal tanda tangan setelah suratnya di revisi.”
“Kamu nggak mau minta hal lain?” tanya Raka.
Ara menggeleng, “Aku hanya butuh hak asuh,” balasnya.
Raka mengendikkan bahu acuh. Pria itu berdiri dan mengambil kunci mobilnya. “Saya antar kamu pulang. Besok kita tanda tangan surat perjanjian, dan ke rumah orang tua kamu. Saya akan melamar kamu.”
- To be continued -