Hari berlalu dengan cepat, rupanya Raka tidak membuang waktu dengan percuma. Ia segera mengurus revisi surat perjanjian. Raka kembali menghampiri Ara dan menyuruh Ara untuk segera menandatangani surat tersebut di hadapannya. Alhasil resmi Ara dan Raka menjalani pernikahan kontrak. Mereka akan bercerai jika Ara sudah melahirkan dan mengurus surat untuk anaknya. Baru setelah itu Ara akan bebas dan pergi dari hidup Raka.
Saat ini keduanya menuju kampung Ara. Mereka sudah menempuh perjalanan cukup lama. Salahkan saja Raka yang memaksa untuk berkendara dengan mobil dan menyetirnya sendiri.
Alasannya tidak masuk akal, ia tidak mau ada orang yang mengenalinya saat ia bersama dengan Ara. Wajah Raka sudah riwa riwi di sampul majalah, banyak yang mengenalinya terutama perempuan muda. Tentu, tak hanya satu dua yang menginginkan posisi Fiona. Namun Raka yang sudah menjalin kasih dengan Fiona sejak duduk di bangku kuliah lebih memilih untuk setia dan mengabaikan godaan yang ada. Sial memang saat ia malah melakukan kesalahan fatal dan berakhir bersama Ara.
Saat Ara tertidur, Raka berkali kali mencuri pandang ke arah perut Ara. Perut yang selama perjalanan ia peluk dengan kedua tangannya. Raka berdecih, memangnya ia sejahat itu sampai Ara begitu takut terjadi apa apa dengan kandungannya jika bersama dengan Raka? Pikirnya.
Rest area berjarak 100 meter lagi. “Ara,” panggil Raka pelan.
Ara masih pada posisinya.
“Ara!” panggil Raka sedikit lebih keras.
Ara terkesiap. Ia tampak kebingungan saat pertama kali membuka mata.
“Bentar lagi berhenti di rest area,” ujar Raka menjelaskan.
Ara mengangguk. Ia seperti bocah yang dibangunkan ayahnya. Karena matanya masih terasa berat, ia menguceknya. “Mau pipis,” ujar Ara dengan suara seraknya.
“Iya di rest area, kamu jangan tidur lagi,” balas Raka dan dibalas anggukan berkali kali oleh Ara.
“Hm, Kak. Boleh minta air? Haus,” ucap Raka.
“Airnya habis. Bentar lagi beli.”
Kembali Ara mengangguk. Setelah itu ia menatap jalanan di depan. Jalan tol terlihat sepi. Hanya beberapa mobil yang melintas. Ara membuka sedikit kaca mobil, kemudian merasakan angin menerpa wajahnya. Terasa menyejukkan.
Tak lama, mobil Raka terparkir di rest area. Raka yang turun disusul oleh Ara. Gadis itu mendahului langkah Raka untuk masuk.
Namun saat sampai di dalam, Ara kebingungan mencari toilet. Ia menoleh melihat Raka yang masih jalan santai, “Toiletnya mana?” tanya Ara.
Raka memutar bola matanya, ia menunjuk arah toilet. Ara yang mau pergi ditahan pergelangan tangannya. “Apa lagi, Kak? Aku udah kebelet,” rengek Ara.
“Saya tunggu di bangku itu. Kamu mau makan? Saya pesankan?” tawar Raka. Ia menunjuk kursi yang akan ia tempati.
“Iya, laper. Terserah makan apa yang penting jangan pedes. Udah, aku mau ke kamar mandi dulu,” balas Ara melepas tangan Raka yang menahan pergelangan tangannya.
Ara pun berlari menuju kamar mandi. Raka sendiri langsung menuju tempat penjual makanan dan minuman. Ia memesan dua porsi makanan, tak lupa air minum dan camilan untuk di perjalanan. Ternyata kampung Ara sangat jauh. Mungkin ia akan sampai sore atau malam hari.
Bosan, Raka memainkan ponselnya. Dan ia terkesiap saat tiba tiba Fiona meneleponnya. Segera ia mengangkat panggilan itu.
“Halo, Sayang,” ucap Raka berusaha menetralkan suaranya yang gugup. Bagaimana tidak gugup? Ia merasa selingkuh dari Fiona. Saat ini ia bersama perempuan lain.
“Setelah berminggu minggu kamu nggak peduliin telepon aku, akhirnya kamu angkat juga, Raka!” omel Fiona di seberang telepon.
“Maaf,” ujar Raka. Kali ini ia benar benar tulus mengatakannya.
“Sayang, kamu sekarang jujur aja, deh, sama aku.”
Deg!
Dunia Raka seolah runtuh. Entah jujur apa yang Fiona maksud.
“M- ma- maksud kamu, Sayang?” tanya Raka takut takut.
“Aku ada salah sama kamu?” tanya Fiona balik.
Raka yang sempat menahan napasnya akhirnya bisa menghembuskannya lega. Ternyata Fiona tidak curiga terhadapnya.
Rupanya Raka tidak bisa langsung tenang saat melihat Ara berjalan menuju ke mejanya. Raka melotot ke arah Ara seraya memberi aba aba untuk Ara tidak bersuara karena ia sedang menelpon. Untung saja Ara paham, wanita itu mengangguk paham saat Raka memberi aba aba kepadanya.
Ara duduk di kursi hadapan Raka tanpa bersuara sedikit pun. Ia hanya memperhatikan Raka yang masih mengarahkan teleponnya di telinga.
“Raka! Kamu denger, kan? Kenapa malah diem, sih? Sayang! Bener aku ada salah? Nggak biasanya kamu gini ke aku,” ujar Fiona kembali merengek.
“E- enggak, Sayang. Kamu nggak ada salah apa apa,” balas Raka.
“Kalau nggak ada, kenapa kamu kayak ngindarin aku? Kamu tahu? Gara gara sikap kamu ini aku nggak fokus kerja, Sayang. Aku selalu mikirin kamu. Takut aku ada salah.”
“Maaf. Aku sibuk banget. Serius. Kamu jangan mikir aneh aneh.”
“Kamu nggak lagi selingkuh, kan?” Fiona terdengar curiga.
“Selingkuh? Emang aku mau selingkuh sama siapa, Fiona? Emang ada perempuan sesempurna kamu? Di mata aku cuma kamu yang sempurna, yang paling cantik, pinter, semua ada di kamu. Jadi aku mohon jangan mikir aneh aneh,” Raka menjelaskan dengan mimik wajah kebingungan.
Semua eskpresi Raka terekam jelas di mata Ara. Entah kenapa ia seperti selingkuhan yang disembunyikan. Ia adalah orang ketiga dari dua orang yang saling mencintai. Ara kembali memegang perutnya, tanpa alasan hatinya terasa sakit. Ara menunduk.
“Kalau nggak ada yang salah, angkat telepon aku, Sayang. Aku nggak suka kamu reject telepon aku terus.”
“Iya, aku bakal angkat. Aku juga bakal telepon kamu. Maaf, ya, nggak bakal aku ulangi.”
“Kamu kalau ada masalah ngomong, jangan cuma dipendem.”
“Iya, Sayang.”
“Ya udah aku lanjut kerja, ya? Kamu baik baik di sana. Aku bakal cepet selesaiin kerjaan aku di sini biar bisa ketemu sama kamu,” ujar Fiona.
“Iya, Sayang.”
“Aku tutup dulu, love u Raka.”
“Love you more, Fiona.”
Raka menghembuskan napas lega. Ia meletakkan ponselnya di atas meja. Bersamaan dengan itu makanan datang.
Keduanya makan dengan tenang. Ara sendiri tidak bersuara. Ia fokus mengisi perutnya. Sedangkan Raka tidak berhenti mencuri pandang. Ia merasa aneh karena Ara tidak bereaksi apa pun. Padahal jelas jelas ia bertelepon dengan pacarnya tadi.
“Kamu kenapa diem? Nggak ada yang mau ditanyakan?” tanya Raka penasaran.
Ara menggeleng, “Kalau makan nggak boleh bicara, Kak,” balas Ara sekenanya.
Selesai makan, Ara meminum es teh. Ia memainkan sedotan dengan bibirnya. Rasanya sibuk sendiri lebih seru dibanding harus berbicara dengan Raka. Ara tidak terlalu suka berbicara dengan pria yang sudah ia cap jahat itu jika tidak diajak bicara terlebih dahulu.
“Tadi pacar saya,” ungkap Raka tiba tiba.
Ara mengangkat pandangannya untuk melihat Raka. Bibirnya masih sibuk menggigiti sedotan sampai gepeng. Sebagai jawaban, Ara hanya mengangguk.
“Kamu nggak penasaran?” tanya Raka.
Ara menggeleng tanpa ragu, “Enggak, soalnya udah tahu. Kamu panggil dia sayang,” balas Ara singkat.
“Dia perempuan yang harus kamu waspadai, jangan sampai dia …,” belum selesai berbicara, Ara sudah memotongnya.
“Jangan sampai dia tahu kalau aku istri Kak Raka. Iya aku tahu. Aku udah hapal isi surat perjanjiannya. Nggak bakal aku langgar, kok. Tenang aja.”
“Bagus,” ucap Raka puas. “Kamu nggak mau nambah lagi? Atau kamu mau beli sesuatu buat dimakan di jalan?”
Ara melirik tempat ice cream, ia menunjuknya, “Pengen es krim.”
“Oke bentar lagi kita beli.”
Ara mengangguk. Ia menurut saja. Toh yang membeli adalah Raka, dan menggunakan uang Raka.
“Orang tua kamu suka menantu yang seperti apa?”
“Yang baik,” balas Ara seadanya.
“Lebih spesifik, agar saya bisa mengambil sikap,” ucap Raka.
“Kalau kamu bersikap baik, Bapak-Ibu pasti suka. Kamu dari keluarga kaya, orang tua mana yang menolak anaknya menikah dengan orang kaya?”
“Mata duitan,” ejek Raka.
“Ya, orang miskin seperti kami memang begitu, kan?” balas Ara. Sejujurnya ia malas meladeni ucapan Raka. Alhasil ia hanya mengiyakan saja. Terserah pria itu mau berpikir bagaimana tentangnya.
“Kita lanjutkan perjalanan. Saya nggak mau kemaleman sampai rumah kamu,” ucap Raka. Ia berdiri seraya mengais ponsel dan kunci mobilnya.
“Es krimnya?” tanya Ara menagih.
Raka menghembuskan napasnya, ia meraih dompet yang ada di saku belakang celana, membukanya, kemudian memberikan uang seratus ribu kepada Ara.
“Kamu beli sendiri, saya tunggu di mobil.”
Ara mengangguk. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih saat menerima uang dari Raka. Riang, ia menuju mesin pendingin es krim. Ara membeli dua buah es krim, kemudian membayarnya.
Kurang tiga jam lagi untuk sampai di rumah. Ara harus memakan yang manis manis. Bersama dengan Raka selalu menguras emosinya.
Saat ini Ara hanya bisa mengandalkan es krim untuk menaikkan gula darahnya yang selalu turun.
Setidaknya ada penawar yang membuat Ara betah bersama Raka lama lama. Si menyebalkan, si berengsek, si tidak tahu diri yang selalu pakai otot saat bicara dengan Ara. Ara korban, namun Raka si pelaku justru belagak sebagai korban yang merasa paling dirugikan. Untuk pertama kalinya Ara menemukan manusia macam Raka.
- To be continued -