05 - Peran

1281 Kata
Tepat pukul tujuh malam, Raka dan Ara sampai di kampung halaman Ara. Sebuah rumah sederhana tepat di hadapan Raka. Rumahnya memang tidak terlalu besar, ya dibanding rumahnya, namun halaman rumah Ara terlihat luas. “Mereka udah kamu kabari kalau saya akan datang?” tanya Raka. “Sudah, Kak. Mereka juga udah siapin kamar buat kamu,” balas Ara. “Hah?” Raka terkejut mendengar ucapan Ara. “Kenapa?” tanya Ara heran. “Maksudnya siapin kamar apa?” tanya Raka balik. “Ya buat nginep. Buat apa lagi? Emang Kakak mau tidur di sofa? Nggak mungkin, kan?” “Ya itu maksud saya? Ngapain siapin kamar? Kita nggak nginep. Kita langsung pulang. Besok saya banyak kerjaan.” “Nggak mungkin langsung pulang. Aku capek, lagi harus istirahat. Bapak sama Ibu juga nggak bakal izinin buat langsung pulang,” jelas Ara lembut. “Terus kerjaan saya gimana?” tanya Raka. “Ya udah kamu coba ngomong sama Ibu dan Bapak, Kak. Boleh atau enggak langsung pulang, kalau boleh ya aku nurut aja ikut pulang. Tapi kalo nggak boleh, masak kamu mau bantah? Katanya mau acting jadi calon menantu yang baik. Suruh nginep aja nggak mau.” Raka menghembuskan napasnya. Ia mengacak rambutnya frustasi. Raka bingung sekali. “Kamu nggak mau nginep karena rumah aku jelek, kan?” tuduh Ara. Raka membelalakkan matanya tidak percaya dengan tuduhan Ara yang ditujukan padanya itu. Memangnya Raka laki laki seperti apa di mata Ara? tanyanya dalam hati. “Rumah aku meskipun nggak sebagus apartemen kamu juga bersih, nggak kotor. Nyaman ditempati. Aku tinggal di sini belasan tahun. Nyamuk juga nggak ada,” tambah Ara. “Bukan itu, kenapa kamu mikirnya kayak gitu?” tanya Raka. “Terus?” “Ya karena saya besok beneran banyak kerjaan. Meeting dengan client, belum lagi harus memeriksa tumpukan berkas. Kalau sehari saja saya tinggal tuh meja saya, saya bakal kerja sampe pagi nggak istirahat. Kamu kira nggak capek?” oceh Raka menjelaskan. Ara mengerucutkan bibirnya, “Ya udah kamu bilang aja ke Bapak sama Ibuk, kalau diizinin kita pulang langsung tanpa nginep.” Ara turun dari mobil, Raka yang merasa semakin frustasi hanya memukul setirnya kesal. “Tenang, Raka. Ikuti aja alurnya, tenang,” ujar Raka pada dirinya sendiri. Ia bahkan mengatur napasnya agar stabil. Raka turun dari mobil dan mengekori langkah Ara yang masuk ke pekarangan rumah. Ara mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Dari dalam terdengar sautan salam dari Ara. Dan beberapa detik kemudian pintu terbuka. Berdiri sepasang paruh baya yang tampak hangat menyambut Ara dan Raka. Wanita dan pria paruh baya dengan rambut beruban itu tampak masih segar bugar. Raka tebak mereka berdua adalah orang tua Ara. “Bapak, Ibuk,” ujar Ara menyalimi tangan keduanya bergantian. Raka yang peka langsung ikut melakukan hal yang sama. Ia bahkan tersenyum begitu ramahnya. Ara sampai menganga melihat senyum Raka yang begitu manisnya di depan kedua orang tuanya. Raka yang biasanya marah marah kini tersenyum seolah dia adalah manusia yang paling baik sedunia. “Kalian sudah sampai? Ayo masuk dulu. Kalian pasti capek, ibu udah siapkan teh hangat untuk kalian,” ujar Ibu kepada Raka dan Ara. “Iya, Bu, Ara capek,” balas Ara merengek seperti anak kecil. Sudah biasa ia lakukan. Ara akan bersikap kekanak kanakan jika berhadapan dengan ibunya. Ara dan Raka masuk bersama. Raka yang masih menyesuaikan keadaan hanya memperhatikan isi di dalam rumah sederhana Ara. Tidak bisa Raka pungkiri, memang kondisi rumah Ara sangat bersih, dan tidak terlalu sempit juga seperti tampilan di luar. Rumah Ara luas, dan sederhana. Barang barang yang terpajang di sana, serta perabotan tampak kuno, namun itu yang menambah kesan klasik. Satu yang Raka simpulkan, rumah Ara terasa nyaman dan hangat. Raka dipersilakan duduk di sofa ruang tamu, pria itu duduk berdampingan dengan bapak Ara. Canggung membuat Raka hanya duduk seperti patung. Ia bahkan berhati hati hanya untuk bergerak. Acting yang Raka perankan saat ini membuat Ara ingin berdiri dan melakukan standing applause. Raka tidak pantas jadi pengusaha, ia pantasnya menjadi pemain sinetron. Baru saja dibicarakan di dalam hati, Raka sudah melakukan aksinya. “Maaf datang langsung merepotkan Bapak dan Ibu,” ujarnya sopan. Bapak dan Ibu hanya membalasnya dengan senyuman. Yah, pasti keduanya semang Ara membawa laki laki ke rumah. Bagaimana tidak? Di kampung Ara, perempuan seusia Ara harusnya sudah menikah, beberapa bulan lalu juga Bapak dan Ibu Ara menelepon untuk Ara segera memilih calon menantu untuk mereka. Mereka tidak mau Ara menjadi perawan tua. Tapi Ara menolaknya, ia tidak mau menikah dan ingin fokus dengan pekerjaannya sebagai asisten MUA. Ia berharap suatu saat nanti akan menjadi MUA terkenal. Impiannya. Namun impian hanya sebuah impian karena kini ia mengandung anak Raka. Anak laki laki sok baik di hadapannya. Reaksi saat Ara bilang ia ingin mengajak laki laki yang akan melamarnya kepada Bapak Ibunya tentu mendapat respon yang positif. Apalagi saat Ara menceritakan bahwa Raka adalah laki laki mapan yang bertanggung jawab, dewasa, tentu baik. Orang tua mana yang tidak senang? Mereka berbincang sebentar seraya menikmati teh hangat. Ara melihat Raka yang sangat canggung, namun berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi calon menantu yang baik. “Nak Raka kerja apa di sana?” tanya Ibu Ara. Pertanyaan yang sangat umum ditanyakan. “Ah, saya meneruskan usaha keluarga, Bu, Pak,” ujar Raka seadanya. “Pengusaha toh,” saut Bapak Ara. “Iya, Pak,” balas Raka seraya tersenyum canggung. Banyak pertanyaan pertanyaan yang Raka jawab dengan berhasil. Setelah mereka berbincang, akhirnya Ibu Ara mempersilakan untuk mereka makan malam. “Ayo makan malam dulu, Ibu tahu kalian pasti lapar,” ujar Ibu Ara. Raka berpura pura menolak dengan alasan tidak mau merepotkan. Sedangkan Ara yang memang lapar mengikuti langkah ibunya ke meja makan untuk makan. Biarkan saja kalau Raka tidak mau makan masakan ibunya, yang penting ia harus untuk mengisi energi takut takut jika Raka keras kepala ingin pulang malam itu juga. Namun penolakan hanya penolakan, pada akhirnya Raka duduk di meja makan. Ia membalik piring, dan Ibu dengan telaten menyiapkan nasi dan lauk di piringnya. Lihatlah kedua orang tuanya, tampak senang anaknya mendapatkan laki laki kaya yang terlihat baik. Maaf, Buk, Pak, ujar Ara dalam hati. Ia merasa sedang membohongi kedua orang tuanya. Ara memperhatikan gerak gerik Raka saat melahap makanan masakan ibunya. Dan Ara berdecih saat Raka menikmatinya. Siapa yang tidak menikmati? Masakan ibunya sungguh luar biasa. Meski sederhana tapi selalu enak. Bahkan isi dalam piring Raka habis tak tersisa. Lagi lagi raut wajah senang tercetak jelas di wajah ibu Ara. “Mau nambah lagi Nak Raka?” tawarnya. “Boleh, Bu,” balas Raka. Ibu Ara sigap menambahkan nasi dan lauk ke dalam piring pria itu. Hanya nasi, tempe, tahu, sayur kangkung, dan kerupuk, tapi Raka terlihat sangat lahap memakannya. Entah itu acting atau dia bener bener suka masakan Ibu, batin Ara. Usai makan malam, mereka tidak langsung pergi dari meja makan. Pembicaraan serius pun terjadi antara Bapak, Ibu, dan Raka. “Niat saya ke mari untuk meminta izin kepada Bapak dan Ibu,” ujar Raka sesopan mungkin. “Utarakan, Nak,” balas Bapak Ara. “Saya mungkin bukan laki laki sempurna dan baik,” ujar Raka. Memang! Kamu itu laki laki jahat! hardik Ara dalam hati. “… tapi saya yakin bisa menjaga Ara dengan baik. Saya berniat melamar Ara untuk menjadi istri saya, Buk, Pak,” sambung Raka. Bapak dan Ibu Ara kompak mengucapkan rasa syukur. Keduanya terlihat senang. Ini diluar ekspektasi Ara. Ia kira ibu dan bapaknya akan melarangnya, namun rupanya Bapak dan Ibunya setuju bahkan tidak ragu menunjukkan rasa sukanya terhadap Raka. Peran yang di tunjukkan Raka, sungguh sempurna. Jika Raka adalah seorang aktor, mungkin piala penghargaan akan banyak terpajang di rumahnya. Dia akan menjadi aktor terfavorit, atau aktor terbaik. - To be continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN