06 - Menginap

1006 Kata
Raka menatap langit langit kamar tamu yang ia tempati saat ini. Pasalnya ia tidak bisa menolak ucapan Bapak dan Ibu Ara untuk menginap dan pulang besok paginya. Alhasil berakhirlah dia di kasur kapuk dengan sepasang baju milik Bapak Ara sebagai pengganti piyama tidurnya. Suara jangkrik sungguh nyaring menembus indera pendengarannya. Raka sampai tidak bisa tidur karenanya. Benar ucapan Ara, rumah ini anti nyamuk dan nyaman. Raka mengambil ponsel miliknya, kemudian melihat jadwal pekerjaannya besok. Sepertinya ia harus mengatur ulang jadwal. Ia mengirim pesan kepada sekretarisnya untuk segera merevisinya, kemudian kembali meletakkan di atas nakas. Baru saja Raka hendak pindah ke alam mimpi, tapi suara gaduh di dapur membuat pria itu kembali membuka kedua matanya. Tidak mungkin ia bisa tidur dalam keadaan seperti itu. Lagi pula siapa malam malam di dapur? Tanya Raka pada dirinya sendiri. Raka memutuskan untuk turun dari ranjang dan memeriksa dapur. Ia melihat Ara dengan setelan baju tidurnya sedang bergelut di sana. Tak ragu Raka menghampiri gadis itu. “Ini tengah malam, Ra,” ujar Raka. Ara sempat terkejut, ia melirik Raka yang menghampirinya. Ara merasa asing dengan penampilan Raka yang berbeda, namun segera ia merubah raut wajahnya dan kembali meneruskan kegiatannya. Ara sedang membuat sereal. Entah kenapa ia kembali lapar padahal ia sudah makan. Alhasil ia membuat sereal untuk dimakan. “Aku laper,” balas Ara sekenanya. Raka memperhatikan aktivitas Ara. Sereal yang dibuat Ara tanpa sadar membuatnya ingin pula membuatnya. “Kamu mau makan itu?” tanya Raka basa basi. “Ya, iya, emang mau makan apa lagi? Kan lagi bikin sereal. Masak makan steak atau pizza? Kan nggak mungkin.” “Saya mau.” “Hah? Maksudnya?” “Itu, saya mau juga.” “Maksud Kak Raka, Kak Raka mah sereal ini juga?” Raka tanpa ragu mengangguk. “Saya nggak bisa tidur, mungkin karena lapar. Buatkan saya semangkuk sereal, mungkin setelah makan saya bisa tidur nyenyak,” jelas Raka. “Hm, oke,” balas Ara. Ara mengambilkan mangkuk untuk Raka, ia menghidangkan semangkuk sereal lagi untuk Raka. Setelah siap, Ara menyerahkannya kepada Raka. “Makan di mana?” tanya Raka. “Di ruang TV, sambil nonton TV,” balas Ara. Raka mengikuti langkah Ara yang menuju ke ruang TV. Kamar orang tua Ara jauh dari ruang TV, pantas saja mereka tidak terbangun saat putri mereka membuat gaduh seperti sekarang, Ara duduk seraya menyetel TV, ia bersila kemudian memakan serealnya dengan nikmat seraya menonton tayangan televisi. Raka mengambil tempat untuk duduk di samping Ara. Pria itu melirik perempuan yang terlihat asik sendiri. Ara fokus menonton tayangan televisi tanpa mempedulikan calon suaminya yang tengah duduk di sampingnya seraya memperhatikan dirinya itu. “Ra,” panggil Raka. “Hm?” balas Ara. “Nggak jadi, deh,” ucap Raka kemudian. Ara melirik pria itu seraya mengerutkan keningnya, “ada apa, Kak? Kenapa?” “Nggak jadi,” balas Raka singkat. Ara menggeleng, tak mau ambil pusing, perempun itu kembali memakan serealnya. Sesungguhnya Raka terganggu dengan ucapan Bapak Ara tadi. Mereka berdua sempat mengobrol di halaman depan seraya merokok. Mereka membicarakan tentang Ara. Bukan keinginan Raka, namun topik tentang Ara mengalir begitu saja. “Ara itu memang anak bungsu Bapak, tapi dia yang paling bisa diandalkan dari abang dan kakak perempuannya,” ujar Bapak Ara tadi. Raka mendengarkan dengan saksama. Kalau Bapak Ara tidak bilang Ara adalah anak bungsu, ia tidak akan mengerti. Ara dan Raka tidak pernah berbincang panjang, mereka seperti dua orang yang selalu menjaga jarak. Jadi mustahil kalau Ara atau pun Raka akan berbicara perihal masalah keluarga. Mereka tidak sedekat itu. “Dari kecil, dia tidak pernah merengek, selalu menurut apa kata Bapak dan Ibu, dia juga selalu mengalah dan tidak pernah mengeluh atau pun iri terhadap kakak kakaknya. Bapak sampai bingung, kenapa anak bungsu bisa sedewasa itu,” tambah Bapak Ara. “Ara itu anak bapak yang paling nurut juga. Dia tidak pernah menyusahkan bapak dengan minta ini itu. Jadi jangan heran kalau nanti kalian menikah, dia tidak meminta sepeserpun uang terhadap kamu,” jelas Bapak Ara. “Meski terlihat manja, dia selalu mementingkan kesenangan orang lain dibanding kesenangannya sendiri.” Raka mengerutkan kening, ia seperti protes dan tidak terima. Mana ada manusia seperti itu? Semua manusia pada dasarnya egois, bukan? Terlebih Ara manusia biasa seperti dirinya. Egois itu sudah sifat lumrah manusia. Ara bukan malaikat, untuk apa dia mementingkan kesenangan orang lain dibanding kesenangannya sendiri? “Apakah Ara seperti itu, Pak? Mementingkan kesenangan orang lain dibanding kesenangannya sendiri?” Raka terlihat ragu kala mengatakannya. “Nanti kamu tahu sendiri. Seiring berjalannya waktu, kamu pasti akan mengerti kalau Bapak tidak mengada ada tentang Ara. Bapak beruntung punya Ara sebagai anak Bapak.” Bapak seolah memaklumi keraguan dalam diri Raka. Ia sendiri kadang bingung kenapa memiliki anak sebaik Ara di hidupnya. Bagaimana kalau Bapak tahu kita menikah hanya sebagai formalitas? tanya Raka dalam hati. Tak bisa dipungkiri bahwa ia merasa bersalah karenanya. Meski Ara tidak berarti apa apa di hidup Raka, namun tidak dengan Bapak mertuanya. Tentu Ara sangat berarti. “Bukan membanggakan anak Bapak sendiri, tapi Bapak yakin kamu tidak akan menyesal menikah dengan Ara. Dia tidak akan menyusahkan kamu. Merawat Ara tidak akan susah karena dia tidak mungkin meminta hal aneh aneh. Dia tidak suka menyusahkan orang lain meski itu keluarganya sendiri,” ungkap Bapak tanpa bosan membanggakan putri bungsunya. “Begitukah Ara, Pak?” tanya Raka seraya tersenyum menanggapi. “Ya, dia gadis seperti itu. Dia tidak akan menyusahkan kamu di masa depan. Dia gadis yang bisa dipercaya,” balas Bapak. Yah, semakin besar rasa bersalah Raka terhadap orang tua Ara. Ia merasa telah membohongi mereka. Tapi ia tidak bisa melakukan apa pun. Ia tidak mencintai Ara, dan Fiona adalah prioritasnya. “Jaga Ara baik baik, ya, Nak Raka. Bapak percaya pilihan Ara baik. Dia sudah berusaha keras dari dulu, dan Bapak harap sekarang dia bisa mulai bersantai setelah mengenal Nak Raka.” Raka tersenyum seraya mengangguk sopan, “Saya akan berusaha untuk menjaganya, Pak,” balas Raka. Setidaknya selama kami menikah, saya akan berusaha semaksimal mungkin, tambahnya dalam hati. - To be continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN