Setelah pulang dari rumah Ara, Raka benar benar dirundung oleh banyaknya pekerjaan. Ia selalu lembur dan tidak berhenti bekerja. Bahkan saat weekend pun ia tidak libur. Efek libur selama beberapa hari memang bukan main.
Raka sendiri tidak tahu kenapa ia mendadak sangat sibuk padahal pekerjaannya hanya ditinggal sebentar. Pekerjaan Raka seolah tidak berhenti mendatanginya. Padahal tiga hari lagi adalah hari pernikahannya dengan Ara, tapi sampai detik ini ia dan Ara belum memilih baju pernikahan mereka. Sesibuk itu Raka Andreas menjelang hari pernikahannya sendiri.
Bukannya Ara tidak mengingatkan untuk fitting baju pengantin, tapi Raka selalu beralasan ini dan itu jika Ara mengajaknya. Alhasil Ara menyerah dan tidak lagi mengingatkan Raka tentang fitting baju pengantin. Kesannya Ara yang terlalu semangat akan pernikahan mereka. Wanita itu memiliki sisi gengsinya sendiri. Lagi pula Ara juga tidak terlalu bersemangat akan pernikahannya. Ia menikahi Raka karena terpaksa.
Tidak dipedulikan dan diacuhkan Raka sudah tidam mengherankan lagi. Ara bukanlah prioritas Raka. Pernikahan mereka pun juga bukan prioritas utama seorang Raka.
Setelah dari pagi disibukkan dengan berkas berkas, tepat saat makan siang Raka berniat untuk keluar dari ruangannya. Perutnya juga butuh diisi.
Baru saja hendak memasang jas, tapi pintu ruangan Raka terketuk dan dibuka tanpa izin. Raka ingin protes namun urung karena tahu jika yang melakukan itu adalah Diah —mamanya.
“Ma,” sapa Raka.
Diah duduk di sofa tanpa disuruh. Raka hapal sekali, jika sudah seperti itu ada yang ingin mamanya bicarakan dengan Raka.
Selama beberapa hari terakhir, Raka tidak pulang ke rumah. Ia selalu tidur di apartemen. Bukan menghindar dari mamanya, tapi karena beberapa hari terakhir pekerjaannya sangat menumpuk, dan jarak kantor dan rumah sangat jauh, itu kenapa Raka memilih untuk pulang ke apartemennya yang jaraknya lebih dekat. Raka enggan lelah dua kali di perjalanan hanya untuk mengemudi mobil.
Raka duduk di seberang sofa. Ia menatap mamanya yang terlihat tenang seperti biasa. Diah Andreas, dia adalah wanita hebat di mata Raka. Meski kadang suka cerewet dan menyebalkan karena wataknya yang enggan dibantah.
Diah memimpin perusahaan selama beberapa tahun untuk menggantikan suaminya yang tidak lain adalah papa Raka yang meninggal karena serangan jantung. Wanita paruh baya itu menyelamatkan krisis perusahaan. Karena ketegasannya, ia disegani dan dihormati. Meski saat ini posisi pimpinan digantikan oleh Raka, namun Diah masih sibuk mengurusi beberapa hal seperti kantor cabang dalam, dan luar negeri. Jadi tidak heran jika Diah bolak balik luar negeri. Pekerjaan yang menuntutnya.
Raka sudah melarang untuk Diah selalu sibuk membantunya. Raka ingin mamanya istirahat dan pensiun dari pekerjaan. Tapi masalahnya Diah adalah wanita keras kepala. Dia bilang kalau ia pensiun, ia akan mati bosan. Diah akan pensiun jika Raka memberinya cucu, pikirnya Raka akan menikah dengan Fiona kemudian memiliki anak. Karena Raka dan Fiona sama sama sibuk, Diah bisa mengurus anak mereka. Setelah Diah mengeluarkan jurus jitu itu, Raka tak bisa berkutik lagi selain membiarkan mamanya melakukan apa yang diinginkan. Menikah dengan Fiona dan punya anak adalah hal yang sulit Raka wujudkan. Menikah saja Fiona masih berpikir beribu kali, bagaimana dengan anak? Dia terlalu sayang dengan karir ya di dunia entertain.
“Ada apa, Ma?” tanya Raka.
“Kamu mau ke mana?” tanya Diah balik.
“Mau makan siang. Kan waktunya makan siang.”
“Mama mau bicara sama kamu.”
“Kenapa nggak di rumah aja?”
“Nunggu kamu pulang sampe kapan? Lagian juga kamu akhir akhir ini pulang ke apartemen bukan rumah. Lagi sibuk banget, kan, kamu?”
“Iya, Ma. Kerjaan lagi numpuk.” Raka melirik berkas di atas mejanya. Diah bisa memaklumi itu.
“Itu kenapa mama hampiri kamu ke sini. Ini penting, masalah Ara.”
Raka memutar bola matanya muak. Bahkan hanya mendengar namanya saja membuat Raka tidak tertarik. Entah topik menarik apa dari perempuan itu sampai mamanya datang ke kantornya langsung untuk membahas.
“Ma, Raka sibuk. Nggak penting banget bicarain dia,” ujar Raka.
“Ini penting, dia itu calon istri kamu” balas Diah.
“Oke ada apa, Ma?”
“Mama udah selidiki latar belakang Ara. Semuanya mama kulik tuntas. Mama sewa orang untuk dapat semua informasi ini.”
“Mama ngapain sih pake periksa latar belakang dia? Raka bilangin, ya, Ma. Nggak ada yang menarik dan spesial dari Ara. Cuma buang buang uang Mama aja selidikin perempuan itu.”
“Karena dia calon menantu mama, calon istri kamu juga. Makanya mama selidiki semuanya.”
“Calon menantu Mama itu Fiona, bukan Ara. Mama nggak bisa seenaknya rubah gitu, dong!” protes Raka.
Diah tertawa mengejek, “Kalau calon mantu mama Fiona, harusnya kamu hamilin dia, dong. Bukan malah menghamili perempuan lain.”
“Raka bilang berkali kali kalau kejadian itu adalah kesalahan fatal yang Raka lakuin, Ma.”
“Mama nggak peduli. Itu kesalahan kamu, ya kamu harus tanggung jawab.”
“Mama percaya kalau anak yang dikandung perempuan kampung itu anak Raka?” Raka masih berusaha untuk menghasut mamanya.
“Awalnya nggak percaya, tapi setelah mama selidiki sendiri, kayaknya mama bakal lebih percaya sama Ara dibanding kamu.”
“Mama sampe segitunya sama Raka? Emang Mama dapat informasi apa aja, si?”
“Dia perempuan baik, Raka. Dan dia nggak pernah jalin hubungan dengan laki laki mana pun. Mana mungkin dia bohong perihal anak yang dikandungnya?”
“Oke, sekarang mama belain dia.”
“Mama nggak bela!”
“Terus?”
“Mama cuma bersikap rasional.”
Raka berdecih. Mamanya seperti orang yang berbeda. Lebih membela orang lain dibanding putranya sendiri.
“Terus untuk pernikahan kalian, kamu yakin bakal usung konsep private wedding gitu? Ini pernikahan pertama dan terakhir kamu, Raka. Jangan sampai kamu nyesel.”
“Nggak bakalan,” ketus Raka.
“Tapi setidaknya kamu fitting baju pengantin sama Ara. Jangan cuma sibuk kerja terus. Pernikahan kalian tinggal menghitung hari.”
“Iya nanti Raka hubungi Ara dan bawa dia pergi buat fitting.”
“Jangan cuma ngomong Raka.”
“Iya, Ma.”
“Kalau sampai nanti mama hubungi pihak butik dan kamu masih belum ajak Ara. Kamu tahu apa yang bakal mama lakuin, kan?”
Setelah mengucapkan hal itu, Diah pergi dari ruangan Raka seraya mengais tasnya.
- To be continued -