Setelah mamanya meninggalkan kantor, Raka langsung mengambil ponselnya dan mengirimi Ara pesan. Tadi sebelum pergi, mamanya juga mengancam kalau sampai hari ini tidak fitting, mamanya sendiri yang akan mengajak Ara. Raka tidak mau itu terjadi. Jika bersama mamanya, pasti ia akan mengajak Ara ke mana mana. Raka takut ada yang berpikiran tidak tidak jika melihat mamanya dan Ara bersama. Apalagi jika bertemu dengan teman teman sosialita mamanya, bisa habis. Ibu ibu penyuka gosip itu mulutnya lebih merepotkan dari wartawan.
Raka : Ara, kamu pulang kerja jam berapa?
Tidak ada balasan, sudah beberapa menit Raka menunggu namun Ara belum juga membalas. Akhirnya Raka putuskan untuk menyakui ponselnya. Ia harus makan sebelum jam kerja kembali dimulai. Meski Raka adalah atasan, ia disiplin waktu. Menurutnya itu adalah hal yang wajib. Waktu tidak boleh disia siakan begitu saja.
Raka makan di restoran terdekat langganannya. Sembari menunggu pesanan diantar, Raka kembali mengambil ponselnya untuk memeriksa apakah Ara membalas pesannya atau tidak. Rupanya perempuan itu sama sekali tidak membalasnya. Dibaca saja tidak.
Raka berdecih, ada perasaan kesal saat pesannya diabaikan. Padahal Raka belum tahu apa yang Ara lakukan, dan alasan kenapa Ara tidak membalasnya.
Tanpa berpikir dua kali, Raka menelepon Ara.
Pada panggilan pertama tidak diangkat, kedua dan ketiga juga tidak. Raka semakin panas hati. Entah kenapa ia kesal saat diabaikan perempuan itu. Padahal Raka juga sibuk, tapi jika perempuan itu mengirimi pesan atau menelepon juga Raka akan mengangkatnya.
Sedangkan di lain sisi, Ara yang sibuk merias tidak sadar bahwa sedari tadi ponselnya berdering nyaring. Ia terlalu fokus pada eye shadow yang sedang diaplikasikannya kepada model yang tengah memejamkan mata di depan meja rias.
“Ra,” panggil Jena.
Ara masih tetap fokus pada aktivitasnya.
“Ra,” sekali lagi Jena memanggil, kali ini sedikit lebih keras.
Ara terkesiap, ia menatap Jena yang tengah memegang ponselnya yang berdering itu.
“Ya, Kak Je?”
“Hp kamu bunyi terus dari tadi.”
Ara beralih menatap ponselnya yang tengah Jena genggam itu.
“Dari siapa? Kalau nggak penting nggak usah diangkat aja, Kak.”
“Hm, dari Kak Raka,” Jena membaca nama yang tertera sebagai pemanggil.
“Oh, nggak penting. Nggak usah diangkat. Biarin aja, Kak.” Ara kembali menunduk dan mengoleskan eye shadow- nya di mata sang model.
Jena meletakkan kembali ponsel Ara di tempat semula. Ya, Ara memang seperti itu. Menurutnya panggilan penting hanya dari orang tuanya saja. Jika saat bekerja ada yang meneleponnya dan itu bukan dari orang tuanya, Ara tidak akan mengangkatnya. Jena hapal betul dengan asisten pribadinya yang kelewat rajin.
Di restoran, Raka yang sudah menelepon sebanyak dua puluh kali akhirnya menyerah. Ia meletakkan kasar ponselnya di atas meja dengan napas memburu.
“Sialan! Berani beraninya dia nggak angkat telepon.”
Karena hal kecil itu, di sepanjang makan siangnya, Raka tidak berhenti kesal. Bahkan nafsu makannya tiba tiba hilang begitu saja. Karena ia harus mengisi perutnya, alhasil Raka memaksa mengunyah dan menelan makanan hingga habis. Kesal juga butuh tenaga.
Rupanya kekesalan Raka tidak berhenti sampai di sana. Saat di kantor, ia bekerja dengan perasaan campur aduk. Rasanya malas sekali. Apalagi saat tahu Ara belum membalas atau meneleponnya kembali.
Berkali kali Raka melirik ponselnya yang terletak di samping laptop kerjanya. Ia seperti menunggu notifikasi dari Ara tanpa ia sadari tentunya.
“Kenapa belum bales atau nelfon, sih! Ngeremehin banget!” dumel Raka. Kali ini keyboard laptopnya yang menjadi korban. Ia mengetik dengan menekan keyboardnya kasar.
“Bener-bener, nih, perempuan!”
Ting!
Hanya satu notifikasi namun berhasil membuat Raka langsung melirik layar ponsel. Ternyata hanya notifikasi tidak penting dari aplikasi lain.
Raka berusaha untuk tidak menunggu dan tidak peduli lagi, namun saat ponselnya berbunyi menandakan ada telepon masuk, tanpa melihat siapa yang menelepon, Raka langsung mengangkatnya kemudian mengarahkannya pada telinga.
“Ke mana aja saya kasih pesan dan telepon nggak kamu balas, hah!” sentak Raka.
Mungkin hari itu adalah hari kesialan Raka. Tanpa ia ketahui bahwa yang menelepon dirinya bukan Ara, melainkan Fiona.
“Sayang, ini aku Fiona.”
Deg!
Jantung Raka seolah berhenti berdetak hanya dalam beberapa detik. Setelah itu, jantungnya malah berdetak di atas normal. Bukan karena lapar, jatuh cinta, atau yang lainnya. Hal itu karena ia terkejut dan bingung harus bagaimana. Raka takut tidak bisa beralasan. Alhasil ia membeku.
“Raka,” panggil Fiona di seberang telepon.
Raka masih diam saja.
“Raka! Kamu denger aku ngomong, kan? Ini aku Fiona.”
“Ah! Iya, Sayang, maaf. Maaf aku nggak bermaksud bentak kamu. Aku kira tadi orang lain,” ucap Raka menjelaskan. Ia berharap alasannya bisa diterima Fiona. Ia juga berharap agar Fiona tidak menaruh curiga terhadapnya.
“Emangnya kamu nunggu telepon dari siapa?” tanya Fiona.
“Dari sekretaris aku, Sayang. Beberapa hari ini aku sibuk banget sama pekerjaan. Aku nggak suka kalo ada hal penting dia malah enak enakan. Aku telepon nggak diangkat, makanya aku kesel,” jelas Raka.
Dan Fiona dengan mudahnya percaya.
“Oh, aku kira apa.”
“Ada apa telpon, Sayang?” tanya Raka lembut.
“Kangen,” balas Fiona singkat.
“Aku juga,” timpal Raka seraya membanting punggungnya pada sandaran kursi.
Raka memijit pelipisnya. Ia dan Fiona berbincang selama lima belas menit hanya untuk melepas rindu. Setelahnya Raka izin untuk mematikan telepon karena ia harus segera menyelesaikan pekerjaan mengingat ia harus pulang lebih cepat. Tapi Ara belum juga membalas pesannya.
Sungguh menyebalkan perempuan itu. Batin Raka.
“Nanti malem pulang kerja aku telepon lagi, ya, Sayang,” ucap Raka.
“Ya udah, deh, mau gimana lagi kamu sibuk.”
“I’m sorry, kerjaan aku ganggu banget akhir akhir ini.”
“Aku paham, kok. Kamu jaga kesehatan, jangan aneh aneh. Pulang kerja langsung pulang, matanya jangan jelalatan ke cewek lain selama nggak ada aku. Awas aja.”
“Iya, Sayang.”
Setelah sambungan telepon terputus, Raka hendak meletakkan kembali teleponnya sampai akhirnya urung karena Ara sudah membalas pesan darinya.
Harusnya Raka lega, kan? Ara sudah membalas pesannya. Balasan yang mengusik dirinya selama beberapa jam terakhir.
Namun setelah membaca isi balasan yang dikirimkan Ara membuat emosi Raka tersulut. Ia semakin kesal saja karena Ara hanya membalas iya. Satu kata, hanya ‘iya’ dan itu berhasil membuat Raka tersenyum sinis.
Raka :
Cuma iya doang?
Ara :
Terus harus balas apa lagi?
Raka :
Kamu emang pinter bikin orang emosi.
Ara :
Aku salah?
Raka :
Ngapain tanya saya? Tanya sama diri kamu sendiri!
Ara :
Aku nggak ngerti sama kesalahan aku.
Raka :
Sialan!
Ara :
Kenapa ngumpat?
Raka :
Gara gara kamu!
Ara :
Ya udah maaf.
Raka tidak lagi membalas pesan dari Ara. Menurut Raka, percuma saja dia minta maaf padahal tidak tahu kesalahan apa yang sudah diperbuatnya. Raka harus menyimpan banyak stock sabar menghadapi Ara.
Alhasil Raka uring uringan. Saat menjemput Ara, pria itu hanya mengirimi pesan bahwa ia ada di tempat parkir gedung acara tempat Ara bekerja. Kali ini ia tidak sedang di salon karena harus menemani Jena merias para model yang sedang melakukan fashion show di gedung itu.
Ara yang merasa lelah melangkah dengan langkah santai menuju mobil Raka yang terparkir. Sebelum masuk, Ara mengetuk kaca mobil terlebih dahulu, kemudian baru membuka dan masuk.
“Nunggu lama, Kak? Maaf banget, tadi ada satu model yang minta di touch up.”
“Emang saya tanya?” balas Raka ketus.
“Hah? E- enggak, sih. Tapi takut Kakak kesel nunggu aku lama.”
“Saya benci orang yang nggak on time,” ungkap Raka seraya menghidupkan mesin mobilnya.
“Maaf,” balas Ara merasa bersalah. Mau bagaimana lagi? Ia juga tidak bisa pulang seenaknya. Ia juga bekerja.
Sebelumnya Ara sudah berpesan bahwa ia akan terlambat dua puluh menitan, dan Ara juga sudah bilang kalau ia akan naik taksi dan Raka hanya perlu memberikan alamat butik lewat pesan agar Ara ke butik sendiri. Namun Raka tidak membalas pesan Ara, ia hanya membacanya dan tiba tiba mengirimi pesan bahwa sudah ada di tempat parkir gedung acara.
Aneh sekali. Sekarang Raka malah bersikap kesal dan ketus terhadap Ara. Tidak mau ambil pusing, Ara mengotak atik ponselnya untuk membunuh kebosanan. Ia bermain candy crush.
“Main game bisa, balas pesan dan angkat telepon dari saya susahnya minta ampun!” sindir Raka terang terangan.
Ara yang merasa tersindir menoleh, “Kan udah bukan jam kerja. Ya, bebas, Kak. Lagian aku bosen.”
“Emang kamu pikir cuma kamu aja yang sibuk dan kerja, hah? Iya?! Saya juga kerja, dan saya lebih sibuk dari kamu.”
“Kamu marah gara gara aku nggak angkat telepon kamu? Astaga, tadi itu aku nggak angkat telepon karena sibuk banget. Banyak model yang harus dirias cepet. Apalagi tadi ada yang terlambat. Nggak ada waktu buat angkat telepon kalo jam kerja,” jelas Ara panjang lebar.
“Siapa juga yang marah? Saya biasa aja,” elak Raka.
“Aku tahu kali, Kak. Jelas jelas kamu marah.”
“Saya cuma kesel. Sesibuk apa pun saya kalau kamu telepon ya saya angkat. Semua juga begitu. Telepon sekarang ini sangat penting. Kalau saya menelepon, itu tandanya sangat penting.”
“Kan selesai kerja aku sudah balas pesannya, Kak?”
“Cuma kata iya doang itu?” tanya Raka.
Bingung sendiri dengan suasana hati Raka, perempuan itu memilih untuk kembali bermain game di ponselnya. Meladeni Raka sama saja uji nyali. Ara selalu lelah jika Raka mengomel.
“Kenapa gak jawab?!” sentak Raka.
“Bingung mau jawab apa. Setiap aku jawab selalu salah.”
“Ngeselin banget, sih!” keluh Raka geregetan.
- To be continued -