09 - Wedding Dress

1579 Kata
Di butik tempat fitting baju pengantin, Ara dan Raka diajak berkeliling untuk melihat lihat model baju pengantin yang akan mereka kenakan tiga hari lagi. Ara tidak berhenti terkesima melihat banyaknya baju pengantin yang terpajang, belum lagi modelnya sangat indah dan menawan. Tidak salah karena butik tempatnya berada saat ini sangat terkenal karena desainernya sudah bolak balik memamerkan busana rancangannya sampai luar negeri. Pramuniaga yang menunjukkan beberapa model baju pengantin terbaik mereka juga tidak berhenti mengoceh seraya menunjukkan detailnya kepada Ara dan Raka. Jika Ara mendengarkan secara saksama, lain lagi dengan Raka yang terlihat cuek dan mengiyakan saja apa yang diucapkan pramuniaga toko tersebut. Ia ingin cepat pulang, tapi ia harus ke toko perhiasan dulu untuk membeli cincin untuk mereka. Setelahnya, mereka juga harus mencicipi dan menentukan makanan apa saja yang ada di pernikahan mereka. Meski pernikahan mereka private wedding yang hanya dihadiri keluarga dekat yang bahkan dirahasiakan statusnya, tetap saja butuh makan, kan? Jadi banyak yang harus Raka siapkan. "Kamu mau coba baju yang mana?" tanya Raka. Ia mulai bosan. "Bingung. Baju pengantinnya bagus bagus. Sampai nggak bisa milih," balas Ara. "Apa perlu saya yang bantu pilih? Kamu tinggal coba, nanti saya nilai mana yang terbaik dari yang terbaik." "Aku nggak percaya sama kamu, nanti kamu pilihin yang jelek." Mata Raka terbelalak, tidak habis pikir dengan prasangka buruk yang Ara lontarkan terhadapnya terang terangan. Dan di depan pramuniaga toko pula. Mereka bahkan sudah tersenyum mendapati interaksi Raka dan Ara. "Kamu pikir saya sejahat itu, ya?" tanya Raka dengan nada mengejek. Tanpa ragu Ara pun mengangguk. "Iya," balasnya dengan mata tanpa dosa menatap lurus kedua mata Raka. "Saya nggak sejahat itu, ya!" tegas Raka. Ara mengendikkan bahunya acuh. "Mbak! Ini, ini, dan ini. Tolong dibawa ke ruang ganti. Biar calon istri saya mencoba semuanya," ucap Raka kepada pramuniaga. "Baik, Pak." Dengan perasaan dongkolnya, Raka pun berjalan menuju sofa untuk menunggu Ara mencoba baju pengantinnya. Sedangkan Ara sudah nyengir tanpa dosa kepada pramuniaga. "Maaf, Mbak. Dia emang gampang marah gitu. Orangnya emosian dan suka seenaknya. "Tidak apa apa, Kak." Raka yang mendengar singkat percakapan Ara dan pramuniaga ingin sekali berteriak. Ia belum pantas dipanggil 'Pak', tapi para pramuniaga itu memanggilnya 'Pak'. Sedangkan kepada Ara, mereka memanggilnya 'Kak' tanpa ragu. Hari ini emosi Raka benar benar diuji rupanya. Bosan menunggu, Raka memilih untuk mengeluarkan ponselnya dan memeriksa pekerjaannya besok. Sebenarnya hari ini ia ada lembur, tapi karena titah mamanya, Raka tidak bisa lembur dan memilih menyelesaikan urusannya hari ini. Jadwalnya bersama Ara lebih padat dibanding urusan pekerjaan. Meski hanya menikah dengan keperluan seadanya, namun Raka tidak menyangka bahwa persiapannya akan sebanyak ini. Padahal keperluan acara pernikahan, dekorasi, semuanya sudah Raka serahkan kepada WO profesional, namun tetap saja ia harus ikut turun tangan seperti mencicipi hidangan, membeli cincin, dan seperti sekarang mencoba gaun pernikahan. Lagi lagi besok Raka harus lembur selama dua hari terakhir. Mamanya bilang ia tidak usah bekerja, Diah menyuruhnya mengambil cuti karena mendekati pernikahan. Tapi Raka ngotot tidak mau melakukannya. Ia takut sekretaris, atau karyawan perusahaannya curiga ia cuti tanpa alasan yang jelas. Beralasan liburan juga bukan hal yang tepat mengingat perusahaan sedang sibuk sibuknya. Ia akan dicap sebagai atasan yang tidak pengertian dan berbuat sesukanya sendiri. Menikah dengan perempuan lain tidak pernah ada di pikiran Raka. Fiona, selama ini perempuan yang ada di otaknya itu Fiona dan tidak ada lagi. Fiona adalah perempuan tepat yang Raka nikahi nantinya. Lalu Ara? Dia jauh dari kriteria seorang Raka Andreas. Mau jadi apa anaknya kelak jika ibunya saja Ara? Perempuan yang terlihat menyedihkan bahkan jika ia hanya diam saja. Cantik? Ya, Raka akui Ara termasuk perempuan cantik. Tapi dibanding Fiona? Ah! Bahkan untuk dibandingkan saja sepertinya tidak perlu. Siapa pun pasti tahu siapa pemenangnya. Sibuk dengan pikirannya sendiri, Raka sampai tidak sadar bahwa sedari tadi ia dipanggil berkali kali oleh pramuniaga. Untuk ketiga kalinya Raka baru sadar bahwa ia dipanggil. Melamun membuat telinganya tuli. "Ya?" balas Raka. Sejujurnya ia malu karena terlihat bodoh melamun dan tidak mendengar bahwa seseorang memanggilnya sedari tadi. Pramuniaga menunjukkan seorang perempuan cantik dengan gaun indah yang tengah dikenakannya. Rambutnya yang tadi diurai kini ditata serapi mungkin, membuat leher dan tulang selangkanya terlihat begitu cantiknya. Kulitnya bersih dan sehat, dan mata Raka turun pada dua buah d**a yang terlihat karena gaun pengantinnya terbuka pada bagian pundak dan d**a. Ara secantik itu, bahkan untuk seperkian detik Raka seolah terhipnotis. Bagaimana bisa? Ara tidak memakai riasan menor, ia hanya dandan seadanya seraya memakai gaun pengantin yang sangat pas membalut tubuhnya. Itu karena gaunnya yang cantik, Raka! Sadarlah! teriak Raka dalam hati. Ia berusaha menyadarkan dirinya sendiri yang tidak berhenti memuji kecantikan Ara memakai gaun itu. Sejenak Raka merasa hilang akal. Ia seperti tengah menyelingkuhi kekasihnya yang tengah bekerja di luar negeri dalam waktu yang lumayan lama. "Bagaimana, Pak gaunnya?" tanya Pramuniaga. Raka berdehem. "Tidak buruk, tapi sepertinya sedikit terbuka di bagian d**a. Suruh dia berganti dengan yang lain," balas Raka berusaha untuk terlihat tenang meski sebenarnya jantungnya berdegup sangat kencang. Tanpa membantah, pramuniaga hanya mengangguk seraya memamerkan senyumnya. Tirai kembali ditutup. Ara kembali dibantu berganti gaun pengantin pilihan Raka yang lain. Lima belas menit berlalu, tirai kembali dibuka. Raka tidak bisa berkata kata lagi. Kali ini gaun yang dikenakan Ara tertutup, sederhana, dan terlihat sangat elegan. Ara terlihat lebih cantik. Hal ini membuat Raka semakin gila saja. Akhirnya ia putuskan untuk memilih gaun itu dan segera menyuruh Ara mengganti pakaiannya. Mereka harus pergi memilih cincin. Raka tidak mau semakin merasa bersalah kepada Fiona karena memuji perempuan lain di belakangnya. Fiona, aku nggak bermaksud. Sungguh! seru Raka dalam hati. Ia mengusap wajahnya kaku. -000- Di tempat perhiasan pun Raka yang memilih cincinnya. Ara hanya menurut saja. Namun jika ia tidak suka, ia akan bilang. Alhasil mereka berdua memilih cincin pernikahan yang terlihat simple. Tidak mahal, dan baru pertama kalinya Raka membeli barang yang bisa dibilang harga standard. Hal itu ia lakukan karena Ara sendiri yang bilang bahwa ia suka modelnya. Tidak mau berlama lama, akhirnya Raka mengiyakan saja kemudian membelinya. "Kak, aku harus bayar berapa untuk persiapan pernikahannya?" tanya Ara saat mereka berada di mobil. Mereka harus ke tempat rumah makan untuk mencicipi masakan apa saja yang nantinya terhidang di acara pernikahan. "Nggak perlu," balas Raka cuek. "Tapi ...." "Kamu nggak perlu ngeluarin uang sepeser pun. Pernikahan ini biar saya yang tanggung. Lagi pula pengeluarannya tidak banyak," ketus Raka. Niat Ara tidak mau menyusahkan Raka, tapi respon laki laki itu malah sebaliknya. Ara berusaha untuk berpikir positif. Mungkin hal ini sudah menjadi rezekynya. Dan tabungannya tidak terbuang begitu saja. "Setelah nikah, kamu mau tinggal di mana? Rumah atau apartement?" tanya Raka. "Harus tinggal serumah?" tanya Ara balik. "Kamu lupa isi surat perjanjiannya?" Ara tampak berpikir. "Bedanya tinggal di rumah sama apartement apa?" "Kalau di apartement, nggak ada mama. Kalau di rumah ada mama," balas Raka. "Ya udah di rumah aja. Kalau di apartemen Kak Raka bakal pindah juga?" "Ya jelas, lah! Siapa yang ngawasin kamu kalau kita beda rumah? Nggak ada yang tahu apa yang kamu lakuin kalau saya lengah awasin kamu, kan?" "Bukan itu maksud aku. Kalau Kak Raka ikut pindah di apartement, mama Kak Raka bakal sendirian. Dia bakal kesepian," jelas Ara. Raka melirik Ara sekilas, "Kamu khawatir sama mama saya?" "Iya," balas Ara jujur. Lagi itu akan menguntungkan. Setidaknya ia tidak tinggal berdua dengan manusia seperti Raka. Raka jadi ingat percakapannya dengan Fiona. Ia pernah mengajukan pertanyaan yang sama. Namun tentu jawaban Ara dan Fiona berbeda. Jika Ara ingin tinggal di rumah karena tidak mau membuat mamanya tinggal sendirian, Fiona lebih memilih untuk tinggal di apartement dengan alasan ia ingin hidup berdua dengan Raka. Fiona juga bilang jika mereka menikah nanti, mereka akan sering ke rumah untuk mengunjungi mama Raka. Kali ini entah kenapa Raka lebih suka jawaban dari Ara. "Mama saya orangnya galak, dia juga cerewet, kamu nggak ingat?" tanya Raka. "Semua orang tua seperti itu," balas Ara santai. "Kamu tidak tahu mama saya orangnya tegas dan keras kepala. Hari pertama kalian ketemu aja, dia sudah layangin tatapan nggak sukanya ke kamu. Gimana nanti? Kamu yakin lebih milih tinggal di rumah?" tanya Raka memastikan sekali lagi takut takut Ara amnesia dengan sosok mamanya yang super cerewet dan perfeksionis itu. "Aku maklum kenapa mama Kak Raka gitu." "Maklum? Maksud kamu?" "Iya, maklum. Maklum banget malah. Orang tua mana yang nggak kaget anaknya didatangi seorang perempuan yang ngaku hamil anak putranya. Terlebih kalian dari keluarga kaya, sedangkan yang mengaku seperti gelandangan. Aku kalau jadi kalian juga nggak bakal percaya pada awalnya," jelas Ara. Raka tidak habis pikir. Entah Ara adalah orang baik, atau dia lugu dengan pemikiran positifnya itu? Jelas jelas ia dan mamanya sedang menghina dirinya. Orang tabu pun tahu bahwa waktu itu ia dan mamanya sedang menghina Ara, bahkan membandingkannya dengan Fiona. "Mama juga bandingin kamu sama Fiona," ujar Raka kembali mengingatkan. "Ya udah biarin, toh emang di sini yang jadi orang ketiga aku." "Jadi kamu sadar kalau kamu orang ketiga di sini?" tanya Raka seraya mengejek. Ia puas sekali Ara mengakui hal itu. "Lebih dari kata sadar. Tapi ini bukan salah aku juga kenapa jadi orang ketiga. Kalau ngomongin salah, jelas itu salah Kak Raka." "Cih!" "Aku ngelakuin ini demi anak aku. Kalau bukan karena dia, aku juga nggak mau jadi orang ketiga yang ngerusak hubungan kamu sama Kak Fiona. Itu juga alasan aku setuju sama surat perjanjiannya. Aku nggak mau nyakitin Kak Fiona. Karena aku sama dia sama sama perempuan," jelas Ara. Dan setelah kata kata itu keluar dari mulut Ara, detik itu juga Raka merasa menjadi manusia paling berengsek. - To be continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN