10 - Hari Pernikahan

1463 Kata
Janji pernikahan sudah Ara dan Raka ucapkan dengan lancar. Keduanya resmi menjadi suami istri di hadapan tamu undangan. Semua tamu undangan yang bisa dihitung menggunakan jari itu akhirnya berucap syukur karena akhirnya Raka dan Ara resmi menjadi suami dan istri. Ibu dan Bapak Ara tersenyum haru. Putri mereka akhirnya menikah. Senyum di bibir Ara tidak lepas. Bukan, bukan karena ia bahagia menikah dengan Raka. Semua karena ia tidak mau membuat bapak ibunya bertanya tanya kenapa ia tidak bahagia di hari pernikahannya dengan Raka. Ara tidak mau membuat bapak ibunya khawatir. Pernikahan berjalan dengan lancar. Tidak ada pesta lanjutan, mereka hanya mengadakan acara dari pagi sampai malam. Pestanya dijadikan satu dengan acara pernikahannya. Bapak dan Ibu Ara mengira bahwa acara pernikahan putrinya sangat mewah, padahal di keluarga Raka, pernikahan mereka hanya seadanya. Namun memang kondisi keluarga keduanya berbeda, tidak heran jika hanya keluarga Ara yang menganggap pernikahan mereka mewah. “Kenapa tamu undangannya sedikit, Nduk?” tanya Ibu Ara berbisik. “Hah? Um, memang sedikit, Buk. Kan konsepnya private wedding.” Ibu Ara hanya ber oh ria mengerti. “Keluarga suamimu kaya, ya, Nduk?” Ara tersenyum seraya mengangguk. “Pantesan, nikahan kamu megah gini. Kalau orang di desa diundang, ini pasti bakal heboh banget.” Perbincangan Ara dan ibunya terjeda kala Raka menghampiri keduanya. Raka sungguh lelah, padahal acara akan selesai malam hari. Tapi ia ingin segera tidur. Mereka sedang berada di gedung hotel bintang lima milik Raka. Bisa dibilang salah satu usaha keluarga Raka. Ia mengadakan pernikahan di sana agar orang luar tidak tahu menahu. Serta tidak akan bocor pada wartawan karena Raka benar benar teliti mempekerjakan orang untuk acara pernikahannya dengan Ara. “Bu, saya boleh bicara dengan Ara sebentar?” tanya Raka kepada ibu mertuanya. “Oh boleh, Nak Raka. Silakan.” Ara yang tangannya ditarik pun mengekori langkah suaminya. Ia dibawa menjauh dari kerumunan. “Ada apa, Kak?” tanya Ara. “Saya capek banget. Rasanya mau pingsan kalo gak istirahat sekarang juga. Dari kemarin lembur kerja, dan hari ini dari pagi harus nikah sama kamu. Tenaga saya mau habis,” oceh Raka. “Terus?” “Saya ke kamar dulu. Mau istirahat. Kamu bisa, kan, handle semuanya?” “Oh, iya Kak Raka istirahat aja.” “Kamu bisa ngurus Bapak Ibu? Tahu kamar hotelnya? Dan saya denger Bapak Ibu langsung pulang besok karena harus ngurus sawah?” “Iya, Bapak sama Ibu nggak bisa lama-lama di sini. Mereka harus ngurus sawah karena lusa waktunya panen.” “Mereka ke sini naik apa?” tanya Raka penasaran. “Bus,” balas Ara. “Hah? Bus? Kenapa kamu nggak bilang sama saya? Saya, kan, bisa suruh orang buat jemput mereka. Atau suruh mereka naik pesawat biar nggak capek.” “Bapak sama Ibu ngak bisa naik pesawat. Kita belum pernah naik pesawat, jadi nggak tahu,” jelas Ara. “Kenapa kamu nggak bilang?” tanya Raka mengintimidasi. “Kan kamu sibuk. Aku nggak mau ganggu dan bikin marah. Aku juga nggak mau ngerepotin.” “Ck! Apa yang ada di pikiran mereka kalau saya nggak peduli gini?” “Bapak sama Ibu nggak akan berpikiran kayak gitu.” “Ngomong sama kamu cuma bikin saya makin capek,” keluh Raka memijit pelipisnya. Ara menunduk dalam. Apa ia salah lagi? batinnya bertanya tanya. “Ya sudah kamu urus pernikahan ini sampai selesai. Kalau mereka tanya di mana saya, bilang aja istirahat. Jangan ngadu yang aneh aneh ke Bapak Ibu. Awas aja,” ucap Raka sedikit mengancam. “Iya,” balas Ara. Raka pun pergi meninggalkan gedung, sepeninggal Raka, Ara dihampiri oleh mama mertuanya, Diah. Diah menepuk pundak Ara pelan. “Raka mau ke mana?” tanya Diah. “Ah, Mama. Kak Raka mau istirahat,” balas Ara. “Istirahat? Kan acaranya belum selesai.” Diah terkejut. “Biar, Ma. Kak Raka capek karena lembur kerja terus. Biar Ara yang urus semuanya.” “Kamu yakin?” “Iya.” “Ya udah, kalau gitu mama urus tamu yang lain.” Ara mengangguk seraya tersenyum. Meski Diah tidak membalas senyumannya, Ara tak peduli. Diah tidak berlaku jahat saja Ara sudah bersyukur. Ara sangat maklum, menantu yang diinginkannya bukanlah Ara, melainkan Fiona yang maha sempurna. Siapa Ara? Bahkan untuk bersanding di samping Raka saja tidak pantas. -000- Acara pernikahan selesai dengan lancar. Sebelum mengantar bapak ibunya ke kamar hotel, Ara harus membersihkan make up-nya terlebih dahulu. Ia juga harus mengganti pakaiannya. “Huft,” keluh Ara saat ia sudah membersihkan make up dan mengganti pakaiannya dengan baju tidur. “Terimakasih, Kak,” ucap Ara kepada penata rias. Penata rias hanya tersenyum kemudian pergi untuk mengurus hal lain. Ara menghampiri ibu bapaknya yang juga sudah selesai mengganti pakaian dengan pakaian santa. “Pak, Buk, sudah?” tanya Ara. “Sudah, Nduk,” balas keduanya bersamaan. “Ara anterin ke kamar Bapak sama Ibu, ya?” Keduanya mengangguk. “Mas Arya sama Mbak Rika ke mana?” tanya Ara. Mereka berdua adalah kakak Ara yang juga ikut untuk menghadiri pernikahan adiknya. “Kalo Arya sudah pulang dulu, katanya kepikiran sama mbak iparmu yang lagi hamil. Kalo Rika kayaknya tadi ganti baju.” “Oh, ya udah tunggu Mbak Rika dulu aja, Buk, Pak.” Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Raka keluar dari ruang ganti. Ia menghampiri adik dan kedua orang tuanya. “Aku sama anakku tidur di mana?” tanya Rika to the point kepada Ara. “Kamarnya bakal bersebelahan sama kamar ibu bapak, Mbak,” balas Ara. “Ayo. Hasbi kayaknya udah ngantuk banget.” “Buk, Pak, ayo.” Setelah mengantar bapak- ibunya, Ara mengantar kakaknya Rika di kamar sebelah. Baru saja hendak keluar, Rika berbicara ketus kepada adiknya itu. “Enak, ya, punya suami kaya,” ujar Rika. Ara berhenti seraya menoleh ke arah Rika. Ia bingung mau menjawab apa, akhirnya diam saja. “Dari dulu kamu hidupnya beruntung terus. Bapak sama ibu selalu manjain kamu. Sekarang pun kamu hidupnya makin enak karena dapat suami kaya,” ucapnya. “Sedangkan mbakmu ini? Janda anak satu, kerjanya serabutan. Hidup nggak adil banget.” Ara ingin membantah semua yang keluar dari mulut kakaknya itu. Kapan hidupnya beruntung? Yang ada hidup Ara penuh dengan lika liku cobaan. Sejak kapan juga bapak ibunya memanjakan dirinya? Yang ada Ara selalu menjadi anak yang menerima apa pun keputusan bapak dan ibunya. Ara tidak bisa menjawab, bukan karena ia takut. Ia hanya tidak mau melawan kakaknya. Biarlah keluarganya melihat Ara hidup bahagia, meski pada kenyataannya ia tidak seperti itu. “Mbak Rika,” panggil Ara pelan. “Apa?” “Kalau Mbak Rika butuh apa apa, Mbak Rika tinggal ngomong sama Ara aja. Kalau memang Ara bisa bantu, bakal Ara bantu.” “Emang kamu bisa bantu apa? Yang kaya itu suamimu, bukan kamu. Lagian juga setelah nikah pasti kamu berhenti kerja. Nggak bakal bisa kasih uang Bapak-Ibu sama aku lagi. Kalau pun kamu minta ke suamimu, pasti dia mikir aneh aneh tentang aku dan ibu-bapak.” “Aku udah bilang ke suami aku, kalau aku nggak bakal berhenti kerja. Jadi Mbak Rika tenang aja. Aku masih bisa bantu Mbak Rika sedikit sedikit. Aku juga masih bisa kasih uang Bapak Ibu dari uang hasil kerjaku sendiri.” “Kenapa boleh?” tanya Rika. Nada suaranya sudah tidak se ketus tadi. “Aku maksa,” balas Ara seraya tersenyum. “Mbak Rika sama Bapak Ibu nggak usah khawatir masalah uang. Ara masih bisa bantu.” “Syukurlah kalau gitu. Mbak udah kepikiran kamu bakal berubah setelah nikah. Takut kamu berhenti bantu perekonomian keluarga kita.” “Nggak bakalan, Mbak. Aku kerja di kota juga buat bantu kalian, kan?” ucap Ara tulus. “Kalau gitu aku ke kamar aku dulu, ya, Mbak. Mau tidur, capek banget.” Rika mengangguk. “Besok pas sarapan aku jemput.” -000- Ara membuka pintu kamar hotelnya. Ia masuk dan mendapati Raka tidur dengan nyenyak di atas ranjang. Raka bahkan belum membuka sepatunya. Ia terlihat kelelahan. Ara berjalan mendekati ranjang, kemudian melepas sepatu Raka beserta kaus kakinya. Setelah itu Ara menyelimuti Raka. Gadis itu hendak naik ke atas ranjang, namun urung saat melihat Raka. Ia turun seraya membawa satu bantal. Ara menuju sofa kemudian tidur di sana. Selama beberapa menit, ia hanya diam seraya memperhatikan suaminya. Akan seperti apa rumah tangganya? Akan seperti apa hidupnya dalam setahun terakhir? Bagaimana jika mereka berpisah? Atau bagaimana ia menjelaskan kepada bapak ibunya nanti? Ara memegang dadanya sendiri. Kenapa rasanya sesak dan sakit? Mereka bahkan belum sehari menikah, tapi Ara sudah kesakitan. Tangannya turun memegang perutnya, sedetik kemudian Ara tersenyum. “Kita lewati bareng bareng, ya, Dek,” bisik Ara pelan. Mata Ara terpejam, dan setetes air mata mengalir di pipinya. Menyesakkan kala tidak ada satu orang pun yang mengerti perasaannya. Dan itu menyiksa. Ia harus pura-pura bahagia meski pada kenyataannya tidak. - To be continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN