Ara bangun lebih awal dari Raka. Ia langsung mandi dan bersiap mengantar kakak dan orang tuanya untuk sarapan gratis di lantai satu.
Selesai mandi, ia melihat Raka baru terbangun. Pria itu memijit pelipisnya, kemudian menyadari kehadiran Ara yang terlihat segar karena selesai mandi.
“Mau ke mana?” tanya Raka. Suaranya sangat serak.
“Mau anter Bapak Ibu sama Mbak Rika sarapan di bawah,” balas Ara.
“Acara pernikahan semalem lancar?” tanya Raka.
“Lancar,” balas Ara lagi.
Raka hendak turun dari ranjang, namun Ara langsung bersuara lagi.
“Kak Raka mau mandi?”
“Iya,” balas Raka.
“Aku siapin airnya, ya?”
“Bukannya kamu mau anterin bapak ibu?”
“Nggak apa apa. Siapin air nggak lama.”
Ara segera masuk ke dalam kamar mandi dan menyiapkan air untuk Raka.
Raka yang tidak ambil pusing juga menunggu istrinya itu menyiapkan air untuknya. Ia menelepon layanan kamar untuk mengantar sarapan. Tidak mungkin ia ikut sarapan di bawah, bila ada yang lihat, habis dia.
Raka salah fokus saat melihat bantal yang ada di sofa. Ia tersenyum mengejek karena tahu Ara pasti tidur di sofa.
“Kamu tahu posisi kamu rupanya,” ucap Raka. “Syukurlah kalau kamu sadar diri,” batin Raka.
Ara keluar dari kamar mandi, ia menatap Raka dengan mata polosnya itu. “Airnya sudah aku siapin.”
Tanpa mengucapkan terima kasih, Raka masuk ke dalam kamar mandi.
Ara yang mendapati itu hanya berbisik pada dirinya sendiri, “iya, sama sama.”
Tak mau mempermasalahkan, Ara keluar dari kamar dan menghampiri kamar bapak ibunya yang ada di lantai bawah. Ia harus menemani mereka sarapan.
-000-
Raka keluar dari kamar mandi, ia melihat sekeliling, dan Ara tidak ada di kamar hotel itu lagi. Ranjang juga sudah dirapikan, serta sarapan yang Raka pesan sudah terhidang di meja.
“Dia pasti anter Bapak Ibu buat sarapan,” gumam Raka.
Sejujurnya ia masih tidak menyangka dengan statusnya saat ini. Menjadi seorang suami. Ya meski ia tidak mau mengakuinya di depan umum.
“Setidaknya harus jadi menantu yang baik, kan?” ucap Raka pada dirinya sendiri.
Raka meraih gagang telepon hotel, ia menelepon manager hotelnya.
“Selamat pagi , Pak Raka,” sapa manager hotel ramah. Ya tentu saja ia tahu Raka menempati kamar mana.
“Selamat pagi,” balas Raka.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Mertua saya sepertinya sarapan di bawah dengan istri saya,” ujar Raka.
“Iya? Apa yang harus kami lakukan, Pak?”
“Layani mereka dengan baik. Oh iya, jangan lupa siapkan fasilitas hotel untuk mengantar mertua dan kakak ipar saya pulang dengan selamat. Antar mereka ke bandara.”
“Baik, Pak. Ada yang bisa kami bantu lagi?”
“Tidak, hanya itu saja.”
“Baik, kami akan segera melakukan perintah Pak Raka.”
“Terima kasih,” balas Raka seadanya.
Setelah telepon terputus, Raka kembali melanjutkan acara makannya. Namun bukannya lega, ia malah kepikiran.
“Apa nggak apa apa kalo nggak anter mereka langsung?” tanya Raka pada dirinya sendiri.
Saat mengunyah sarapannya, Raka jadi semakin kepikiran. Apalagi ia belum menyapa langsung bapak dan ibu mertuanya semenjak selesai acara pernikahan. Raka takut dicurigai.
“Ish! Sialan!” umpat Raka pada dirinya sendiri.
Raka kembali menelepon managernya.
“Selamat pagi, Pak Raka.” Seperti tadi, manager hotel melakukan greeting sesopan mungkin.
“Sepertinya saya ubah,” ucap Raka menggantung.
“Ya? Ada yang perlu kami bantu, Pak?”
“Kalian urus saja pintu masuk bagian belakang hotel. Tutup agar tidak ada seorang pun bisa mengaksesnya. Saya akan antar ibu dan bapak saya sendiri ke bandara.”
“Baik, Pak. Kami akan segera melakukan perintah Pak Raka.”
“Bagus. Siapkan mobil saya juga ya, ambil kuncinya di kamar saya.”
“Baik, Pak.”
“Jangan lupa bilang istri saya kalau saya sendiri yang antar ibu dan bapak ke bandara.”
“Baik, Pak.”
Raka menghembuskan napasnya, ia melirik ruangan kamarnya. Raka tahu hal ini akan terjadi juga. Pakai topi dan masker tidak akan membuatnya dikenal publik, setidaknya Raka punya solusinya.
Raka menatap miris sarapan paginya. “Istrimu menyusahkan, Raka,” ucapnya terang terangan.
“Lebih tepatnya punya istri itu menyusahkan,” tambahnya membenarkan.
-000-
Ara masuk ke dalam kamar selesai sarapan. Wanita itu menatap Raka dengan ekspresi senangnya. Raka tahu Ara seperti itu karena ia sendiri yang akan mengantar kedua orang tuanya ke bandara.
“Kak,” panggil Raka.
“Apa?” balas Raka seadanya.
“Terima kasih sudah mau antar bapak ibu dan kakak ke bandara. Aku denger dari manager hotel katanya Kak Raka sendiri yang mau anter.”
“Hm.”
Raka menatap pantulan dirinya di cermin. Ia memasang masker dan topinya.
“Hari ini kamu gak kerja, Kak?” tanya Ara.
“Izin, besok mulai masuk kerja lagi,” balas Raka.
“Ada yang perlu aku bantu?” tanya Ara lagi.
“Nggak perlu …,” ucapan Raka menggantung. “Bereskan koper saja, setelah saya antar bapak dan ibu, kita langsung pindah ke rumah.”
Ara mengangguk mengerti.
“Ibu dan Bapak sudah siap siap?” tanya Raka.
“Sudah, mereka lagi nunggu Kak Raka di pintu masuk belakang hotel.”
“Oke, saya ke sana sekarang.”
“Saya ikut mengantar sampai di pintu keluar, sebentar,” ucap Ara bersemangat.
Raka memutar kedua bola matanya, seraya bernapas lelah.
Manager hotel melakukan tugasnya dengan baik. Pintu masuk bagian belakang hotel sepi karena tiba tiba ditutup dengan alasan kendala teknis.
Raka menyapa sopan ibu dan bapak mertuanya, ia juga membantu pelayan hotel untuk mengangkat tas besar bapak dan ibunya untuk dimasukkan ke dalam mobil. Ia juga sempat menoel pipi gembul Hasbi, keponakan Ara. Sejujurnya Raka tidak suka anak kecil, hal itu ia lakukan hanya untuk formalitas saja. Raka menganggap anak kecil sangat menyebalkan.
“Silakan masuk, Pak, Buk,” ujar Raka membukakan pintu untuk bapak dan ibunya. Sedang kakak iparnya sudah masuk lebih dulu tadi.
“Terima kasih Nak Raka,” ucap Ibu mertuanya.
Setelah bapak ibu mertuanya di dalam, Raka menatap Ara yang tersenyum manis seraya melambai kepada mereka.
“Saya berangkat dulu,” ucap Raka.
Ara menghampiri Raka, kemudian mengangkat tangannya untuk dicium punggungnya. Ara sedang salim kepada suaminya untuk pertama kalinya. Meski sebenarnya Ara enggan melakukan hal itu, namun ia selalu ingat pesan bapak ibunya kalau ia harus menghormati Raka sebagai suaminya sekarang.
Raka sendiri yang mendapat perlakuan itu terkesiap. Ini pertama kalinya ada yang mencium punggung tangannya. Mereka terlihat seperti suami istri sungguhan saat ini. Tak mau terlihat canggung, Raka berdehem.
“Kak,” panggil Ara karena ia sadar Raka membeku saat ini.
“Apa?”
“Hati hati di jalan.”
“Saya berangkat.”
“Iya.”
Raka masuk di kursi kemudi, pria itu pergi dari pelataran hotel untuk ke bandara yang jaraknya lumayan jauh dari hotel.
-000-
Di bandara, tidak ada yang mengenali Raka karena ia memakai masker dan topi. Pria itu sudah membeli tiket pesawat untuk mertua dan iparnya pulang. Setidaknya mereka akan nyaman selama perjalanan, dan tentu menghemat tenaga karena perjalanan pesawat tidak selama mereka naik bus.
“Ibu sama Bapak kenapa nggak bilang saya kalau kemari mengendarai bus? Harusnya bilang biar saya bisa kirim orang suruhan saya menjemput Bapak Ibu,” ujar Raka. Ia tidak tahu topik apa yang akan dibahas. Sehingga membicarakan masalah kemarin sepertinya opsi yang tidak buruk.
“Kami tidak mau merepotkan Nak Raka, seperti sekarang, Nak Raka sendiri yang mengantar kami,” ucap Bapak.
“Saya sama sekali tidak merasa direpotkan, Pak. Jadi jangan sungkan untuk bilang ke saya,” balas Raka. “Oh iya, Pak. Maaf mama saya tidak bisa mengantar kalian, mama tadi sempat berpesan kalau belian menitip salam, maaf tidak bisa menyapa dan mengantar. Mama sedang ada urusan di luar kota, barusan beliau berangkat.”
“Kami maklum, Nak Raka. Sekarang kami jadi tidak enak hati diantar Nak Raka. Pasti hari ini Nak Raka sibuk sekali,” ucap Bapak.
“Kebetulan tidak, Pak. Saya sudah urus pekerjaan saya. Hari ini saya hanya akan membantu Ara pindahan ke rumah saya, Pak, Bu. Doakan lancar, ya.”
“Doa kami menyertai kalian, Nak Raka.”
- To be continued -