12 - Rumah

1003 Kata
Ara menyeret masuk kopernya. Ini kunjungan pertamanya di rumah Raka, dan Ara langsung tinggal di sana seperti apa yang sudah disepakati berdua bersama Raka— suaminya. Rumah Raka sangat besar, megah, dan tentunya mewah. Ara sudah bayangkan bagaimana rumah seorang Raka Andreas, tapi yang ia lihat saat ini melebihi ekspektasinya terhadap rumah Raka. Bagaimana tidak? Rumah yang ia sangka mewah ternyata lebih dari kata mewah. Halaman yang luas, pintu gerbang yang menjulang tinggi, serta rumah yang bangunannya sangat mengikuti zaman. Ara sempat berpikir kalau rumah Raka saat ini adalah rumah termewah yang pernah ia temui. “Kenapa diam di sana? Ayo masuk,” ajak Raka. Arah terkesiap, ia mengangguk dan mengikuti langkah Raka. Saat di dalam, Ara disambut oleh beberapa pelayan. Raka memperkenalkan Ara sebagai istrinya kepada beberapa pelayan itu. Pelayan yang menyambut Ara tampak ramah ramah. Mereka tak memakai seragam yang sama seperti di film film, mereka hanya menggunakan baju santai yang nyaman dipakai. Raka sempat menjelaskan bahwa para pelayan tinggal di tempat yang disediakan tidak jauh dari rumah utama. Mereka hanya ada di rumah utama jika sedang melakukan tugasnya, seperti menyapu, memasak, dan membereskan rumah. Biasanya pagi sampai sore, setelah itu mereka akan kembali ke tempat yang disediakan. Diah adalah orang yang mudah risih dengan kehadiran orang lain, dalam tanda kutip yang bukan keluarganya. Itu sebabnya, pekerja rumahnya hanya ada di rumah utama saat melakukan tugasnya. Selebihnya mereka akan kembali ke tempat yang sudah disediakan. Ara menaiki tangga mengikuti langkah Raka. Sedangkan dua pelayan membantu membawa koper Ara. Sesampainya di kamar, Ara lagi lagi takjub dengan semua yang ditangkap oleh matanya. Kamar Raka sangat luas, lebih luas dibanding rumahnya yang ada di kampung. Semua terasa lengkap, seperti sofa, tv, kamar mandi, dan ruang ganti yang luasnya sepadan dengan kamar kosnya. Satu yang Ara simpulkan. Raka sangat kaya. “Kamu bisa tata baju kamu di walk in closet saya. Saya akan berbagi sedikit space dengan kamu.” Raka membuka pintu ruang gantinya, kemudian menyuruh pelayan yang membawakan tas Ara segera menuntaskan tugas mereka dan menyuruh mereka pergi tanpa lupa mengucapkan terima kasih. Raka menghembuskan napasnya kala melihat Ara yang tidak berhenti memperhatikan sekitar. Ara seperti menyesuaikan matanya agar terbiasa mengenal barang barang baru milik Raka. “Masalah tidur, ranjang saya cuma ada satu, jadi …,” belum selesai Raka berbicara, Ara sudah memotongnya. “Aku tidur sofa nggak apa apa, sofanya juga terlihat nyaman. Empuk dan besar,” potong Ara. “Kamu cukup tanggap juga. Padahal saya belum bilang tapi kamu mengerti tanpa saya bicara.” Raka takjub. Matanya membulat tidak percaya. “Kamu boleh tidur di ranjang jika siang, atau kapan pun yang penting tidak ada saya. Intinya saya tidak mau satu ranjang dengan kamu.” “Iya,” balas Ara mengangguk paham. Tanpa dijelaskan pun Ara sudah tahu Raka tidak mau satu ranjang dengannya. Ara cukup sadar diri. “Um, Kak,” Ara menyela. “Apa?” tanya Raka dingin. “Kenapa nggak beda kamar aja? Biar Kakak nggak terganggu ada aku? Kalau beda kamar, aku nggak bakal ganggu privasi Kakak,” balas Ara. “Mama ngomel nanti. Saya capek berdebat sama mama.” Ara mengangguk paham. Gadis itu berjalan mendekati jendela, Ara melihat pemandangan halaman rumah Raka yang terawat. Ara benar benar tidak bisa berhenti takjub. “Rumah Kakak besar banget,” puji Ara tanpa sadar. Kalimat itu tiba tiba keluar dari mulutnya begitu saja. “Hm,” balas Raka seadanya. Ara mengusap perutnya terang terangan. Senyum di bibirnya tidak lepas begitu saja. Pandangan Raka yang memperhatikan Ara turun begitu saja pada perut Ara yang masih rata. Ia masih tidak menyangka menitipkan benihnya di perut perempuan itu. “Saya nggak mau disusahkan,” ucap Raka. Ara menoleh menatap Raka dengan alis terangkat. Ia bingung dengan ucapan Raka yang tiba tiba. “Kamu nggak ngerti maksud saya?” tanya Raka memastikan. Ara menggeleng untuk menjawab. Ia benar benar tidak paham. “Saya nggak mau disusahkan oleh kamu. Hanya karena kamu hamil anak saya, bukan berarti kamu bisa menyuruh saya ini itu saat kamu ngidam. Saya tidak mau susah payah karena kehamilan kamu itu. Kamu yang memutuskan tidak menggugurkannya.” Entah kenapa mendengarnya langsung dari mulut Raka membuat Ara sedih. Namun ia tidak mau menunjukkan kesedihan itu di depan Raka. Setidaknya Raka harus paham bahwa Ara bukan perempuan lemah. Ngidam? Ara belum pernah merasakan itu sebelumnya. Namun jika ia ngidam pun, ia tidak akan menyusahkan Raka. Ara bersumpah dalam hati. “Kamu paham, kan?” Raka memastikan. “Iya. Aku nggak bakal nyusahin Kakak. Kakak tenang aja, aku nggak bakal lakuin itu.” “Bagus!” Raka tersenyum puas. “Kamu tahu diri juga.” Bukan ini yang Ara harapkan ada di dalam pernikahannya. Bayangannya tentang menikah sungguh indah, sampai sampai Ara terkejut saat ia mengalami hal ini. Ara pikir setelah menikah ia akan menjadi ratu di kehidupan suaminya. Ratu bukan dalam artian mewah. Tak masalah jika suaminya tidak kaya, bahkan itu yang Ara harapkan. Mereka cukup hidup sederhana, namun Ara diperlakukan layaknya istri. Tapi ternyata ekspektasinya terlalu tinggi. Menikah dengan Raka sungguh menyiksanya, bahkan sebelum ia pindah ke rumah Raka, ia akan tahu itu. Tapi Ara tidak menyangka bahwa kehadirannya dan anaknya benar benar seperti benalu. Raka seperti tidak sudi disusahkan sedikitpun. Ara merasa hanya berdua dengan anaknya. Ngidam. Itu belum Ara rasakan, tapi saat Raka mengatakan bahwa ia tidak mau disusahkan, Ara merasa sakit hati. Padahal ngidam adalah hal dasar yang dilakukan suami kepada istrinya saat hamil. Ah! Ara terlihat menyedihkan karena mengharap hal sederhana itu. “Ada apa sama ekspresi wajah kamu saat ini?” tanya Raka. “Uh? E- enggak apa apa.” “Jangan bilang kamu mengharap saya akan perlakuan kamu layaknya istri normal?” tebak Raka dengan senyum mengejek. Ara membalas senyum Raka, “Istri normal? Memangnya aku siapa berhak Kak Raka perlakukan layaknya istri? Hubungan kita aja nggak normal sama sekali. Kita hanya suami istri di atas kertas. Aku cukup sadar itu. Jadi Kak Raka nggak perlu khawatir.” - T o b e c o n t i n u e d -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN