13 - Perasaan Aneh

1417 Kata
“Istri normal? Memangnya aku siapa berhak Kak Raka perlakukan layaknya istri? Hubungan kita aja nggak normal sama sekali. Kita hanya suami istri di atas kertas. Aku cukup sadar itu. Jadi Kak Raka nggak perlu khawatir,” ucap Ara. Mendengar penuturan Ara membuat Raka tersenyum miring. Ara bukan tipe perempuan menyusahkan. Setidaknya Raka tidak akan susah susah menjelaskan kepada Ara di mana posisinya, Ara terlampau sadar diri. Raka bersyukur untuk itu. Artinya Ara orang yang mudah ia kendalikan, orang yang mudah menuruti semua kemauannya jika ia tekan. "Lakukan sesuka kamu. Kamu boleh berkeliling untuk melihat lihat rumah. Jika butuh bantuan tinggal bilang sama salah satu pelayan di sini. Kamu nyonya di rumah ini," ucap Raka. Ara tampak asing dengan sebutan nyonya yang ditujukan padanya. Itu membuat telinganya gatal. Yang benar Ara adalah kacung Raka di rumah ini, tentu berkedok istri. Istri yang tidak dianggap. Membayangkannya saja sudah membuat Ara miris dengan nasibnya sendiri. "Manfaatkan posisi kamu, sebelum angkat kaki dari rumah ini," bubuh Raka sebelum ia memasuki kamar mandinya. Ara tidak mau ambil pusing, sakit hati pun sudah biasa ia rasakan setiap menerima ucapan pedas yang keluar dari mulut Raka. Mungkin sebentar lagi ia akan terbiasa dan tidak akan meraskan sakit hati itu lagi. Ada untungnya mental Ara dilatih kuat sejak kecil. Ternyata Tuhan selalu punya rencana di balik semuanya. Ara masuk ke dalam ruangan walk in closet seraya menyeret kopernya. Ia menatap baju bajunya dengan rapi di satu space yang Raka siapkan. Di ruangan itu Ara tidak berhenti melongo, baju Raka sangat banyak, bahkan melebihi bajunya yang notabene adalah seorang perempuan. Jas yang tergantung dari warna gelap sampai cerah, kemeja yang sudah diseterika juga tersusun rapi di sana. Jam tangan yang berada di laci kaca, dasi, serta berbagai macam sepatu. Semuanya bermerk, dan tentunya mahal. Melihat semuanya membuat Ara tidak yakin apakah pantas bajunya yang murahan itu ia letakkan di tempat yang sama dengan milik Raka. Bergantian Ara melihat baju yang masih tertata di kopernya, kemudian beralih pada ruangan yang ia tempati saat ini. "Nggak pantes banget kalian ditaruh di sini," ujar Ara kepada baju bajunya. Ia mengajak bajunya berbicara seolah mereka bisa menjawabnya. "Huft," Ara mengeluarkan napasnya. "Setidaknya kalian punya tempat. Nggak usah minder, toh yang menyuruh Kak Raka sendiri," ujar Ara kali ini kepada dirinya sendiri. Pelan, Ara menata satu per satu baju ke dalam lemari. Wangi bajunya kalah dengan wangi parfum Raka yang tercium di ruangan itu. Asik menata baju, Ara dikejutkan dengan pintu walk in closet yang tiba tiba dibuka. Di sana Raka sedang telanjang d**a. Ia hanya memakai handuk untuk menutupi bagian bawahnya saja. Ara yang tidak sengaja lihat langsung memanglingkan wajahnya. Ia sok sibuk menata baju bajunya meski sebenarnya tangannya gemetar. Ia tidak terbiasa melihat tubuh laki laki yang telanjang d**a seperti itu, meski laki laki itu adalah suaminya sendiri. Saat Raka melewati tubuh Ara, di sana Ara merasa wangi sabun Raka menyeruak. Ara semakin tidak tenang. Padahal Raka tidak melakukan apa apa selain melewati dirinya. Karena tidak mau semakin panik, akhirnya Ara putuskan untuk berbalik dan pergi dari sana. Setidaknya sampai Raka selesai berganti baju, baru ia akan kembali menata bajunya. Di luar, Ara mengipas wajahnya yang tidak sengaja merah layaknya tomat matang. Wanita itu duduk di sofa seraya menunduk. Bibirnya bergerutu kecil, "Dasar suka seenaknya." Tak lama, pintu walk in closet terbuka. Ara refleks mengalihkan pandangannya ke asal suara. Raka sudah memakai bajunya lengkap, pria itu tersenyum mengejek kepada Ara yang jelas jelas merasa canggung terhadapnya. "Gugup?" tanya Raka. "Enggak," balas Ara singkat. "Munafik," ejek Raka. Raka berjalan keluar seraya mengambil ponselnya yang dicas di atas nakas. Tanpa berpamitan, pria itu keluar dari kamarnya dan pergi ke ruang kerja untuk mengurus masalah kerjaan yang tertunda karena acara pernikahannya. Besok ia sudah mulai bekerja. Raka hanya libur dua hari dan menurutnya itu cukup karena ia dan Ara tidak mungkin pergi bulan madu. Hal itu tidak ada di kamus pernikahan mereka. "Mau ke mana, Kak?" tanya Ara yang akhirnya memberanikan diri bertanya lebih dulu. "Kepo banget?" tanya Raka balik. Catat! Ara sama sekali tidak kepo atau pun penasaran, ia hanya merasa asing dengan tempat yang baru ia tinggali. Di rumah itu, ia hanya mengenal Raka dan ibu mertuanya yang belum pulang. Dan Raka hendak meninggalkannya sendiri di kamar pria itu. Salahkah Ara bertanya? Kenapa Raka memiliki level kepercayaan diri yang begitu tinggi? Ara tidak memahami jalan pikiran Raka. "Aku nggak tahu rumah ini, Kak. Aku agak takut ditinggal sendiri," jelas Ara. "Manja banget, sih?" "Bukan manja, aku cuma nggak terbiasa." "Tadi, kan, saya bilang kamu keliling aja ditemeni pelayan." "Nggak mau, aku canggung sama orang baru." "Ribet!" Ara menunduk seraya memainkan jarinya. Ia harus apa sekarang? "Saya ada di ruang kerja, kalau perlu apa apa ke sana saja. Saya harus kerjain banyak berkas." "Ruang kerjanya di mana?" tanya Ara lagi. "Keluar dari kamar ini, kamu jalan aja ke kiri, ada pintu coklat ukir itu ruang kerja saya," jawab Raka. Akhirnya Ara mengangguk paham. Paling tidak ia tidak perlu bingung lagi jika memerlukan sesuatu. Setelah menjawab pertanyaan Ara, Raka langsung keluar. Ara memilih kembali masuk ke walk in closet untuk meneruskan kegiatannya menata baju yang tertunda karena kehadiran Raka. -000- Sudah satu jam sejak Raka sibuk bergelut dengan laptopnya, pria itu membuka kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Ia memijat pangkal hidungnya sebentar karena merasakan pusing setelah kaca mata itu terlepas tadi. Raka mengaktifkan ponselnya. Dari kemarin ia sengaja untuk menonaktifkan ponselnya agar tidak terganggu selama acara pernikahan berlangsung, sekalian menghindari semua kenalannya barang sejenak. Bahkan saat berkomunikasi dengan sekretarisnya, Raka menghubunginya melalui alamat e-mail. Sedetik setelah data seluler Raka tersambung, banyak pesan dan panggilan tak terjawab memenuhi layar ponsel Raka dengan notifikasinya itu. Raka sampai pusing harus membacanya dari mana. "Capek banget jadi orang sibuk," keluh Raka. Ia membanting punggungnya ke kursi kerjanya. Raka membaca dan membalas satu per satu pesan dari bawah. Nyatanya pesan yang masuk selalu penting. Dari relasi Raka, bawahan, sampai Diah dan Fiona pun ikut bingung kenapa Raka seharian tidak aktif. Fiona Sayang, kangen :( Fiona Kamu di mana? Fiona Sayang! Angkat telepon aku! Fiona Kamu ke mana, sih, Ka? Belakangan ini kamu susah banget dihubungi. Fiona Ya udah kalau kamu nggak sibuk, hubungi aku, ya. Raka menghembuskan napasnya, rasa bersalahnya kepada Fiona semakin besar. Dari dulu hingga sekarang, Raka tidak pernah merasa sebersalah ini kepada Fiona. Ia benar benar telah mengkhianati Fiona, namun Raka tidak rela melepaskan Fiona hanya demi perempuan kampungan yang saat ini tinggal di kamarnya. Memikirkannya saja sudah membuat Raka naik darah. Ia kesal sekali. Raka membuka pesan dari mamanya. Mama Dua hari lagi mama akan pulang. Raka mengerutkan dahinya kala membaca pesan dari mamanya. Hal itu lucu sekali. Mamanya tidak pernah sekali pun mengabarinya kapan ia akan pulang jika Raka tidak bertanya lebih dulu. Dan sekarang untuk pertama kalinya setelah sekian lama mamanya mengabari Raka. Hal itu lucu menurut Raka. Hubungan Raka dan mamanya memang baik, mereka tidak pernah bertengkar karena Raka selalu menghormati keputusan Diah. Meski menyebalkan dan keras kepala, Raka dikategorikan sebagai anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Ia sangat menghormati Diah karena menurutnya Diah adalah perempuan hebat dan tegar. Raka mengetik untuk membalas pesan Diah. Raka Iya, Ma. Hati-hati. Tak lama setelah Raka mengirim balasan, Diah kembali membalas pesan putranya. Mama Kamu nggak mau nitip apa apa ke Mama? Raka Nggak usah. Mama jaga diri baik baik di sana. Kalau ada apa apa hubungi Raka aja. Mama Istrimu nggak mau nitip apa apa? Raka Nggak usah pikirin dia, Ma. Setelah itu Raka kembali membalas satu per satu pesan dari temannya, sekretarisnya, dan beberapa rekan kerja yang berkepentingan. Setelah semua sudah Raka urus, ia malah lupa menghubungi Fiona karena terlalu lelah. Ia meninggalkan ponselnya di atas meja kerja dan keluar untuk masuk kamar untuk tidur. Raka sungguh lelah, punggungnya serasa remuk karena duduk terlau lama. Di dalam kamar, pandangan mata Raka teralih kepada Ara yang sudah tidur di sofa dengan damainya. Wajah Ara yang polos, serta bibirnya yang merah ranum membuat langkah Raka tanpa sadar mengarah padanya. Namun kurang beberapa langkah, Raka berhenti. Ia menautkan alisnya kesal. Apa yang kamu lakukan, Raka! Sadar bodoh! seru Raka dalam hati. Raka berjalan cepat menuju ranjangnya dan tidur begitu saja. Sesekali matanya melirik ke arah sofa tempat Ara tidur. Hati Raka tidak tenang entah kenapa. Raka merasakan hal aneh yang sudah lama tidak ia rasakan. Jantungnya berdebar tanpa perintahnya. "Mungkin karena ngantuk," ucap Raka kepada dirinya sendiri. Sialan! umpat Raka dalam hati. Pasalnya, Raka sempat tergoda dengan istrinya sendiri. Perempuan yang ia hina kampungan dan menyedihkan. - To be continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN