14 - Tergoda

1383 Kata
Warning!!! 21+ Ara terbangun dari tidurnya, saat membuka mata, Ara terkesiap saat mendapati suasana yang berbeda masuk ke penglihatannya. Kondisi kamarnya berbeda, tentu saja karena ia menempati kamar Raka. Namun Rupanya Ara lupa akan hal itu. Gadis itu kebingungan seperti tengah berada di tempat asing di ujung dunia. Raka yang memang sudah bangun dan sudah bersiap untuk ke kantor memperhatikan gerak gerik Ara. Pria itu berdehem untuk mencuri atensi Ara agar terarah padanya. Berhasil! Pandangan Ara yang melirik sekitar kini tertuju kepada Raka sepenuhnya. “Kak Raka,” ujar Ara pelan. “Iya, saya,” balas Raka. “Kamu lupa kalau kamu pindah di rumah saya?” tanya Raka. Ara nyengir, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis itu akhirnya sadar sepenuhnya dari dunia mimpi. Ia segera duduk dan mengarah ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebelum masuk, Ara kembali melirik Raka. Memperhatikan pakaian rapi Raka dari bawah Sampai atas. “Kak Raka mau berangkat ke kantor?” tanya Ara. “Menurut kamu?” tanya Raka balik. “Kak Raka bangun jam berapa?” tanya Ara lagi. “Bangun jam enam,” balas Raka singkat. Ara melirik jam dinding yang terpajang di kamar mereka. Sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, yang artinya Ara terlambat bangun setengah jam dari Raka. “Kak Raka berangkat jam tujuh pagi?” “Hm. Sebentar lagi sarapan, jadi kamu buruan mandi,” ucap Raka. Ara mengangguk. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan buru buru untuk membersihkan dirinya. Raka mengatur napasnya, entah apa yang merasuki pikirannya, namun sedari ia bangun, pikirannya tertuju kepada Ara. Dari memperhatikan posisi tidur wanita itu yang tidak berubah dari semalam, memperhatikan bibirnya, ekspresi damainya, dan semuanya. “Sial!” umpat Raka. Pagi pagi bukan waktu yang pas. Pikiran kotor Raka merasukinya. “Apa yang kamu pikirkan, Raka!” umpat Raka kepada dirinya sendiri. “Sadarlah!” ucapnya. Dan semuanya semakin kacau kala Raka melihat Ara keluar dari kamar mandi mengenakan handuk dan buru buru masuk ke dalam walk in closet. Raka bisa melihat semuanya, kulit paha Ara yang mulus, serta dadanya yang tertutup handuk sialan itu. Setelah bergelut dengan pikirannya, Raka semakin merasa frustasi. Miliknya di bawah sana sudah mengeras tanpa komandonya. “Ini bukan salahku, dia yang menggoda lebih dulu. Dan kita …,” Raka menggantung ucapannya. “Kita suami istri, aku bisa menagihnya. Itu kewajibannya.” Raka melepas dasinya yang sudah terpasang rapi. “Peduli setan!” umpatnya berjalan menuju walk in closet. Raka membuka pintunya yang tidak terkunci, senyum di bibir Raka terukir. Ia anggap hal itu lampu hijau untuknya. Saat pintu terbuka, Raka melihat Ara terkejut. Ia mengeratkan handuknya, seraya melirik horor ke arah suaminya sendiri. “Kak Raka!” Ara memundurkan satu langkahnya. “Kamu menggoda saya, kan?” tanya Raka mengintimidasi. “Uh? Meng … menggoda apa?” tanya Ara balik. “Kamu istri saya, meski di atas kertas, tapi kita menikah secara sah. Saya berhak atas kamu, kan?” Raka melangkah mendekati Ara, dan Ara semakin memundurkan langkahnya. “‘Maksud Kak Raka apa?” tanya Ara takut. Jaraknya dan Raka semakin terkikis. Karena tinggi Ara dan Raka jauh berbeda, untuk menatap mata berkabut Raka, Ara harus mendongakkan kepalanya. Jantung Ara berdegup kencang saat Raka menunduk dan memegang bibir bawahnya. Ara membeku, ia gemetar takut. “Layani saya, Ara,” titah Raka berbisik. Matanya turun pada d**a Ara yang masih tertutupi handuk. “Ta… tapi, itu nggak ada di kontrak,” lirih Ara. Ia masih ketakutan. “Tapi tanpa tertera di kontrak, itu sudah jadi tugas kamu, kan,” balas Raka semakin mendekatkan wajahnya. Ia memiringkan wajahnya hendak mencium Ara, namun Ara menahan d**a Raka. “Kak, i- ini nggak bener,” lirih Ara. “Nggak bener apa, Ra?” tanya Raka tersenyum mengejek. “Kamu punya pacar, kan. Kak Fiona, dan… dan kamu …,” ucapan gagap Ara terpotong. “Dan kamu istri saya, peduli setan! Sekarang saya mau kamu, karena kamu yang menggoda saya terlebih dahulu, terima konsekuensinya.” “Tapi ….” “Nggak ada tapi tapi an, Ra. Kita lakuin cepet, saya harus ke kantor,” putus Raka. Ara membeku saat Raka menarik pinggangnya untuk semakin mendekat pada Raka. Gadis itu juga menahan isaknya saat Raka mencium bibirnya rakus. Semuanya seperti terulang, malam itu seperti tengah terulang. Bahkan Ara masih ingat bagaimana Raka memperlakukan bibirnya. Persis seperti saat ini. Bedanya saat ini Raka sedang sadar. Tangan Raka yang berada di pinggang Ara turun meraba pantatnya. Raka meremasnya dengan gerakan menggoda. Jantung Ara semakin tidak bisa ia kontrol, Ara takut. Rasanya sakit, Ara ingat itu. Melakukan hal itu akan terasa sakit. “Kak,” lirih Ara saat tautan bibir mereka terlepas. Mata Ara menatap mata Raka yang semakin berkabut. “Hm?” balas Raka serak. “Aku takut. Rasanya sakit,” ungkap Ara. “Nggak akan sakit lagi,” balas Raka. Ara menelan ludahnya sendiri. Satu tangan Raka naik di salah satu dadanya. Raka meremasnya di balik handuk. “Mau lakuin di sini apa di ranjang?” tanya Raka memberi pilihan. Ara menggeleng. Ia tidak mau melakukannya, namun rupanya Raka salah menangkap. Raka mengira kalau Ara tidak tahu. Akhirnya Raka yang putuskan. “Oke, kita lakuin di ranjang.” Raka menarik pergelangan tangan Ara untuk keluar dari walk in closet. Raka menghempaskan tubuh Ara sampai terjerembab di atas ranjangnya. Tanpa memberi jeda untuk Ara kabur, Raka segera menindih Ara. Pria itu membuka satu persatu kancing kemejanya. Raka membukanya tidak sabaran, ia melempar kemejanya ke atas lantai. Di bawah, Ara semakin mengeratkan handuknya yang sudah melorot. Raka telanjang d**a di hadapan Ara. “Kak,” lirih Ara, ia menggeleng untuk menyadarkan Raka. “Kamu disuruh nurut sama suami, kan, sama Bapak dan Ibu. Jadi nurut aja apa kata saya, Ra. Saya itu suami kamu, suami sah kamu!” Raka menarik handuk Ara, melemparkannya ke lantai. Raka bisa melihat tubuh telanjang Ara tanpa sehelai benang pun saat ini. Kedua tangan Ara sibuk menutupi dadanya, meski percuma. Raka bisa melihatnya dengan jelas, dan ukuran d**a Ara membuatnya tersenyum puas. Raka mengambil pergelangan tangan Ara untuk ia angkat di atas kepala, kemudian menunduk dan kembali mencium kasar bibirnya. Setelah puas, Raka turun untuk mencumbu leher Ara, pria itu mengukir banyak tanda di sana. Ara hanya bisa pasrah, melawan pun rasanya percuma. Ara semakin menutup rapat kakinya saat posisi Raka semakin turun. Dan semua sia sia saat Raka membuka kakinya lebar, kini Ara memperlihatkan miliknya di hadapan Raka. Malu, takut, gugup, semuanya menjadi satu. Ara bahkan tidak berani menatap mata Raka saat ini. Raka memegang miliknya, dan saat itu Ara memundurkan tubuhnya dan menutup miliknya dengan tangan. Ara menggeleng kuat seraya menatap Raka. “I… ini nggak bener, Kak. Kita harus berhenti.” “Saya nggak pernah menghentikan apa yang saya mulai, Ra,” bisik Raka. Raka menarik paha Ara untuk kembali mendekat, ia menyingkirkan tangan Ara yang menutup miliknya. “Tugas kamu saat ini hanya nikmati saja apa yang saya lakukan. Ke depannya, baru saya akan tagih layanan kamu terhadap saya.” “M- maksud Kak Raka?” “Kamu tahu maksudnya,” ucap Raka. Ia menunduk dan menjilat milik Ara tanpa rasa jijik. Ara menggeliat. Meski ia pernah melakukannya dengan Raka, namun tetap saja semua terasa asing. Namun saat lidah Raka memainkan miliknya di bawah sana, Ara mulai terbawa suasana. Miliknya di bawah sana menjadi basah, bukan karena ludah Raka, namun karena hal lain. Ara meremas erat sprei, ia tidak berani membuka mata untuk melihat kegiatan Raka terhadap miliknya. Dan Ara meringis saat satu jari Raka masuk. Pria itu membuat Ara mengeluarkan suara aneh. Dan Ara bingung saat tidak merasakan rasa sakit seperti saat mereka melakukan pertama kalinya. Ara merasakan hal lain. Raka berbisik, “Mendesah, Ra.” Ara membuka kedua matanya, matanya dan Raka saling pandang. Di bawah sana Raka masih memainkan miliknya. “Kak,” lirih Ara. Bersamaan dengan Raka menyatukan bibirnya, ia juga menyatukan miliknya di bawah sana. Ara terkesiap, gadis itu meremas lengan Raka. Saat di bawah sana berhasil menyatu, Raka melepas tautan bibirnya dan berkata, “Nggak sakit, kan.” Aneh, namun benar ucapan Raka. Tidak sakit. Ara pun mengangguk menyetujui. “Kita mulai,” bisik Raka. Mereka pun melakukan kegiatan panas itu. Raka bahkan tidak peduli jika ia akan terlambat masuk kantor. Nafsunya membuat akal sehatnya tidak bisa berpikir jernih lagi. Ara membuat Raka gila. - To be continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN