Sore hari yang berselimut mendung. Seolah melukiskan suasana hati seorang wanita yang berkali-kali telah terluka.
Maharani ditemani sahabatnya Bella, tengah menuju ke rumah Alvian untuk meluruskan sebuah kesalah pahaman di antara mereka.
"Ngapain sih, Ran, lo pake mau jelasin ke Al. Udahlah, biarin aja dia mau nuduh lo apa, ujung-ujungnya cerai juga kan?" Bella sejak tadi protes tentang niatan sahabatnya itu.
"Gak bisa Bel, gue gak mau dicap istri durhaka. Meskipun Mas Al berkhianat bukan berarti gue boleh melakukan hal yang sama kan?"
"Ck. Gue kadang bingung sama lo, Ran. Baiknya kebangetan."
"Kalo gue baik, pasti gue mau aja dimadu, Bel. Tapi apa? Nyatanya gue malah minta cerai, kan. Ya, karna gue gak sebaik itu."
"Ah tapi kalo gue di posisi lo, udah gue unyel-unyel tuh orang dua. Lo kan enggak, boro-boro lu mukul mereka, maki-maki juga enggak." Lagi, Bella protes dengan sikap Maharani yang terlalu mengalah.
Tak terasa, mobil yang mereka naiki sampai di rumah Alvian.
Maharani menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Mengumpulkan segudang keberanian serta menguatkan hati. Bukan tidak mungkin sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi di salam sana.
Mobil terparkir di luar gerbang rumah Alvian. Setelah menekan bel beberapa kali, Mbok Minah muncul dengan senyum kerinduan pada majikan wanitanya.
"Ya Allah, Bu Rani, Mbok kangen." Mbok Minah memeluk erat Maharani setelah gerbang terbuka. "Ibu sehat?" tanyanya setelah melepaskan pelukannya.
"Sehat, Mbok. Mas Alvian ada kan, Mbok?"
"Ada, Bu. Ini, Bu Bella ... sekarang gemukkan ya?"
"Iya, Mbok. Doakan ya, Mbok. Semoga kami berdua sehat," ucap Bella sambil meraba perutnya.
"Alhamdulillah, Bu Bella hamil. Ayo, ayo, masuk."
Sementara di dalam rumah, Alvian yang mengetahui kedatangan Maharani dengan mudah menyeret dua koper besar berisi barang-barang pribadi istri yang sebentar lagi akan diceraikannya. Ya, dia sendiri yang memasukkannya semalam.
"Mas, jangan begini, aku gak enak sama Mbak Rani. Takut ...."
"Ini bukan urusanmu! Naik ke atas, urus saja anak kita!"
"Kasihan Mbak Rani, Mas, dia pasti merasa tersinggung kalau kamu mengusirnya."
Tak menggubris perkataan Susan, Alvian kembali melangkah menuju teras dengan dua koper di tangan.
Pintu terdorong dari luar.
Mbok Minah terkejut melihat majikan prianya tengah menggenggam dua koper di kedua tangan. Sementara Alvian nampak cuek, keputusannya mengusir Maharani sudah final.
"Kenapa, Mbok?" tanya Maharani melihat keterkejutan ART-nya.
"Eum ... itu ...."
"Bagus kalau kamu datang. Aku tidak perlu susah-susah mengantarkan barang-barangmu." Alvian muncul dan sedikit mendorong koper ke hadapan Maharani.
Maharani nampak syok Alvian bertindak demikian. "Mas!"
"Lo ngusir Rani, Al?" Bella mulai tersulut emosi. "Gila ya, gue gak nyangka lo itu laki-laki cemen, bisa-bisanya nuduh orang lain selingkuh padahal sendirinya yang selingkuh!"
Alvian tersenyum sinis. "Tau apa kamu, bella? Kamu ketemu Rani saja, jarang. Dan mana mungkin ada orang yang mengaku kalau dirinya sedang selingkuh!"
"Lo bener-bener Al. Lo lupa kalo lo yang udah ngerusak Rani. Lo hamilin dia, lo juga yang nyuruh dia buat gugurin kandungan. Dia susah punya anak itu gara-gara elo, Al. Gara-gara elo! Tapi lihat sekarang balesan lo apa, lo malah nikah lagi dan nuduh dia selingkuh. Lo emang ba*ngs*t, Al!"
"Berhenti menyalahkan saya. Saya sudah baik-baik meminta dia untuk tetap tinggal. Tapi apa? Dia yang justru pergi ke hotel dengan laki-laki lain."
"Emang lo lihat Rani tidur dengan Andre? Enggak kan? Pikiran lo tuh terlalu sempit, lo ...."
"CUKUP!" Teriak Maharani dengan suara bergetar menahan tangis. Ia menatap Alvian sendu. Ingin mengumpat tapi bibirnya kaku.
Dengan bibir bergetar Maharani bersuara, "ini balasanmu untuk 15 tahun hubungan kita? Sedikit saja, Mas. Hargai aku, hargai aku sebagai wanita. Belum cukup kamu membuatku terluka? Sekarang kamu benar-benar ingin aku keluar dari sini?"
Alvian tersenyum sinis, "jangan berlagak bodoh, kamu sendiri yang memilih pergi, aku hanya memudahkan rencanamu, seharusnya kamu berterima kasih padaku, Rani," sindirnya.
"Kamu masih menganggapku memiliki berhubungan dengan Andre?"
"Sudah jangan banyak omong. Tunggu saja surat dari pengadilan untuk sidang pertama perceraian kita."
Nampak air mata telah mengalir membanjiri ke dua pipi Maharani. Perlakuan Alvian padanya terlalu menyakitkan.
Dengan suara bergetar Maharani kembali bersuara, "perlu kamu tahu ... selama 15 tahun hubungan kita, tidak pernah sedetik pun aku memikirkan laki-laki lain selain kamu. Tidak pernah. Tapi hari ini ... cukup sebagai bukti bahwa kamu ...." Maharani menyeka titik-titik kristal yang semakin deras, ia tersenyum getir, "semoga kamu tidak mengalami apa yang aku rasakan."
Maharani memutar tubuhnya, meraih salah satu koper, lalu pergi. Bella yang masih tampak belum puas memaki Alvian hanya diam mengikuti langkah sahabatnya menuju mobil.
"Mba Rani, tunggu!" Susan muncul dari arah pintu samping. Bella mengurungkan laju mobilnya. Sementara Maharani kembali turun.
Alvian diam, mengamati dua istrinya yang kini saling berhadapan.
"Mbak, maafkan aku." Pelan Susan bicara dengan wajah menunduk. Jemarinya memilin bagian bawah bajunya, menutupi rasa bersalah. Bukan tidak mungkin dikemudian hari ia akan bernasib sama dengan Maharani.
"Bagaimana kalau aku tidak memaafkanmu?" Maharani berkata tanpa ekspresi.
Susan menatapnya ragu.
"Jaga saja dia. Lakukan yang terbaik yang bisa kamu lakukan sebagai istri." Setelah mengucapkan itu, Maharani kembali masuk ke mobil.
Susan diam, menatap penuh rasa bersalah kepergian istri pertama suaminya.
Alvian masih mematung di tempatnya, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa bersalah yang bergelayut di d**a. Tapi, egonya lagi-lagi mengalahkan itu semua.
••••
Proses perceraian antara Alvian dan Maharani berlangsung cepat. Tak lebih dari satu bulan surat putusan cerai dari pengadilan agama telah berada di genggaman wanita yang kini tinggal di sebuah rumah kontrakan. Hal itu dikarenakan Maharani yang tidak pernah menghadiri persidangan sekalipun. Ditambah Alvian yang memiliki tim pengacara yang begitu solid, sanggup bernego dengan hakim untuk merampungkan proses perceraian sehingga berjalan tanpa kendala. Sekaligus memuluskan rencana Alvian tak ingin sepeser pun hartanya jatuh ke tangan Maharani.
Maharani, wanita berparas ayu yang terlahir dari tanah Jawa kini telah sah menyandang status janda. Janda kembang, pastinya.
Tubuh yang masih ramping dan kencang. Kulit yang putih berkilau dan wajah yang kian matang membuatnya menjadi bahan gosip ibu-ibu komplek di mana ia tinggal saat ini. Tak sedikit dari mereka yang iri dengan kecantikan si janda kembang sekaligus dihinggapi perasaan cemas, takut jika salah satu suami mereka kepincut oleh pesona Maharani.
Maharani memilih tak memedulikan gunjingan orang-orang. Ia fokus menata hidup. Kini ia bekerja sebagai penjaga kasir sebuah kafe. Ya, Alvian memang turut serta mengambil alih butik miliknya. Tapi Maharani tak begitu mempermasalahkan itu, ia hanya percaya suatu saat perbuatan baik atau jahat akan mendapatkan balasannya. Ia bahagia meski hidupnya tak semewah dulu.
Pagi ini, Maharani dengan semangat seperti biasanya mengendarai sepeda motornya membelah jalanan, menuju restoran tempat ia mengais rupiah.
Ya, sulitnya mencari pekerjaan terlebih tanpa pengalaman yang dimiliki Maharani membuat wanita itu rela bekerja apa pun asal halal. Gaji sebagai kasir sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Wanita dengan polesan tipis di wajahnya itu memasuki bangunan yang hampir setiap sudut ruangannya ditanami tanaman hidroponik. Sudah sebulan lebih ia bekerja di sana. Tak pernah terbesit rasa malu meski ia menyandang status sarjana.
"Pagi, Rani." Arum, rekan kerja Rani menyapa dengan ramah.
"Pagi, Rum," balas Rani tak kalah ramah dengan senyum.
Restoran yang berdiri di lahan seluas 300 m persegi itu dibuka mulai jam tujuh pagi hingga jam 9 malam. Mengusung makanan sehat, restoran ini tidak hanya di kunjungi oleh anak-anak muda. Banyak lansia yang sadar tentang pentingnya memilih asupan yang baik bagi tubuh, pun memilih kafe ini menjadi tempat favorit untuk tenpat berkumpul sembari mengisi perut.
"Hari ini, Bu Bos mau kesini Ran," ucap Arum memberitahu.
"Oh yah? Jam berapa?" tanya Maharani antusias. Ia memang belum pernah bertemu dengan bos wanitanya. Selama ini hanya bos prianya yang sering berkunjung.
"Kurang tahu, yang pasti kita harus siap-siap, meskipun Bu Bos masih muda beliau terkenal perfeksionis."
"Okelah."
Tepat pukul tujuh, setelah persiapan di kafe selesai. Maharani dan 5 karyawan lainnya bersiap menerima tamu. Rolling door terbuka, menyisakan pintu kaca yang bertuliskan pesan-pesan manis.
"Selamat pa ...." Kata-kata Maharani menggantung begitu melihat siapa sosok yang memasuki kafe. Andre, setelah pertemuan mereka di hotel waktu itu, baru kali ini Maharani melihatnya kembali.
"Pagi, Bu Rani." Andre tersenyum lebar, "saya pesan nasi goreng dan air putih. Mau temani saya makan?"
"Ma-maf tapi saya sedang bekerja." Maharani menjawab gugup.
"Semuanya 35 ribu, Dok." Arum memberikan struk pembelian pada Andre.
Andre memberikan uang pecahan 100 ribu. "Ambil saja kembaliannya."
"Tapi ...."
Tanpa menunggu jawaban Maharani, Andre melangkah menuju meja. Duduk di salah satu kursi menghadap ke arah meja kasir. Tentu, pandangannya tertuju pada penjaga kasir, yang tak lain Maharani.
"Kayaknya, dia suka sama kamu, Ran," ujar Arum yang tiba-tiba sudah berada di samping Maharani.
"Ngaco."
"Aku sering lihat dia di dalam mobil di seberang jalan sana, kayak lagi merhatiin kafe ini."
"Bisa aja dia merhatiin kamu, kan."
"Ye, dikasih tau. Dia juga sering ke sini sama temannya. Biasanya duduk di pojok sana. Kadang curi-curi pandang ke kamu, Ran. Masa kamu gak tau sih?"
"Gue di sini kerja, gak kayak elo yang suka jelalatan matanya." Maharani menjawab ketus. Ia mulai risih sejak tadi Arum terus saja membahas Andre.
"Gue gak bohong, Rani. Jangan jutek-jutek gitu dong."
"Udah ah, kenapa jadi bahas dia sih. Sana kerja!" Usirnya pada Arum.
"Jangan gitu, ntar jatuh cinta beneran lho."
"Arum, udah."
Arum terkekeh karena berhasil membuat hati temannya panas. "Hati-hati ntar jatuh cinta!" Sengaja ia sedikit meninggikan volume suaranya.
Maharani melotot mendengar ucapan Arum yang cukup kencang. Dari sudut matanya, ia bisa melihat jika Andre turut tertawa.
Bersambung