Part 9

1794 Kata
"Jadi kamu sudah bercerai dengan Rani?" Wanita berumur setengah abad itu nampak terkejut mendengar penuturan anak lelakinya. Sudah tiga bulan mereka tidak bertatap muka karena ia lebih sering menghabiskan hari-hari di Eropa bersama suaminya. Dan saat bertemu dengan anak lelakinya-Alvian sekarang, justru mendengar kabar yang menyesakkan d**a. "Kenapa kamu tidak bilang kalau rumah tanggamu bermasalah? Mama bisa bujuk Rani agar tidak bercerai denganmu, Alvian." "Al yang menceraikannya, Mah. Dia selingkuh." "Selingkuh? Tidak mungkin Rani selingkuh. Mama tahu persis dia wanita seperti apa," kekeh wanita bernama Yanti itu. Wanita yang masih nampak ayu di usia senjanya duduk berpindah di sebelah Alvian. Netra coklatnya menatap tajam pada Alvian. "Rani tidak mungkin selingkuh. Katakan apa yang sebenarnya terjadi, Alvian. Mama tidak pernah mengajarimu menjadi seorang pengecut seperti ini." Alvian menyandarkan tubuhnya di sofa, dengan malas ia pun akhirnya menjawab, "Al menangkap basah Rani berada di hotel dengan laki-laki lain, Mah." "Kamu melihatnya tidur dengan laki-laki itu?" Alvian menggeleng, "tapi itu cukup sebagai bukti kalau dia selingkuh. Laki-laki itu juga pernah mengantar Rani pulang ke rumah." Yanti menggeleng tak percaya, ia tahu betul sifat Maharani. Meski belum bisa memberikannya cucu, tapi ia tahu jika Maharani adalah istri yang baik. Ia justru geram dengan kelakuan anaknya yang menikahi Susan diam-diam. "Jangan bodoh Al. Hanya karena laki-laki itu mengantarnya pulang bukan berarti mereka menjalin hubungan. Mana Alvian anak Mamah yang tidak gegabah mengambil keputusan?" "Sudahlah, Mah. Semua sudah terjadi, Rani juga mungkin sudah bahagia dengan laki-laki itu sekarang. Jangan dibahas lagi." "Mana mungkin Mama tidak membahasnya. Ini keputusan besar dan kamu sama sekali tidak melibatkan Mama dan Papa. Kamu sudah tidak menganggap keberadaan kami lagi, begitu?" "Mah, please. Alvian sedang pusing sekarang, Alvian kesini untuk menenangkan diri, bukan untuk mendengar ceramah Mamah." "Mama tahu sekarang, kamu hanya malu mengakui kesalahanmu, Alvian. Kamu yang sudah selingkuh dengan Susan dan menikahinya diam-diam. Tapi kamu terlalu gengsi mengakuinya, jadi kamu melimpahkan kesalahanmu pada Rani. Mama tidak menyangka anak Mama begitu pengecut!" Alvian meremas rambutnya kasar. Ia menatap kesal pada wanita yang telah melahirkannya ke dunia, tapi tak mampu ia melawan. Rasa hormatnya pada wanita itu terlampau tinggi. Tak ingin ia menyakiti wanita itu meski hanya sekedar ucapan. Dan ia sama sekali tak menyangka jika Mamanya akan semarah ini mendengar perceraiannya dengan Maharani. Yanti memijat kepalanya yang mendadak berdenyut. Dadanya nyeri mendengar anak lelakinya bertindak begitu gegabah. "Kamu tidak lupa perjuangan Rani, dulu? Ia hampir meregang nyawa karena Mama dan Papa memaksanya menggugurkan kandungan." Suara Yanti bergetar berbarengan dengan mata yang mulai berkabut. Yanti telah menyadari kesalahannya. Bertahun-tahun setelah kejadian itu ia merasa sangat menyesal. Ia dan suaminya-Rudi begitu egois hingga membuat seorang gadis yang mengandung cucunya harus berbaring di rumah sakit selama berhari-hari. "Ada beberapa orang yang telah melakukan kesalahan tapi tak mengakuinya. Dia lebih memilih melimpahkan kesalahannya pada orang lain. Dan Mama tidak menyangka anak Mama salah satunya ...," Yanti mengembuskan napas pelan, mencoba mengurai sesak di d**a. "Kamu hanya terlalu malu mengakui kesalahanmu, Alvian. Dan kecemburuanmu yang berlebihan membuat akal sehatmu buntu. Mama harap kamu tidak akan menyesalinya nanti. Mama yakin Rani bukan wanita yang seperti kamu bilang." Alvian yang sejak tadi hanya terdiam, semakin menunduk dalam. Di dasar hatinya, ia memang menyesali tindakannya yang gegabah menceraikan Maharani. Tapi ia bisa apa sekarang? Hakim sudah mengetuk palu. Surat cerai sudah di tangan Maharani juga dirinya. "Sekarang Rani tinggal di mana?" Alvian kembali menggeleng, membuat Yanti semakin geram dengan kelakuan anak satu-satunya itu. Detik berikutnya, wanita berkulit putih itu menghubungi seseorang. "Cari Maharani. Saya tunggu kabarnya besok." •••• Maharani terkesiap melihat sosok di hadapan. Ia tak menyangka istri dari pemilik kafe tempatnya bekerja adalah gadis yang sudah ia anggap seperti adiknya--Velozia. Maharani dan Velozia beserta bosnya-Omar Abdulloh duduk di kursi paling pojok kafe tersebut. "Jadi, Ve ... eum, Bu Ve ...." "Panggil Ve saja, Kak. Ve tetap adik Kakak sampai kapan pun," ucap wanita yang kini tengah mengandung empat bulan itu. Maharani mengangguk kikuk, "Kakak gak nyangka kalau Ve ternyata istri Pak Omar." "Saya juga tidak menyangka kalau istri saya kenal dengan Mbak Rani," timpal Omar. "Sayang, bisa jelaskan ke Mas, kalian berteman sejak kapan?" tanya Omar pada Ve yang duduk di sampingnya. "Mami dulu sering mengajak Ve ke butik Kak Rani. Karena itu kami jadi akrab. Tapi setelah Ve pindah ke Jogja, kita loss contact dan gak nyangka kalau ternyata Kak Rani kerja di sini," jawab Ve seraya tersenyum membuat wajah ayunya kian berbinar. Omar mendengarkan dengan seksama. "kawan lama bertemu kembali," gumamnya. "Kalau begitu Mas tinggal, silakan kalian melepas rindu," ucapnya seraya berdiri. "Tidak apa-apa, Pak?" Maharani terlihat canggung pada Bosnya. "Tidak apa-apa. Kan tidak setiap hari." "Terima kasih, Pak." Omar mengangguk lalu melangkah meninggalkan Ve bersama Maharani. "Jadi, kenapa Kakak bisa kerja di sini?" Ve begitu penasaran. Terakhir yang ia tahu wanita di depannya masih memiliki butik dan berpenampilan elegan. Berbeda jauh dengan sekarang. Meski tidak mengurangi aura kecantikkannya, tapi Maharani terlihat lebih sederhana. Maharani tersenyum getir, "Kakak sudah bercerai dengan Kak Alvian." Ve nampak biasa, ia sudah menduga sebelumnya, jika sesuatu telah terjadi pada rumah tangga Maharani. Digenggamnya jemari lentik Maharani, "apa yang terjadi, Kak?" Maharani menceritakan inti permasalahan rumah tangganya. Dari Alvian yang menikahi Susan diam-diam. Hingga ia yang dituduh selingkuh dengan pria lain. Kaca-kaca nampak menyelimuti netra hitamnya, saat ia menceritakan kisah hidupnya pada wanita yang lebih muda 8 tahun darinya itu. Ve nampak mengusap ujung matanya yang basah. Ia tak menyangka rumah tangga Maharani sedemikian memilukan. Pernah terbesit di benaknya jika ia ingin menikah dengan sosok pria seperti Alvian. Ternyata Tuhan justru mengirimkan seorang pangeran saleh. Bersyukur, hanya itu yang bisa dilakukan Ve saat ini. Hari telah beranjak siang. Usai sudah jam kerja Maharani. Bergegas ia mengambil tas di loker dan melangkah menuju motornya setelah berpamitan dengan rekan kerjanya. Bunga-bunga di hati bermekaran hanya karena bertemu dengan sahabat sekaligus adik. Rintik hujan menemani langkahnya menuju pasar yang hanya berjarak dua kilo dari kafe. Ia hendak membeli buah untuk di bawa ke sebuah tempat. Dua bulan ini, setiap awal bulan saat gaji baru saja masuk ke rekeningnya, ia sempatkan mengunjungi sebuah tempat di mana anak-anak yang kurang beruntung berkumpul di sana. "Tante Rani!" seru anak-anak begitu melihat sosok Maharani memasuki arena bermain. Beberapa anak berebut ingin memeluk Maharani. "Kangen gak sama Tante?" "Kangeeenn." Mereka menjawab serempak. "Ayo, udahan meluk Tantenya. Ajak Tante Rani duduk dulu, dong!" ucap seorang wanita paruh baya yang diketahui Maharani sebagai pengurus panti. Maharani tersenyum sembari menggangguk hormat. Anak-anak melepas pelukannya. Mereka mengajak Maharani untuk duduk di lesehan. Maharani memberikan buah tangannya pada wanita bernama Ningsih itu. "Maaf Bu, cuma bisa membawakan ini," kata Maharani merendah. "Terima kasih, Mbak Rani. Dengan kedatangam Mbak Rani saja, kami sudah senang. Anak-anak sudah gak sabar, ingin mendengarkan Mbak Rani mendongeng." "Benarkah, Bu?" "Iya Tante, Tante seminggu sekali kesininya dong biar kita gak nunggu lama," ucap bocah perempuan berumur sekitar tujuh tahun. Maharani terdiam pandangannya tertuju pada Ningsih meminta persetujuan. "Anak-anak, ini buahnya dimakan bareng-bareng ya. Ibu mau ngobrol dulu sebentar dengan Tante Rani." Tanpa berkata-kata lagi, anak-anak berlarian membawa buah pemberian Maharani menuju dapur. "Mbak Rani bisa ke sini kapan saja jika ingin. Tidak perlu membawa apa-apa. Anak-anak sudah senang Mbak Rani mau mendongeng untuk mereka." "Terima kasih, Bu. Saya dengan senang hati akan sering main ke panti." Senyum tersungging dari bibir Maharani, menampakkan barisan gigi putihnya yang berjajar rapi. Obrolan mereka terjeda setelah mendengar seseorang mengucap salam. "Assalammu'alaikum." Pria berbadan tegap dengan senyum menawan berdiri di ambang pintu. Ningsih tersenyum lebar melihat sosoknya. Ia segera beranjak dan menghampiri pria yang juga telah melangkah memasuki panti. "Nak, Amir, apa kabar?" Ningsih mengusap lembut kepala pria bernama Amir itu saat ia tengah membungkuk mencium punggung tangannya. "Alhamdulillah sehat, Bu." "Lama tidak kesini, anak-anak kangen nanyain terus," ujar Ningsih. Tangannya membimbing tubuh Amir untuk duduk di dekat Maharani. "Duduk dulu, Ibu tinggal sebentar." Ningsih melangkah menuju ke bagian belakang panti, meninggalkan sepasang manusia yang baru saja bertemu dengan perasaan canggung mendera masing-masing hatinya. Ruangan tamu panti yang merangkap sebagai ruang bermain anak-anak itu nampak lengang. Hanya tinggal beberapa anak berumur balita yang masih sibuk bermain lego. "Ehmm ...." Amir menatap sekilas pada wanita di hadapan yang tengah menundukkan wajah. Wajahnya ayu dengan rambut hitam panjang terkuncir. Kulitnya putih berbalut pakaian kerja yang ia tahu persis di mana tempatnya. "Saya Amir Mahardika," ucapnya diiringi senyum kecil dari bibirnya yang tipis. "Sa-saya Maharani," jawab wanita yang masih menundukkan wajahnya itu. Ia tak berani menatap pria yang duduk hanya berjarak tiga ubin darinya. Dari penampilannya, Maharani bisa menilai jika pria tersebut bukanlah pria dari kalangan biasa. Ia merasa rendah diri, terlebih dengan statusnya kini yang seorang janda. "Mba Rani sering ke mari?" Amir mencoba menghilangkan kecanggungan di antara mereka. Entah mengapa ia merasa tidak enak melihat sikap Maharani seperti tak nyaman dengan kehadirannya. "Baru dua kali, Pak." "Panggil, Mas saja. Saya rasa umur kita tidak terpaut jauh." Maharani mengangkat wajahnya, menatap pria di hadapan sejenak. Pandangan mereka bertemu sekian detik. Ke duanya saling melempar senyum. Tak lama Ningsih datang dengan nampan berisi minuman dan kudapan. Maharani membantu Ningsih meletakkannya di atas karpet. Ningsih kembali duduk, menatap bergantian pada sepasang manusia di hadapannya dengan senyum penuh arti. "Ayo silakan, Nak Amir, Mbak Rani di minum dulu." "Terima kasih, Bu. Jadi merepotkan," kata Maharani. "Bu Ningsih, bulan ini apa yang bisa saya bantu?" Ningsih mengambil secarik kertas dari kantong baju lalu memberikannya pada Amir. "Hanya ini, Nak Amir." Obrolan mereka berlanjut ke berbagai hal. Ningsih dengan semangat menceritakan hal-hal baik dari mereka. Seolah berusaha menumbuhkan ketertarikkan di antara ke duanya. ••••• Susan terlihat mondar mandir di kamar tidurnya dengan ponsel di genggaman. Ke dua anaknya telah terlelap tidur sejak selepas maghrib tadi. Dan Alvian juga belum pulang. Sudah seminggu ini suaminya pulang hingga larut. Beberapa kali ia menekan nomor seseorang yang akhir-akhir ini mengusik ketenangan hidupnya. Ia pikir setelah pergi begitu jauh dari tanah kelahirannya-Bali, ia tak akan bertemu kembali dengannya. Tapi saat ini justru pria itu seperti hantu yang bahkan mengetahui segala informasi tentang dirinya. "Hai, Baby." Terdengar suara renyah dari seberang, setelah pria itu menjawab telepon Susan. "Aku tidak bisa memberimu setiap bulan. Alvian akan mencurigaiku. Aku mohon," ucapanya memelas. Berusaha sekecil mungkin bersuara agar tak seorang pun dapat mendengarnya. "Kalau begitu temani aku, satu jam saja." "Kamu gila!" "Kamu lupa siapa yang membuatku begini?" "A-aku ...." "Permainan sudah hampir selesai. Suami yang amat kamu cintai sebentar lagi akan terpuruk. Dan kamu, tak lama lagi akan kembali padaku!" Katanya penuh penekanan bersamaan dengan tawanya yang menggelegar. Susan memutus telepon secara sepihak. Hatinya dirundung kegelisahan sekaligus ketakutan yang mendalam. Ia menangisi takdir hidupnya yang penuh liku. Banyak hati yang tersakiti karena keegoisannya. "Maafkan aku, Mas." Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN