Chapter 19

1203 Kata
Malam tiba, aku hanya berdiri di balkon kamar yang luas. Semua terasa ramai sekarang, sangat beda dengan tadi siang. Entah kenapa aku mulai tidak semangat dan merasa ingin pulang. Jordan? Aku tidak tahu dimana ia kini, bahkan kami tidak lagi berbicara setelah aku menyinggung tentang Lauren yang mana ia katakan adalah miliknya. Apa ia sedang mengoleksi kepemilikkan? Aku memang bodoh dan naif, seharusnya aku tahu dunia yang kujalani saat ini berbeda dengan dunia normal seperti dulu. Lantas apa yang kuharapkan kini? Aku hanya berharap semua pikiran buruk tidak melintas dikepalaku dengan begitu mudahnya. Itu membuatku bersikap skeptis terhadap apapun. "Mika!" Aku menoleh ke belakang dan menemukan Marilyn bersandar di pintu balkon. Aku belum siap turun ke bawah dan bertemu orang asing dan dimana Jordan yang seharusnya bersamaku saat ini. "Kau bukannya ingin bertemu dengan yang lainnya?" Aku mengangguk. "Ya, tadinya. Sebelum aku tahu seseorang bernama Lauren." Marilyn tersenyum dan mendekat padaku. Ia memegang kedua pundakku sembari menatap kedua mataku dalam. "Kau sangat jujur, Mika. Aku menyukainya," ujarnya yang kubalas dengan senyuman tipis tak niat. Marilyn melepaskan tangannya dari pundakku dan menatap hamparan luas hutan yang berada di belakangku. Aku ikut membalikkan badan, menatap hutan yang sanagt sunyi dan mengerikan. Aku tidak henti menatap Marilyn yang kini menutup matanya, ia sangat menimati angin yang berhembus pelan membelai kami. "Apa yang sedang kau pikirkan, Marilyn?" tanyaku saat ia menghela napas panjang. "Kau tidak tahu rasanya menjadi vampir, Mika. Aku rindu menjadi manusia biasa dan hidup seolah semua masih normal." Sudut bibirku terangkat, kami memiliki kesamaan akan sesuatu hanya saja saling keterbalikkan. "Aku malah ingin menjadi vampir, Lyn." Marilyn tertawa. "Kau memanggilku Lyn?" Aku mengangguk. "Ya, apakah tidak boleh?" Ia mengangguk dan tersenyum. Marilyn sangat mudah merubah ekspresinya dan ia sangat susah untuk ditebak. "Entah kenapa ketika aku berbicara denganmu, aku merasa kita seumuran," sahutnya yang membuatku tertawa. "Kau tahu, umur bisa saja tua tapi tidak dengan jiwamu. Aku mempelajari hal itu dari kakakku, Jared. Ia suka sekali bersikap layaknya seorang remaja padahal umurnya mau memasuki kepala tiga." Marilyn menatapku dengan senyum tulusnya kini yang sudah kubilang bukan, ia sangat mudah merubah ekspresinya. "Kau sangat murni dan naif, aku takut kau tidak bisa bertahan dikehidupan vampir ini. Kau begitu mudah diperdaya dan dimanfaatkan," jelasnya dan aku mengakui itu benar. "Kau benar, tapi inilah aku." Marilyn memeluk pundakku dengan sebuah tangannya dan membawaku keluar dari balkon dan kamar yang tenang itu menuju ruangan yang ramai dan dipenuhi banyak orang atau vampir. Ia memperkenalkanku dengan banyak orang. Beberapa dari mereka menatapku penasaran bahkan mengendusku dan berkata bahwa aku manusia. Marilyn hanya tertawa mendengar perkataan mereka, berbeda denganku yang semakin kaku dengan suasana saat ini. Sadar dengan kondisiku ini, Marilyn mulai membawaku pada Jordan yang kini sedang duduk dan minum sesuatu bersama seorang wanita yang tidak hentinya tertawa. "Maaf aku mengintrupsi tapi aku butuh seseorang untuk menjaga gadis ini," sahut Marilyn dan membuat dua orang didepan kami, menatapku. Aku tahu Jordan tiba-tiba saja menjadi kaku. Wanita yang berada didepannya menarikkan kursi untukku. "Tentu saja kami bisa, ayo duduk disampingku," ujar wanita itu dan aku duduk disana. Aku tebak wanita inilah yang bernama Lauren. Dan lagi, spekulasi tentang negatif kembali menghinggapi kepalaku. Aku tidak mau menatap Jordan, aku benar-benar marah padanya. "Kudengar kau setengah vampir," sahut wanita itu tiba-tiba. Aku mengangguk, "Ya." "Oh, tidak. Aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku Lauren, dan kau?" ia menyodorkan tangannya padaku. Aku menyambut tangannya. "Mika," balasku. "Waw, namamu sangat indah," pujinya. "Terima kasih, namamu juga." "Bagaimana kau bisa menjadi setengah vampir?" tanyanya. Aku mengedikkan bahu. "Entahlah, aku tidak tahu dan itu terjadi secara tiba-tiba," balasku cuek. Dengan senyuman yang masih tersungging dibibirnya, ia masih saja bersikap baik padaku meskipun aku menjawab pertanyaanya cuek. "Aku bisa menerawang dan mengetahui kenapa itu bisa terjadi, berikan aku tangamu," tawarnya. Aku hendak memberikan tanganku tapi Jordan telah mendahuluiku dengan memegang tangan Lauren. "Bisakah kita melakukan hal itu nanti, kurasa ia juga tidak ingin," ujarnya yang membuatku tersenyum sinis. Apa Jordan sedang berperan sebagai orang asing sekarang? Dan kenapa saat ia memegang tangan Lauren itu terlihat sangat intim. Lauren tersenyum, "maafkan aku, Mika. Aku tidak tahu kau keberatan." "Tidak apa, aku memang tidak ingin mengetahuinya bahkan aku tidak ingin menjadi vampir," ujarku yang membuat Jordan menatapku langsung. Aku berdiri dari dudukku. Aku merasa gila sekarang, baru sehari aku disini dan aku sudah merasa muak. Kalau aku tahu akhirnya begini sudah kupastikan aku tidak akan ikut dan membohongi Jared. Setiap kali aku berbohong pada Jared pasti karma selalu datang. "Aku permisi ke toilet," pamitku dan meninggalkan kedua insan yang membuatku kesal. Dengan langkah cepat, aku menuju kamar. Toilet? Tentu saja itu sebuah alasan agar aku bisa pergi dari sana. Aku menjatuhkan diriku di kasur. Rasanya berbeda saat aku menjadi vampir sungguhan dan menonton film vampir. Disana terasa sangat indah dan disini semuanya terasa kacau. Seseorang membuka pintu kamar dan aku menemukan Jordan disana. Segera aku memalingkan muka dan berpura-pura terlelap. "Aku tahu kau tidak tidur." Aku langsung saja membuka mataku dan bangun dari rebahanku. Aku menatapnya yang bersender dipintu kamar. "Apa yang kau inginkan?" tanyaku. "Apa maksudmu kau tidak ingin menjadi vampir?" Aku menatap sekeliling dan berakhir menatap bulan yang menerangi balkon saat ini. Aku ingin berkata seluruh isi hatiku tapi aku ragu, aku rasa ini hanya kesenangan sementara karena aku menggilai vampir. "Aku menarik kata-kataku kemarin. Menjadi vampir ternyata tidak menyenangkan karena hanya menjadi koleksi kepemilikkan seseorang. Aku rindu duniaku yang masih manusia," jelasku. "Maksudmu aku?" Aku kembali menatapnya datar. "Entahlah." "Lauren bukan siapa-siapa jika kau memikirkan itu," ujarnya dan aku menggeleng. "Kalau begitu aku juga bukan siapa-siapa saat kau bersamanya. Aku hanya orang asing, bukan?" Jordan mendekat dan duduk disebrang kasur. "Aku tidak mengerti, Mika." Aku memutar kedua bola mataku. "Berhenti bersikap tidak tau. Bagaimana kau memperlakukanku tadi membuktikan semuanya. Kau mengajakku pergi dan kini dengan mudahnya meninggalkanku? Wow, kau sangat hebat, Jordan." "Aku terpaksa, ia adalah milikku. Bagaimanapun juga aku harus memperlakukannya dengan baik layaknya kau." Aku membisu. Memperlakukannya dengan baik layaknya kau. Kalimat itu menggema dalam pikiranku. Aku baru satu bulan bertemu dengan Jordan dan kini sudah terperangkap olehnya. "Good, Jordan. Aku bukan lagi milikmu, okay, dan berhenti memperlakukanku layaknya dia. Aku ingin pulang sekarang!" "Kita tidak bisa pergi sekarang, kita belum mencari tahu agar kau menjadi vampir sejati dan mungkin pantangan-pantangan yang tidak boleh kau lakukan," jelasnya dengan nada yang sangat kubenci. Aku menggeleng. "Aku tidak mau mencari tahu lagi dan aku tidak pernah mengatakan jika aku ingin menjadi vampir seutuhnya, aku hanya ingin menjadi vampir dan walaupun setengah vampir saja, aku sudah bersyukur. Aku tidak ingin lebih dari itu!" "Ada apa denganmu, Mika?" suara Jordan terdengar kesal. "Aku yang seharusnya berkata seperti itu, Jordan. Aku merasa dibodohi dan dimanipulasi olehmu. Aku tidak ingin merasakan kesenangan sesaat, dan juga Marilyn berkata aku masih bisa menjadi manusia normal, bukankah itu kabar baik? Dengan itu aku bisa terlepas darimu dan kata-kata pemilikkanmu," terangku. "Kau tidak mengerti." Aku menatap Jordan tidak percaya. "Kau yang mrmbuatnya sulit untuk dimengerti." Jordan menatapku dingin. Tidak ada lagi keramahan dari raut wajahnya dan aku tidak peduli. Ia berdiri dari posisinya dan berjalan keluar sembari berkata, "kita akan membicarakannya lagi, esok." Aku hanya bisa mengerang dan menanti esok yang mana membuatku kepikiran terus menerus. Aku harap besok aku dapat bertemu dengan Jared dan memeluknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN