Aku bersiap menunggu Jordan di persimpangan jalan rumahku, tentu saja karena takut ketahuan oleh Jared. Aku berjalan kaki, menyusuri jalan sampai akhirnya seseorang menahan tanganku.
Jordan. Aku sudah hapal dengan suhu tubuhnya yang dingin.
"Kau siap?" tanyanya tiba-tiba sama seperti kedatanganya.
"Sapaan yang bagus Jordan. Bisakah kau mengucapkan selamat pagi terlebih dahulu?" sindirku.
Jordan tertawa. "Pagi Mika! Kau siap untuk pergi?"
Aku mengangguk dan menjawab, "tentu saja!"
Jordan mulai menggenggam tanganku. Ia menatapku, memberi isyarat jika kami akan berlari dengan cepat dan aku mengangguk. Setelah itu kami melaju dengan cepat, seperti angin yang berhembus kencang.
"Apakah perjalanan ini memakan waktu lama?" tanyaku di sela-sela lari kami.
"Iya, jika kau manusia normal, dan tidak untuk kita yang sudah menjadi vampir."
Aku mengangguk.
Setelah sekitar 20 menitan berlari akhirnya kami sampai. Pemandangan yang kutemukan hanyalah hutan belantara yang memiliki pohon besar dan rimbun. Aku sempat ragu jika keluarga Jordan tinggal di tempat layaknya manusia biasa. Namun, saat aku melihat sebuah rumah yang sangat besar dihadapanku, aku hanya bisa meneguk liurku.
Sudah banyak pohon-pohon yang menjalari sisi bangunan rumah tersebut, bahkan jalan setapak menuju tangga rumah itu pun ditutupi dedaunan kering. Tempat ini terlihat angker, sejujurnya.
"Ayo masuk," ajak Jordan yang sedari tadi tidak ada niat melepaskan genggamannya dari tanganku.
Saat pintu rumah besar itu terbuka, aku hanya dapat terdiam. Penampilan dalam sangat berbeda dengan penampilan luar. Rumah ini sangat terurus bahkan sangat mewah, aku sangat menyukai desain rumah ini yang mengusung tema romawi kuno.
"Selamat datang, anakku."
Suara itu membuatku mengalihkan pandanganku dari atap rumah ini. Itu suara dari seorang wanita dengan umur setengah abad namun, terlihat sangat cantik.
"Aku merindukanmu, mom," ucap Jordan dan langsung memeluk wanita paruh baya tersebut.
Aku hanya diam, menyaksikan keduanya menyalurkan rindu yang terpendam. Sampai akhirnya wanita itu menatapku penasaran.
"Siapa yang kau bawa ini, Jordan?" tanya wanita paruh baya itu.
Jordan mundur dan mensejajarkan tubuhku dan tubuhnya. Ia mengambil sebuah tanganku dan mengenggamnya, aku hanya menerima.
"Dia milikku, dan tentang dialah yang ingin kutanyakan padamu."
Wanita itu mendekat padaku. Sedikit mengendus lalu menatapku tajam.
"Kau setengah vampir," ujarnya.
Aku mengangguk.
Jordan memegang tanganku erat. "Berarti dia bisa kembali menjadi manusia?"
Wanita itu mengangguk. "Dia bisa asalkan ada niat kuat yang tumbuh didalam dirinya."
Wanita itu mengulurkan tangannya padaku. "Perkenalkan aku Marilyn, ibunya Jordan. Kau bisa memanggilku Lyn."
Aku membalas ulurannya, "Aku Mika."
Marilyn bertepuk tangan dengan senyum sumringah. "Kenapa tidak kita adakan pesta untuk menyambut gadis kecilmu ini?"
"Josh, Hendrik, Kemarilah!" lanjut Marilyn dengan berteriak.
Kurasa dua orang yang muncul dibelakang adalah orang yang namanya dipanggil Marilyn tadi. Entah kenapa semua orang yang berada disini sangat tampan dan cantik, apakah vampir ini mempunyai gen bagus?
"Aku ingin kalian menyiapkan pesta untuk menyambut tamu kita ini, kirimkan undangan sebanyak yang kau bisa. Dan aku ingin semuanya selesai esok lusa," titah Marilyn langsung dijawab anggukan oleh kedua pria itu.
Aku menarik tangan Jordan dan menggeleng padanya. "Aku berkata pada Jared jika aku hanya pergi dua hari," Jelasku.
"Kita bisa memikirkannya nanti, yang terpenting saat ini adalah dirimu."
Aku mengedikkan bahu.
"Memangnya apa yang terjadi pada diriku?" balasku dan Jordan menatapku lembut.
"Karena itu, kita akan mencari tahu."
Setelah itu, mereka pergi meninggalkan kami seperti tadi, hanya bertiga sembari menatap satu sama lain.
Aku berdehem mencoba menetralkan suasana yang kini semakin hening dan Marilyn terus saja menatapku.
Marilyn tersenyum, "Kenapa aku lupa menyuguhkan minuman untuk tamuku, ayo ikuti aku," ujarnya.
Aku menatap Jordan ragu tapi ia membalasku dengan senyuman menenangkannya. Akhirnya ia menggenggam tanganku dan kami mengikuti Marilyn yang kini telah berjalan duluan.
Kami memasuki ruangan besar, kurasa ini ruang makan mereka. Aku menatap sekeliling, tidak ada orang sama sekali sangat sepi.
"Apa kau hanya tinggal bersama dua orang tadi?" pertanyaan itu meluncur saja tanpa bisa kucegah.
Karena pertanyaan itu Marilyn menatapku penasaran, dan ia kembali tersenyum. Senyumannya penuh dengan misteri, aku tidak tahu apakah senyuman itu tulus atau ia buat-buat.
"Kau penasaran?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Kau akan menemukan jawabannya nanti malam."
"Nanti malam?"
"Ya," jawab Jordan menggantikan Marilyn.
Aku hanya mengangguk saja.
Marilyn berjalan menuju kulkas yang kuhitung berjumlah enam kulkas dan setiap kulkasnya memiliki dua pintu. Kenapa mereka membutuhkan kulkas sebanyak itu?
Saat aku melihat Marilyn membuka kulkas tersebut. Aku merasakan hawa lapar yang sangat tinggi, ini semua terjadi karena isi kulkas tersebut dipenuhi dengan kantung darah.
Aku merasakan genggaman Jordan yang mulai kuat pada tanganku, saat kulihat wajahnya ternyata ia sama sepertiku. Apa mungkin Jordan telah lama tidak meminum darah?
Marilyn dengan santainya menuangkan darah tersebut ke dalam gelas, setiap percikan darah itu membuatku semakin ingin mengambilnya.
Dengan nampan ditangan yang mana ada dua gelas disana yang berisikan darah segar ia berjalan mendekati kami dan meletakkan gelas tersebut dihadapan kami.
Jika aku masih manusia normal mungkin saja aku sudah muntah saat ini, namun keadaanya sekarang berbeda. Darah itu seolah memanggilku untuk mendekat padanya dan jujur, aku hampir kehilangan kendaliku jika saja Jordan tidak menarik tanganku kuat.
"Biarkan, Jordan. Ini adalah makanan pertamanya, setidaknya dengan ini ia dapat menahan laparnya untuk sebulan."
Saat Jordan melepas tanganku, tanpa bisa kucegah tubuhku bergerak kearah gelas itu dan aku meminumnya. Ya, aku meminumnya untuk yang pertama kali.
Gelas itu sudah habis, tubuhku terasa penuh dengan energi dan aku mera kuat, entahlah.
"Bagaiman rasanya?"
"Huh?"
"Yang baru saja kau minum, bagaimana rasanya?" ulang Marilyn.
Jujur, aku merasa bukan diriku saat meminum isi gelas itu. Aku bahkan tidak ingat rasanya.
"Entahlah, aku tidak dapat merasakannya," jawabku.
Marilyn tertawa, ia bertepuk tangan. "Tentu saja! Kau adalah setengah vampir."
Jordan mengambil duduk dibangku meja makan itu, diikuti Marilyn yang duduk berhadapan dengan Jordan.
Jordan menarik bangku, agar aku duduk disampingnya. Aku duduk dan menatap Marilyn penasaran.
"Menurutmu bagaimana ia menjadi seperti itu?" tanya Jordan pada Marilyn.
Marilyn mengedikkan bahu, "kenapa tidak kau tanya saja pada Lauren nanti malam?"
"Siapa lauren?" tanyaku, bingung mendengar mereka berbicara tapi tidak mengetahui siapa yang dibicarakan.
Marilyn menatapku lalu memiringkan kepalanya sedikit, "Tentu saja, milik Jordan."
Aku terdiam. "Milik?"
"Ya," Jawab Jordan tanpa menatapku.
"Lantas, kenapa kemarin kau bilang aku milikmu?" pertanyaanku hanya menggantung diudara, tanpa ada jawaban yang keluar dari mulut pria yang kini memilih berdiri dari duduknya dan meninggalkanku.
Sebagai gantinya aku menatap Marilyn. "Kau akan mengetahuinya nanti."