Mobil hitam mewah itu melaju stabil di bawah langit pagi yang mulai mendung. Di dalamnya, sunyi lebih dominan daripada suara audio mobil yang pelan. Nayara duduk di samping, membisu, berusaha menyembunyikan rasa canggung yang perlahan mulai merambat naik dari d**a ke tenggorokannya.
Ia masih sulit percaya, Adiraja Mahadipa benar-benar mengantar—dengan tangannya sendiri—sekretaris barunya ini ke apartemen.
"Apartemenmu yang di Mahadipa Residence, kan?" tanya pria itu di balik kemudi, tanpa menoleh.
Nayara mengangguk pelan. "Iya, Pak."
"Bagus." Satu kata, dingin, seperti biasa. Tapi kali ini... ada yang berbeda. Bukan hanya soal suaranya. Tapi tatapan sesekali yang ia lempar dari sudut mata. Tatapan yang membuat Nayara semakin sadar—pria ini mencurigainya.
Setibanya di lobi, Nayara hendak keluar lebih dulu, tapi Adiraja justru mematikan mesin mobil dan ikut turun. Tak ada penjelasan. Tak ada permisi.
Nayara terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya melangkah menuju lift.
"Apartemen nomor berapa?" tanyanya datar sambil berdiri di sebelah Nayara, di dalam lift yang sunyi.
"18-B," jawab Nayara singkat.
"Unit punya sendiri?"
"Pinjaman."
"Hm." Lirih. Hampir tidak terdengar, tapi cukup membuat suasana dalam lift makin sesak.
Begitu pintu terbuka, langkah kaki keduanya terdengar menggema di koridor marmer. Kartu akses ditempelkan, pintu terbuka, dan Nayara langsung masuk lebih dulu, berharap Adiraja tidak akan—
—ikut masuk.
Tapi tentu saja dia ikut. Menyusul masuk dengan langkah tenang seolah itu unit miliknya.
Dan memang... secara teknis, ini properti milik Mahadipa Residence.
Nayara menelan ludah, buru-buru mengambil koper kecil dari balik sofa, lalu mulai mengambil beberapa pakaian dan perlengkapan dalam diam. Ia bisa merasakan mata pria itu menelusuri seluruh ruangan. Menyapu. Menilai.
"Rapih," komentar Adiraja pelan. "Terlalu rapih untuk tempat tinggal sementara."
Nayara tak menjawab. Ia pura-pura sibuk dengan jaket di tangan.
"Siapa nama pemilik unit ini?"
Nayara berhenti sejenak. Tapi tidak menoleh. "Viren. Teman lama saya."
"Teman lama," ulang Adiraja seperti mencicipi dua kata itu. Lalu suara sepatunya perlahan mendekat ke arah meja kecil di dekat jendela. Jari-jarinya menyentuh mug yang tertulis inisial huruf "V" besar di permukaannya.
"Dan... hubunganmu dengan pria itu seperti apa, sampai dia rela meminjamkan unit mahal ini padamu?"
Pertanyaan itu meluncur tenang. Tapi ada tekanan. Ada nada curiga yang tersembunyi di baliknya. Mata Adiraja kini tertuju langsung padanya.
Nayara membeku di tempat. Koper belum ditutup. Tangannya mengepal.
"Teman," jawabnya singkat.
"Teman yang cukup kaya untuk menyerahkan kunci apartemen tanpa batas waktu?"
"Ya." Kali ini matanya berani menatap balik. Datar. Tak ingin terlihat goyah.
Adiraja menyipitkan mata, seolah mencoba mengupas lapisan-lapisan kebohongan dari wajah Nayara. Tapi yang ia lihat hanyalah ketegasan.
Atau mungkin... pertahanan yang sangat rapat.
"Kalau begitu... semoga temanmu tahu, bahwa Mahadipa Group tidak akan menanggung konsekuensi kalau ada sesuatu yang... tersembunyi di balik kedekatan kalian."
"Dengan segala hormat, Pak," Nayara membalas dingin, "saya bekerja untuk Mahadipa, bukan tinggal di interogasi."
Sesaat, suasana kembali membeku. Lalu—seakan tidak terjadi apa-apa—Adiraja berjalan ke pintu.
"Sepuluh menit. Saya tunggu di mobil."
Begitu pintu apartemen tertutup, Nayara langsung menghembuskan napas panjang. Tangannya refleks menyapu rambut ke belakang, lalu menggigit kuku jari telunjuknya—kebiasaan buruk yang selalu muncul saat ia gugup atau gelisah.
"Tenang, Nay..." bisiknya pada diri sendiri. Tapi siapa yang bisa tenang setelah diinterogasi langsung oleh Adiraja Mahadipa? Meski wajahnya tampak datar dan tutur katanya terjaga, Nayara tahu tubuhnya tidak bisa berbohong. Jantungnya berdetak lebih cepat, ada dorongan aneh di balik d**a yang membuatnya merasa... tidak nyaman. Tapi bukan karena takut—lebih karena kewaspadaan. Atau mungkin... karena terlalu sadar, bahwa pria itu sedang mengamatinya jauh lebih dalam dari yang ia tunjukkan.
Beberapa menit kemudian, ia kembali turun. Koper kecil di tangan. Langkahnya mantap, meski hatinya belum sepenuhnya tenang.
Dan seperti yang ia duga, Adiraja masih berdiri di samping mobil, satu tangan dimasukkan ke saku celana, sementara yang lain memainkan kunci mobil. Seolah sedang menunggu laporan rapat, bukan seorang sekretaris.
Yang lebih mencolok lagi adalah aura sekelilingnya. Satpam gedung berdiri lebih tegak dari biasanya. Resepsionis menunduk terlalu rendah. Beberapa penghuni yang kebetulan lewat bahkan sempat berhenti, bisik-bisik sambil memandangi pria itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Adiraja Mahadipa. Tak butuh perkenalan. Ketika pria itu muncul di area publik, atmosfer akan otomatis berubah.
"Sudah?" tanyanya singkat saat melihat Nayara mendekat.
"Sudah, Pak."
Tanpa banyak bicara, koper Nayara berpindah ke bagasi. Lalu mereka pun melaju.
Di dalam mobil, keheningan menyelimuti lagi. Hanya suara pelan dari sistem navigasi dan deru mesin yang terdengar. Nayara menatap keluar jendela, berusaha tidak terganggu oleh kehadiran pria di sebelahnya. Tapi itu sulit.
Sialnya, aroma sabun maskulin dari kulit Adiraja menguar samar di udara. Ia duduk tegak, memegang setir dengan satu tangan, sementara tangan lainnya sesekali menggulir layar kecil di tengah dashboard mobil.
"Jangan gugup begitu. Wajahmu seperti orang yang mau dibawa ke ruang interogasi," ujar Adiraja tanpa menoleh, nada suaranya enteng.
Nayara terkesiap kecil, tak menyangka. "Saya tidak gugup."
“Hm. Lidahmu bilang tidak. Tapi kuku jarimu—kelihatan bekas gigitan. Tadi di atas.”
Refleks, Nayara menyembunyikan tangannya di bawah paha. Matanya membuang ke luar jendela. “Kebiasaan buruk,” gumamnya, setengah malu.
Adiraja tak langsung menimpali. Tapi dari sudut pandang Nayara, ia sempat melirik. Sekilas. Tapi cukup lama untuk membuat jantungnya kembali berdetak lebih cepat. Lalu bibir pria itu melengkung tipis.
Senyum itu tidak mengejek. Bukan juga menghibur. Lebih ke… menyimpan sesuatu. Seperti seseorang yang sudah memegang kunci, tapi belum membuka pintu.
Kenapa sih dia harus seobservatif itu? Kenapa bisa se-detail itu memperhatikan dirinya?
Apa dia... dukun?
Tentu saja, itu hanya terlontar dalam hati.
“Saya bukan dukun,” ujar Adiraja santai, masih menatap lurus ke depan.
Nayara nyaris melonjak. Ia menoleh cepat. “Apa?”
Adiraja menahan senyum, tangannya tetap di setir. “Ekspresi wajahmu terlalu jujur, Naya. Dan kamu punya kebiasaan kecil: alis kiri selalu naik sedikit setiap kali kamu mikir keras atau... menyumpahiku dalam hati.”
Nayara terdiam, nyaris kehabisan kata. Alisnya—apa?
“Gestur tubuhmu itu seperti papan pengumuman,” lanjut Adiraja ringan. “Kamu pikir kamu tenang. Tapi bahumu sedikit naik. Lehermu agak kaku. Dan kamu menatap ke luar jendela terlalu lama, seolah saya ini penjahat besar.”
“Karena memang kelakuan bapak kayak penjahat,” celetuk Nayara spontan. Lalu menutup mulutnya sendiri, terlambat.
Adiraja mengerling sekilas, ekspresinya tetap tenang. “Mungkin. Tapi kamu tetap naik ke mobil saya. Dan sebentar lagi kita akan duduk bersebelahan di jetku. Jadi... siapa yang lebih gila?”
Nayara membuang napas. “Bapak.”
Adiraja tertawa pelan. “Tepat.”
Hening sesaat kembali menguasai kabin mobil. Tapi kini ada sesuatu yang berbeda. Udara di antara mereka seperti mengalir lebih cepat. Bukan hanya karena kecepatan mobil—tapi karena kesadaran satu sama lain yang kian melekat.
Dan di tengah segala detak yang tak bisa dijelaskan itu, Nayara bertanya-tanya dalam hati:
Siapa sebenarnya Adiraja Mahadipa?
Dan yang lebih penting...
Berapa banyak lagi yang pria itu tahu tentang dirinya?
Setibanya di Bandara Juanda, Nayara kembali dikejutkan. Mobil mereka langsung diarahkan ke sisi private terminal. Petugas bandara menyambut, dan sebuah jet pribadi berlogo Mahadipa Group sudah menunggu dengan mesin menyala.
Nayara membeku di tempat.
“Kita... naik ini?” tanyanya, agak tak percaya.
Adiraja melirik ke arahnya sambil berjalan ke tangga pesawat. “Kamu pikir?”
Nayara berdecak pelan, lalu mengikuti langkahnya.
Di dalam jet, segalanya lebih sunyi. Ruang kabin luas itu beraroma kulit baru, dengan interior serba elegan dan modern. Nayara duduk di kursi sebelah jendela, mencoba menyesuaikan diri. Sementara Adiraja membuka laptop di depannya, memasang earbud di salah satu telinga, dan mulai mengetik.
Tapi, saat pramugari datang menawarkan minuman, Adiraja menoleh ke Nayara.
“Kopi hitam?”
Nayara mengangguk pelan. “Iya, Pak.”
“Tanpa gula?” tanyanya lagi, kali ini dengan sudut senyum di bibir.
Nayara menoleh cepat, tatapannya tajam. “Kok tahu?”
“Saya tahu banyak hal.” Adiraja menyandarkan punggung, lalu menatap Nayara sebentar sebelum kembali ke layarnya. “Termasuk... siapa yang kamu coba lindungi sekarang.”
Kalimat itu menggantung di udara. Membuat Nayara mencengkeram pegangan kursi.
Ia menatap lurus ke luar jendela, menolak terpancing.
Dan Adiraja? Ia tidak bicara lagi. Tapi senyuman kecil itu masih tertinggal di sudut bibirnya.
Jet pun lepas landas. Menuju Bandung. Menuju arah yang makin lama makin sulit dibedakan—antara misi profesional, atau sesuatu yang jauh lebih personal.