7

1269 Kata
Langkah Nayara terhenti sejenak di depan gerbang besi hitam yang perlahan terbuka otomatis. Udara pagi yang masih lembab menyambutnya dengan dingin, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang belum sepenuhnya kering. Matanya menatap bangunan megah berarsitektur modern klasik yang berdiri kokoh di hadapannya—mansion milik Adiraja Mahadipa. Tempat yang selama ini hanya disebut-sebut dalam rapat dan rumor kantor, kini berdiri nyata di hadapannya. Dan ia ada di sini. Pagi hari. Dengan berkas di tangan. Sialan, batin Nayara. Bahkan sebelum secangkir kopi miliknya habis. Belum sempat ia membuka pintu, seorang maid berseragam hitam putih sudah membukakannya terlebih dahulu dengan gerakan yang terlalu ramah untuk selera Nayara pagi-pagi begini. “Selamat pagi, Nona Nayara.” Suara lembut itu mengejutkannya. Nayara menoleh cepat, matanya menyipit. Dia tahu namaku? Belum sempat ia bertanya, dua maid lain muncul dari dalam rumah. Salah satu membawa nampan dengan gelas air putih dan handuk kecil di atasnya. Yang satu lagi mempersilakan Nayara masuk, membungkuk sopan sambil membuka pintu ganda besar dari kayu mahoni. “Tuan Adiraja sudah menunggu di ruang kerja bagian timur, Nona. Kami diminta menyambut Anda dengan baik.” Nayara hanya bisa mengerjap. Ia belum bicara sepatah kata pun, belum mengirim pesan bahwa ia sudah sampai. Tapi para pelayan di rumah ini seolah telah menghafal jadwal kedatangannya. Ia melangkah masuk dengan tenang, meski otaknya berdenyut dengan banyak pertanyaan. Bagaimana mereka tahu aku akan datang? Bahkan tanpa notifikasi. Tanpa bel. Dan kenapa seolah semuanya... sudah diatur? Mansion itu terasa terlalu sunyi untuk ukurannya. Mewah, dingin, teratur. Seolah tidak ada satu pun partikel debu yang berani melayang tanpa izin. Langkah sepatunya yang beradu dengan marmer justru membuatnya merasa seperti penyusup. “Bisa saya bantu membawakan berkasnya, Nona?” tanya salah satu maid sopan. Nayara menggeleng cepat. “Tidak perlu. Saya tahu jalannya?” Nada bicaranya terkesan percaya diri, padahal ia tak tahu apapun. Tapi sebagai sekretaris Adiraja, ia tahu satu hal: jangan beri kesan kamu terintimidasi. Bahkan oleh rumah bosmu sendiri. Maid itu mengangguk, mundur sopan. Tapi matanya menatap Nayara dengan cara yang tak bisa ia tebak. Ramah? Ingin tahu? Mengawasi? Nayara menelan ludah pelan. Di sinilah permainan dimulai, batinnya. Dan ia akan memastikan tak satu pun dari mereka tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Langkah Nayara terdengar pelan menyusuri lorong-lorong panjang mansion yang terasa terlalu sunyi untuk ukurannya. Setiap dinding dihiasi lukisan berbingkai emas dan lampu-lampu gantung elegan yang memantulkan cahaya lembut di permukaan marmer putih mengilap. Namun tidak ada kehangatan. Semuanya tampak seperti museum, bukan rumah. “Lurus... belok kanan... lalu kiri,” gumamnya pelan, mengingat kembali petunjuk singkat dari sang maid. Napasnya sedikit teratur. Tapi tak bisa dibohongi, tempat ini seperti labirin. Melelahkan hanya untuk diingat. Sama seperti pemiliknya—dingin, rumit, dan tidak tertebak. Hingga akhirnya dia berdiri di depan sepasang pintu besar berwarna coklat tua dengan ukiran tegas yang mewah. Seolah-olah pintu itu memang sengaja dibuat tinggi dan berat agar tak sembarang orang berani menyentuhnya. Dia menarik napas pelan, mengetuk dua kali. Tidak ada jawaban. Tapi ia sudah tahu dari gerakan insting bahwa orang di dalam sudah menyadari kedatangannya. Dengan gerakan pasti, Nayara mendorong daun pintu perlahan. Engselnya mengeluarkan suara halus—nyaris tidak terdengar—dan ruangan itu menyambutnya dengan aroma khas: kopi pahit, lembaran dokumen, dan entah kenapa... wibawa yang membungkam. Adiraja berdiri membelakangi pintu. Sosoknya tegak, tinggi, dan terasa seperti siluet patung yang menghuni museum tua. Ia menatap taman dari balik jendela kaca besar, membiarkan cahaya matahari pagi mengukir garis wajahnya yang tegas. Setelan rumahnya—kemeja abu-abu dengan dua kancing teratas terbuka dan celana hitam santai—memperkuat aura kekuasaan yang tak bisa disangkal. Dingin. Tak tersentuh. Tapi tetap memikat dalam versinya sendiri. Di meja kerja, secangkir kopi masih mengepul pelan. Uapnya naik tenang, seolah menjadi satu-satunya yang berani bergerak bebas di ruangan itu. “Pagi,” sapa Nayara singkat, berusaha terdengar biasa saja. Adiraja tidak langsung menjawab. Tangannya perlahan melipat ke belakang punggung, lalu dengan tenang ia berbalik, menatap Nayara dari ujung kepala sampai kaki. Tatapannya tak menyimpan emosi. Tapi terlalu lama untuk disebut sekilas. “Datang lebih cepat dari yang saya perkirakan,” gumamnya. Nayara menahan keinginan untuk mendesah. “Bapak bilang pukul tujuh. Dan jam saya menunjukkan lima menit sebelum itu.” Sudut bibir Adiraja bergerak—entah itu senyum atau hanya tarikan ringan penuh makna. “Bagus,” sahutnya pendek. "Bawa berkasnya?" Nayara maju, meletakkan map itu dengan tenang. "Sudah saya lengkapi semua, termasuk revisi terakhir dari tim keuangan." Adiraja berjalan pelan menuju meja kerjanya, mengambil setumpuk dokumen tanpa melihat Nayara. Nadanya kembali dingin dan terukur. “Duduk.” Nada itu tak membuka ruang untuk penolakan. Seperti biasa. Nayara menarik kursi dan duduk dengan tenang, menaruh map yang dibawanya. Namun jauh di balik semua kesan profesional yang mereka pertontonkan, Nayara tahu betul: pagi ini bukan sekadar soal laporan kunjungan kerja. Dan Adiraja, dengan semua kejeniusannya, menyadari hal serupa. Nayara bukan hanya sekretaris baru. Dia membawa sesuatu. Dan cepat atau lambat, semuanya akan terbuka. Tiba-tiba pria itu meliriknya tajam, alis sedikit terangkat. “Kamu pakai parfum baru?” Pertanyaan yang terdengar aneh. Nayara mengerutkan kening. “Tidak, Pak. Mungkin sabun mandi saya.” “Hm.” Gumaman singkat. Entah percaya, entah menyimpan catatan mental. Wajahnya kembali datar, lalu mulai membuka halaman demi halaman laporan. Nayara sempat berpikir pria itu akan langsung masuk ke inti pembicaraan soal dokumen. Tapi seperti biasa, Adiraja punya caranya sendiri memulai sesuatu. “Kamu ikut ke Bandung nanti. Dan kamu yang akan presentasi soal alur pelaporan divisi operasional.” “Saya?” Nayara menahan keterkejutan. “Masalah buat kamu?” “Tidak, Pak.” “Bagus. Karena saya tidak menerima kata ‘tidak’.” Belum sempat Nayara mengatur napasnya kembali, Adiraja menyambung dengan nada tenang yang justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. “Sudah bawa semua barangmu?” Nayara memiringkan kepala, bingung. “Untuk apa, Pak?” “Kita pergi ke Bandung hari ini.” Nayara membelalakkan mata. “Loh, bukannya dua hari lagi?” Adiraja tidak menjawab. Tatapannya justru mengeras, menusuk. Diam yang tak perlu dijelaskan—membuat Nayara hanya mampu melipat bibirnya ke dalam dan menghela napas pelan. Kesal. Namun ia harus ingat. Ia berdiri kaku di depan ruang tunggu Lapas Kertajaya, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, tapi karena ketakutan yang tak bisa dijelaskan. Di tangannya, surat pemberitahuan resmi dari pihak kepolisian masih tergenggam erat, basah karena air hujan dan air mata. Ayah ditemukan gantung diri di dalam sel. Padahal Nayara tahu—ayahnya dijebak. Dan semua jejak mengarah ke satu nama: Rakendra Mahadipa. Ia harus bertahan. Harus menyusup lebih dalam. “Maaf, Pak. Saya belum menyiapkan semuanya,” ucapnya kemudian. Nada suaranya kembali tenang, walau dalam hati, ia ingin melempar map itu ke wajah pria menyebalkan di depannya. “Ya sudah. Tidak usah ganti baju di sana,” ucap Adiraja ringan, tanpa beban. “Maaf, Pak. Gimana?” Nayara nyaris tertawa sinis. “Kamu sekretaris. Seharusnya kamu sudah bisa membaca situasi,” ucapnya datar. “Bukan salah saya dong, Pak.” Sudah, persetan dengan tata krama. Mood-nya sudah amburadul sejak pagi. “Setahu saya, kita ke Bandung dua hari lagi. Tapi Bapak malah tiba-tiba minta mengajukan jadwal.” Adiraja mengangkat alis. Berani sekali anak baru ini. Tapi... cukup menarik. Sekretaris-sekretaris sebelumnya terlalu jinak, terlalu pasif. Satu ini... lain. “Berani juga kamu sama saya?” Nayara menaikkan satu alis. “Sama-sama makan nasi kan, Pak? Kecuali kalau Bapak sarapan pecahan kaca... kayak waktu mau ngereog, baru saya pikir ulang deh.” Loh, mulutku kenapa sih? Kok kayak gini ya? Nayara menyesali kata-katanya begitu kalimat itu meluncur. Terlambat. Brak! Adiraja mendorong meja hingga map dan cangkir kopi sedikit tergeser. Suara hantaman kayu menggema keras, membuat jantung Nayara melonjak kaget.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN