6

1143 Kata
Setelah mengantar piring-piring kosong ke wastafel, Viren berdiri sejenak di dapur apartemen Nayara. Suasana sunyi, hanya suara deting jam dinding dan sesekali suara lalu lintas dari luar jendela yang terbuka sedikit. Ia membuka tas kulit kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana—benda yang tak pernah Nayara curigai. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah flashdisk mungil berwarna hitam. Dengan langkah pelan, ia berjalan ke meja kerja Nayara dan menyambungkan flashdisk itu ke laptop cadangan yang biasa digunakan Nayara untuk pekerjaan kantor. Matanya menatap layar dengan cepat. Jari-jarinya cekatan mengetikkan kode akses. Beberapa file terenkripsi terbuka, sebagian besar adalah hasil sinkronisasi otomatis dari server Mahadipa—satu keuntungan dari bekerja di sistem yang terhubung tanpa disadari. “Ada data baru dari rapat tadi…” gumamnya. “Dan ada aktivitas login dari ruang server pukul 17.30. Bukan dari Nayara. Bukan juga dari Adiraja.” Ia menarik napas. Dahinya berkerut. “Rakendra…” Setelah menyalin beberapa data, ia segera mencabut flashdisk dan menyimpannya kembali. Semuanya berlangsung dalam lima menit yang sunyi. Viren berdiri menatap kamar Nayara yang tertutup. “Maaf, Nay... Aku janji melindungimu, tapi ada hal-hal yang bahkan kamu nggak boleh tahu dulu,” ucapnya pelan. “Aku nggak bisa tinggal diam kalau kamu jalan sendirian ke dalam sarang itu.” 💔💔💔 Adiraja bersandar di kursi kerja yang terbuat dari kayu jati tua, matanya menatap kosong ke arah taman dalam di balik jendela kaca mansion miliknya. Lampu meja yang hangat menyinari sebagian wajahnya, memantulkan bayangan tajam yang mempertegas rahangnya. Satu tangan memutar-mutar pena, sementara pikirannya masih tertahan pada sosok Nayara. Bukan tentang pekerjaannya hari ini. Tapi tentang senyumnya—senyum yang hanya muncul saat pria itu datang menjemput. Pria yang wajahnya tidak asing. Ya. Pria yang sempat menjemput Nayara di depan kantornya saat jam makan siang. Ada yang mengusik. Mengganggu. Dan bukan hanya karena perasaan. Tapi karena pria itu… menyimpan sesuatu yang belum bisa ia kenali sepenuhnya. Seringai tipis muncul di bibirnya. “Sahabat, ya?” gumamnya pelan. “Atau sesuatu yang lebih berbahaya?” Lamunannya buyar saat ponselnya bergetar. Sebuah nama yang ia tunggu muncul di layar: Rizal – Operasi Bayangan. Adiraja mengangkatnya tanpa ragu. "Ya?" "Pak, laporan dari tim kami. Rakendra malam ini bertemu dengan salah satu mantan direksi Mahadipa yang dipecat dua tahun lalu. Lokasinya di restoran lama dekat kawasan pelabuhan. Pembicaraannya tidak bisa direkam dengan jelas, tapi—" "Saya tahu arah geraknya," potong Adiraja pelan. Tatapannya kembali tajam. "Teruskan pengintaian. Jangan sampai dia tahu kita mengawasinya." "Siap, Pak." Telepon ditutup. Adiraja menegakkan tubuhnya. Kedua sikunya bertumpu di atas meja. Wajahnya kini lebih dingin, lebih fokus. Rasa terganggu karena Nayara berganti dengan naluri waspada yang selama ini ia simpan rapi. Satu hal yang pasti: jika Rakendra mulai bergerak lagi, maka waktunya untuk ikut masuk lebih dalam. Dan jika Nayara memang menyimpan sesuatu seperti dugaannya… ia akan mengetahuinya, cepat atau lambat. Adiraja memandangi layar hitam ponselnya yang baru saja menampilkan panggilan terakhir. Ruangan di sekelilingnya sunyi, hanya suara detik jam dinding yang terdengar lirih, seolah ikut menghitung waktu menuju kehancuran yang telah ia siapkan diam-diam. Rakendra. Nama itu menimbulkan rasa panas di dadanya. Dulu ia menaruh hormat. Dulu ia percaya. Tapi semuanya berubah saat Adiraja menyadari bahwa di balik senyum elegan dan kata-kata manis sang kakak, tersembunyi ambisi busuk dan kerakusan yang tak pernah terpuaskan. Ia masih ingat jelas—malam itu, bertahun lalu. Ruang rapat di kantor pusat Mahadipa masih menyala ketika Adiraja tanpa sengaja menemukan dokumen-dokumen penggelapan aset. Semua ditandatangani oleh tangan Rakendra sendiri. Pria yang kala itu menjadi Direktur Utama sementara, memanfaatkan kekuasaan dengan cara paling menjijikkan. Dan bukan itu saja. Saat kasusnya meledak ke permukaan dan para pemegang saham mulai mempertanyakan keabsahan laporan keuangan, Rakendra tidak hanya menyalahkan orang lain. Ia mengorbankan staf loyal yang tak bersalah, mengorbankan… Ayah mereka sendiri. Adiraja menutup matanya sejenak, rahangnya mengeras. Ia bisa melihat kembali wajah ayahnya, Bramasta Mahadipa, yang waktu itu nyaris kehilangan seluruh kredibilitasnya karena skandal itu. Dan Rakendra? Ia menghilang untuk beberapa waktu, hanya untuk kembali dengan senyum ramah dan gaya hidup mewah seolah tidak pernah terjadi apa-apa. "Kau pikir bisa selamanya hidup di balik bayang-bayang Mahadipa yang kau rusak, Kendra?" gumam Adiraja pelan, nyaris seperti kutukan yang ditelan malam. Ia berdiri, melangkah ke rak kecil di sudut ruangan. Tangannya menyentuh bingkai foto lama—sebuah potret keluarga. Wajahnya di sana masih remaja, tersenyum kaku di antara kedua orang tua dan sang kakak. Adiraja menarik napas panjang, lalu meletakkan kembali bingkai itu menghadap ke belakang. Ia sudah mengubur memori itu. Sekarang waktunya bertindak. "Aku akan menanggalkan semua topengmu, Kak." "Kalau kau pikir darah yang sama bisa menyelamatkanmu, kau salah besar." Adiraja kembali ke meja kerjanya, menyalakan kembali layar laptop, matanya menyapu setiap rekaman dan laporan pergerakan terakhir Rakendra. Tidak peduli seberapa licin langkahnya, tidak peduli seberapa kuat koneksi di balik bayangannya— Adiraja Mahadipa sudah bersumpah. Dan satu-satunya jalan bagi sumpah itu adalah kehancuran Rakendra, dari akar sampai ujung napas terakhirnya. ❤❤❤ Jam di meja menunjukkan pukul 05.00 ketika alarm dari ponsel Nayara berbunyi nyaring, memecah kesunyian apartemen. Dengan mata setengah terbuka, ia menjulurkan tangan malas dan mematikan alarm itu, lalu menggeliat di tempat tidur. Otot-otot punggungnya terasa kaku, dan tubuhnya masih meminta waktu, tapi kebiasaan keras membuatnya bangkit dari kasur. Ia berjalan ke arah dapur kecil, menyeduh kopi hitam sachet yang biasa ia minum pagi-pagi. Rambut panjangnya diikat asal ke atas kepala, menyisakan beberapa helai yang jatuh berantakan di pelipis. Saat menyesap kopi pertamanya, ponselnya bergetar di atas meja makan. [Adiraja Mahadipa – 04.57 AM] "Datang ke mansion. Bawa berkas kunjungan kerja. Saya tunggu jam 07.00." Nayara memutar bola mata sambil mendecih pelan. "Astaga… pagi-pagi gini? Dia pikir aku asisten pribadi 24 jam?" Meski begitu, ia tahu, protes tak akan ada gunanya. Pria itu tidak mendengarkan, hanya menuntut. Dia tahu benar, berada di lingkaran Mahadipa berarti siap untuk dimanfaatkan sampai ke ujung batas. “Tenang, Nayara…” gumamnya pada diri sendiri, meneguk kopi sampai habis, “Ini semua demi misi. Jangan terpancing.” Ia melangkah ke kamar mandi untuk mandi kilat, lalu mengenakan blouse putih yang ia padukan dengan blazer abu dan celana panjang hitam—simple, profesional, tapi tetap menunjukkan kesan elegan. Wajahnya dirias tipis, hanya untuk menyamarkan kelelahan yang sudah mulai terbaca dari bawah matanya. Tepat pukul 06.30, ia sudah berada di dalam mobil, menuju Mansion Mahadipa – Paviliun Timur, tempat kediaman pribadi sang pewaris perusahaan. Bangunan besar berbalut kaca hitam dan dinding abu tua menyambutnya dengan hawa dingin khas orang-orang yang tidak suka berbasa-basi. Mobilnya melambat di gerbang utama. Setelah identitas diverifikasi, barulah ia diizinkan masuk ke jalur khusus menuju Paviliun Timur—bagian tersendiri dari mansion yang hanya bisa diakses orang-orang tertentu. Pintu paviliun terbuka otomatis ketika sensor wajah mendeteksi kehadirannya—tanda bahwa Nayara sudah masuk ke daftar tamu tetap. Ia melangkah masuk, membawa map besar berisi proposal dan laporan untuk kunjungan kerja ke cabang Mahadipa di Bandung dua hari lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN