1

1284 Kata
Langkah-langkah sepatu hak tingginya bergema di lantai marmer gedung Mahadipa Corp. Setiap dentingan terdengar seperti detik waktu yang menuntunnya semakin dekat ke pusat kekuasaan—dan balas dendam. Nayara tidak seharusnya berada di sini. Dunia ini bukan untuk orang-orang seperti dia, yang dibesarkan di rumah sempit penuh utang dan trauma. Tapi pagi ini, ia berdiri di depan pintu kantor Adiraja Mahadipa, pria yang namanya tertulis di setiap berita bisnis dan mimpi buruk masa lalunya. Senyumnya manis, matanya lembut, dan posturnya elegan—seperti sekretaris ideal yang baru diterima kemarin sore. Tapi di balik senyum itu, Nayara menyembunyikan sesuatu yang lebih tajam dari kata-kata manis dan lebih panas dari kopi pagi. Dendam. Ia datang bukan untuk mengabdi. Ia datang untuk menghancurkan. Dan targetnya sedang duduk tak jauh dari balik pintu kayu gading itu, pria yang tak pernah ia temui, tapi telah menghancurkan segalanya. Adiraja Mahadipa. Pewaris imperium Mahadipa. Monster dalam balutan jas Armani. Nayara menarik napas panjang, menekan bayangan masa lalu yang terus berbisik dalam kepalanya. Hari ini adalah awal dari akhir. Dan tak ada yang tahu bahwa sang sekretaris baru adalah malaikat maut yang menyamar. Ruang kerja Adiraja Mahadipa tidak seperti yang Nayara bayangkan. Tidak ada lukisan mahal, tidak ada koleksi cerutu atau brankas penuh rahasia. Hanya ruang modern minimalis berwarna abu gelap, dengan jendela tinggi yang menghadap kota, dan meja hitam elegan tempat duduk sang penguasa. Dan di balik meja itu, pria yang selama ini hanya ia kenal lewat berita dan kebencian, duduk menatap layar laptopnya. Adiraja Mahadipa. Ia lebih muda dari yang Nayara kira. Lebih dingin juga. Tatapan matanya tajam, seolah mampu menembus dinding kebohongan—atau menyimpan ribuan di antaranya. Tidak ada senyum basa-basi saat ia mendongak dan menatapnya. "Nama kamu Nayara, kan?" Suaranya berat, tenang, dan tanpa intonasi hangat. Nayara mengangguk. "Ya, Pak. Nayara Chandrakanti. Mulai hari ini saya sekretaris pribadi Anda." Adiraja hanya mengangguk tipis, lalu kembali menatap layarnya. “Bacalah kontrak NDA yang sudah dikirim ke emailmu. Tanda tangani sebelum pukul dua siang. Jika kamu melewati batas waktu, anggap dirimu tidak pernah bekerja di sini.” Nada suaranya bukan peringatan, melainkan kepastian. Seolah semua orang bisa digantikan dalam sekejap. Termasuk dia. Termasuk Nayara. Dan termasuk ayahnya—yang hancur karena sistem seperti ini. Nayara menelan amarah yang menggelegak di tenggorokannya. Ia mengangguk sopan, mundur beberapa langkah, dan berpura-pura mencatat sesuatu di tablet. Dalam kepalanya, satu kalimat bergema: "Aku akan menghancurkanmu dari tempat yang paling dekat. Dari balik punggungmu sendiri." Ia akan membuat Adiraja Mahadipa jatuh. Bukan dengan senjata, tapi dengan kebenaran. Dan hari itu akan datang lebih cepat dari yang siapa pun duga. “Kenapa masih berdiri di situ?” Suara Adiraja terdengar malas dan dingin, nyaris seperti dengusan. Ia tak menoleh, hanya membalik satu halaman dokumen di depannya dengan gerakan tak acuh. Nayara sedikit kaget. “Maaf, Pak?” Adiraja akhirnya mengangkat wajahnya. Tatapannya menusuk tajam, penuh superioritas yang tak perlu dijelaskan. Alisnya terangkat tipis, seolah mempertanyakan keberadaan Nayara di dunia ini. “Saya perlu sekretaris, bukan bayangan. Kalau kamu butuh diarahkan setiap detik, maka kamu bukan orang yang saya cari.” Nada suaranya bukan marah—hanya dingin, tajam, dan penuh penilaian. Seolah Nayara hanyalah salah satu dari ribuan orang yang akan disingkirkannya jika tak cukup cepat mengikuti ritme. Nayara tertegun. Mulutnya sempat terbuka, tapi cepat-cepat ia rapatkan kembali. “Maaf, Pak. Saya permisi,” ucapnya singkat, lalu membungkuk sedikit sebelum berbalik. Sepatu hak rendahnya menginjak lantai marmer dengan langkah tenang saat ia keluar dari ruangan itu. Tapi di dalam dadanya, jantungnya berdebar hebat. Bukan karena takut—melainkan karena emosi yang terus bergolak, menampar harga dirinya. Ia tiba di meja kerjanya yang berada tepat di luar ruang utama. Meja sederhana itu masih kosong, belum ada identitas, belum ada label nama. Tapi di situlah Nayara akan duduk—dan dari situlah, ia akan mengamati. Mencatat. Menyusun. Meruntuhkan. Dengan gerakan pelan, Nayara menyalakan komputer, membuka email, dan menemukan kontrak kerja serta NDA seperti yang dikatakan Adiraja. Ia menarik napas panjang. “Baik, Tuan Mahadipa. Permainan dimulai.” --- Beberapa menit setelah duduk, Nayara menyelesaikan pembukaan akun internalnya. Login ke sistem perusahaan memerlukan sidik jari dan autentikasi dua langkah—tanda bahwa Mahadipa Corp tidak mempercayai siapa pun, bahkan pegawainya sendiri. Ia membuka folder umum yang tersedia bagi staf. Kebanyakan berisi jadwal rapat, protokol standar, dan pengumuman internal yang tidak penting. Tapi ada satu direktori yang menarik perhatiannya: “Arsip Legal – Internal Use Only.” Folder itu terkunci. Nayara mengernyit. “Tak semudah itu, ya,” gumamnya, senyum tipis mengembang di bibirnya. Ia membuka tab tambahan di layar, menjalankan program kecil yang diam-diam ia tanam dari tablet pribadinya. Akses langsung memang tidak mungkin, tapi Nayara sudah punya rencana—pelan-pelan, dari metadata dan log sistem, ia bisa menelusuri siapa saja yang mengakses file itu dalam enam bulan terakhir. Dan dari daftar itu, satu nama muncul paling sering: “R. Mahadipa.” Rakendra. “Sudah kuduga,” bisiknya pelan. Ia menyimpan hasil log itu ke folder terenkripsi miliknya. Matanya tak lepas dari layar, jemarinya bergerak cepat, lincah, dan presisi. Di balik seragam kerjanya yang sopan dan wajahnya yang tenang, Nayara sedang meretas masa lalu—mencari celah, mengendus jejak, menyusun puzzle yang akan menuntunnya pada kebenaran. Lalu, suara berat dan tajam terdengar dari interkom di mejanya. “Bawakan saya laporan ekspansi regional sekarang.” Suara Adiraja. Tidak ada salam. Tidak ada tolong. Hanya perintah. Nayara tidak menjawab. Ia berdiri, mengambil map yang tadi ia siapkan sejak pagi. Satu langkah kecil mendekati pria itu. Satu langkah lebih dekat menuju kehancurannya. Dan begitulah pertemuan dalam gelap ini dimulai—di balik meja kerja dan interkom dingin, dua sosok yang tampak biasa. Tapi hanya satu dari mereka yang sadar bahwa pertempuran ini bukan soal dokumen atau jabatan. Ini tentang kebenaran. Tentang dendam. Dan tentang siapa yang akan berdiri terakhir saat semuanya runtuh. Dengan langkah mantap, Nayara menggenggam map berisi laporan ekspansi regional dan berjalan menuju ruang kerja Adiraja. Ia mengetuk pintu pelan, lalu membukanya tanpa menunggu jawaban—seperti yang dilakukan karyawan yang tahu bahwa mereka tak benar-benar dianggap penting. Adiraja tidak menoleh. Ia tengah berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota, punggung tegap dan tangan di saku celana. Sosoknya bak raja di atas menara, memandang dunia yang ia kendalikan. “Laporannya,” ucap Nayara, datar. Ia meletakkan map itu di atas meja kaca dengan pelan, tapi cukup jelas untuk menimbulkan suara thuk yang halus. Tak ada nada hormat, tak juga kerendahan hati. Hanya profesionalisme yang terlalu sempurna hingga terdengar dingin. Adiraja menoleh perlahan. Sorot matanya turun ke map, lalu kembali menatap Nayara. Kali ini tatapannya mengamati lebih lama—seakan mencoba membaca isi pikirannya. “Cepat juga,” komentarnya singkat. Nayara mengangkat satu alis. “Kalau lambat, saya tidak akan duduk di sini, Pak.” Itu bukan pembelaan, bukan pula tantangan. Hanya pernyataan yang dilemparkan dengan keanggunan menusuk. Dan untuk pertama kalinya, bibir Adiraja terangkat sedikit—bukan senyum ramah, tapi senyum tipis milik predator yang menemukan mainan menarik. “Hati-hati, Ny. Karyawan baru biasanya butuh waktu untuk mengenal medan. Jangan sampai kepercayaan yang cepat berubah jadi beban.” Nayara membalas dengan pandangan tak gentar. “Saya terbiasa bekerja dalam tekanan, Tuan Mahadipa. Bahkan lebih baik ketika di bawahnya.” Diam sesaat. Ketegangan nyaris tak terlihat, tapi menggantung di udara. Akhirnya Adiraja kembali duduk, membuka map, dan mulai membaca. Ia tak berkata apa-apa lagi. Nayara membungkuk singkat. “Kalau tak ada lagi, saya kembali ke meja saya.” Dan tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan keluar. Pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi klik lembut. Tapi di dalam dadanya, jantung Nayara berdebar cepat. Pertemuan pertama mereka selesai. Gertakan awal telah ditebar. Dan Nayara tahu satu hal dengan pasti: Adiraja Mahadipa adalah pria berbahaya—tapi tidak seberbahaya dirinya ketika marah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN