2

1204 Kata
Hujan deras mengguyur kota malam itu, seolah langit ikut menangis atas berita yang mengguncang hidup Nayara. Ia berdiri kaku di depan ruang tunggu Lapas Kertajaya, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, tapi karena ketakutan yang tak bisa dijelaskan. Di tangannya, surat pemberitahuan resmi dari pihak kepolisian masih tergenggam erat, basah karena air hujan dan air mata. “Ayah ditemukan gantung diri di dalam sel.” Kata-kata itu bergema dalam pikirannya, terus berulang seperti mantera kutuk yang tak bisa dihapus. Seorang sipir berseragam mendekat, raut wajahnya datar, suaranya bahkan terdengar jenuh saat berkata: “Silakan ke ruang administrasi untuk proses pemulangan jenazah.” Nayara tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong, dunia di sekelilingnya seakan kabur. Semua orang yang dulu menghormati ayahnya sebagai pengusaha jujur, kini hanya melihatnya sebagai koruptor yang gagal melarikan diri dari aib. Padahal Nayara tahu—ayahnya dijebak. Ia menyaksikan bagaimana satu per satu proyek mereka disabotase, bagaimana dokumen palsu tiba-tiba muncul, dan bagaimana semua saksi menghilang setelah satu nama muncul: Rakendra Mahadipa. Tapi tak ada yang berani menyentuh keluarga Mahadipa. Tak ada yang mau percaya seorang konglomerat bisa bermain kotor di balik layar. Tiga bulan setelah pemakaman ayahnya, ibunya jatuh sakit. Depresi berat, enggan makan, dan menolak berbicara. Seperti bunga yang layu perlahan, ibunya menghilang dari dunia ini dalam sunyi—tanpa suara, tanpa perlawanan. Saat itu, Nayara hanya gadis berusia sembilan belas tahun. Tidak punya siapa-siapa. Tidak punya kekuatan. Tidak punya pilihan. Tapi malam itu, ia membuat sumpah dalam diam. “Aku akan membalaskan semuanya. Satu demi satu. Dengan cara yang tidak akan mereka duga.” --- Langit sore mengambang abu-abu saat Nayara menatap keluar dari balkon apartemen lantai dua puluh milik Virendra Satya. Suara kota sayup di kejauhan, namun pikirannya masih terikat pada luka lima tahun lalu yang belum benar-benar sembuh. "Apa kau yakin ingin menjalani ini, Nay?" Suara berat namun lembut Viren membuyarkan lamunannya. Nayara menoleh. Pria itu berdiri di ambang pintu balkon, mengenakan kaus hitam dan celana santai, seolah tak cocok dengan statusnya sebagai salah satu investor muda yang sedang naik daun. Tapi justru di balik sikap santainya itulah, tersimpan jaringan luas dan pengaruh yang mampu membuka pintu-pintu besi yang sebelumnya tak bisa digoyahkan. "Aku tidak sekadar ingin menjalaninya," jawab Nayara pelan. "Aku harus." Viren mengangguk, masuk ke dapur kecil dan menuangkan kopi untuk keduanya. Mereka sudah melewati banyak hal bersama—Viren yang kehilangan kakaknya karena penggelapan saham yang diduga juga melibatkan pihak Mahadipa, dan Nayara yang kehilangan segalanya. "Adiraja Mahadipa," gumam Nayara sambil duduk kembali di sofa. "Adik Rakendra, bukan? Yang sekarang memegang kendali sektor investasi dan ekspansi luar negeri." "Ya. Dia jarang muncul di media, lebih senang bersembunyi di balik layar. Tapi orang-orang dalam bilang dia cukup... berbahaya. Fokus. Tak kenal kompromi. Dan dia gak mudah didekati." "Bagus," bisik Nayara, matanya menyala. "Karena aku tidak akan mendekat dengan cara biasa." Viren menyodorkan tablet berisi dokumen internal dari grup Mahadipa. "Aku punya satu jalur. HRD mereka sedang mencari sekretaris pribadi untuk Adiraja. Posisi ini kosong karena tiga orang sebelumnya mengundurkan diri dalam enam bulan terakhir." Nayara mengangkat alis. "Karena tidak tahan dengan sikapnya?" "Mungkin. Atau mungkin karena mereka tahu terlalu banyak." Viren menyandarkan tubuh. "Tapi kau berbeda. Kau tidak sekadar ingin tahu. Kau ingin menghancurkan." Nayara mengangguk pelan. "Dan aku akan mulai dari situ." --- Beberapa bulan kemudian Gedung Mahadipa Corp berdiri angkuh di tengah kota, simbol kekuasaan yang selama ini tak tersentuh. Nayara berdiri di dalam lift kaca yang naik perlahan menuju lantai eksekutif. Pakaian rapi, rambut tertata, wajah netral. Tidak ada yang tahu siapa dirinya sebenarnya. Ketika pintu lift terbuka dan ia melangkah masuk ke dunia Adiraja Mahadipa—sang raja dingin yang semua orang takuti—Nayara hanya punya satu keyakinan dalam d**a: Ia sudah tepat di jantung musuh. Dan dari sinilah semuanya akan dimulai. Suara ketukan pintu menginterupsi keheningan. Nayara melirik jam tangannya—pukul 10.00 tepat. Agenda pagi pertama Adiraja adalah rapat dengan dewan direksi. Ia mengambil map berisi dokumen yang sudah ia siapkan semalam, lalu melangkah masuk ke ruangan pria itu. "Ini dokumen untuk meeting, Pak," ucap Nayara pelan, meletakkannya di atas meja. Adiraja tidak segera menoleh. Ia terus mengetik di laptop, seolah kehadiran Nayara hanyalah angin yang lewat. “Kopi saya mana?” tanyanya datar, tanpa mengangkat wajah. Nayara terdiam sejenak. Tidak ada permintaan kopi sebelumnya. Tapi ia tahu, Adiraja tidak peduli. Ia tidak memberi perintah. Ia mengharapkan semua sudah siap sebelum ia meminta. “Maaf, akan saya buatkan sekarang.” Adiraja mendongak perlahan. Tatapan matanya seperti es, menusuk dan menilai. "Maaf?" katanya pelan. "Saya tidak butuh maaf. Saya butuh kopi panas. Bukan penjelasan." Kalimatnya menghantam seperti cambuk. Nayara menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang ingin meluap. Bukan karena kopi. Tapi karena lelaki ini—cara dia bicara, cara dia menatap seolah semua orang di dunia lebih rendah dari lantai yang dipijaknya. Adiraja Mahadipa bukan sekadar pria arogan. Ia adalah simbol kesombongan yang diberi kuasa. Namun yang tidak ia tahu, wanita yang berdiri di hadapannya bukan gadis lemah yang akan gemetar di bawah tekanan. “Baik, Pak. Kopi panas, hitam, tanpa gula,” jawab Nayara dengan senyum sopan. "Pastikan suhunya tidak di bawah 60 derajat. Saya tidak minum air rendaman arang," timpal Adiraja dingin, lalu kembali mengetik tanpa memberi kesempatan bicara lebih lanjut. Dalam hati Nayara menggumam, "Satu hari nanti, kamu akan duduk di kursi yang berbeda. Dan aku akan berdiri seperti ini—tapi bukan untuk melayani. Untuk menyaksikan kejatuhanmu." --- Bau kopi hitam pekat memenuhi udara ketika Nayara membuka pintu kantor eksekutif dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menggenggam cangkir porselen putih yang masih mengepulkan uap. Langkahnya tenang, terukur, dan penuh kendali. Tak ada getar gugup atau gentar dalam geraknya. Hanya kesadaran bahwa setiap detik di ruangan ini adalah langkah di medan perang. Ia mendekat ke meja besar di ujung ruangan. Adiraja masih tenggelam dalam layar laptopnya, jemarinya bergerak cepat di atas keyboard, seolah dunia akan runtuh jika ia berhenti sejenak. “Ini kopinya, Pak. Hitam, tanpa gula, suhu enam puluh dua derajat,” ujar Nayara, meletakkannya dengan hati-hati di sisi kanan meja, tanpa menggeser barang apa pun yang telah ditata. Adiraja berhenti mengetik. Ia menoleh perlahan, matanya jatuh ke cangkir itu, lalu naik ke wajah Nayara—tatapan penuh evaluasi yang tajam dan sinis. “Tidak terlalu panas,” komentarnya dingin setelah satu tegukan. “Tapi bisa diterima.” Nayara mengangguk sopan. “Akan saya pastikan lebih baik besok, Pak.” Tatapan Adiraja menyipit. Ia mencondongkan tubuh, lengan bertumpu pada meja, suaranya lebih rendah namun lebih menusuk. “Kamu cepat belajar, tapi jangan berharap itu akan membuatku lunak. Saya tidak merekrut sekretaris untuk disenangkan, saya rekrut untuk membuat hidup saya lebih efisien. Satu kesalahan saja, kamu keluar.” Nayara menahan senyum tipis. “Saya tidak berniat membuat satu kesalahan pun.” Adiraja mendengus kecil, entah karena kesan percaya diri itu, atau justru ingin menguji sejauh mana Nayara bisa bertahan di bawah tekanannya. Lalu ia kembali pada laptopnya, mengabaikan Nayara begitu saja. Wanita itu menarik napas pelan, membalikkan badan, dan berjalan keluar dengan punggung tegak. Tak satu pun kata yang ia bawa pergi—hanya tekad yang semakin menguat. Satu cangkir kopi hari ini. Besok mungkin berkas. Lusa mungkin strategi. Dan suatu hari nanti—akan ada meja ini yang kosong dan nama Mahadipa yang tercoret. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN