Pukul satu dini hari. Langit Surabaya tak berbintang malam itu. Angin hanya lewat sebentar, meninggalkan rasa gerah yang tertahan di udara. Lampu-lampu gantung di foyer mansion keluarga Satya Wijaya masih menyala terang, seperti menanti seseorang yang belum pulang. Dan akhirnya, langkah kaki Viren menggema di sepanjang lorong marmer. Jasnya terbuka, dasi terlepas, dan kemeja putihnya kini kusut, meninggalkan aroma alkohol samar yang bercampur parfum mahal. Begitu ia menapakkan kaki di ruang utama, suara berat menggema dari arah tangga besar. “Dari mana kamu?” Nada dingin dan penuh tuntutan itu milik Wijaya, sang ayah. Tubuh tegapnya berdiri kokoh di atas anak tangga pertama. Tatapannya menajam. Viren mengangkat kepalanya perlahan. Pandangannya kosong, letih, tapi tetap menyimpan perla

