“Kamu tidak tuli, kan, Nayara?” Suara itu mengiris tenang, namun penuh tekanan. Adiraja masih duduk santai di kursi panjang pinggir kolam, tubuhnya setengah terbalut handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Matanya tak lepas menatap Nayara. Bukan tatapan biasa—tapi cara seorang pemilik menilai miliknya. Nayara terdiam sejenak, sebelum menjawab singkat. “Tidak.” Adiraja menaikkan alisnya. “Lalu kenapa masih berdiri? Atau…” Senyum itu muncul, tipis, nyaris tak kentara—tapi sarat makna. “…mungkin kau mau duduk di pangkuanku saja?” Nayara memejamkan mata satu detik, mencoba menahan geram. “Jangan aneh-aneh, ya, Pak.” Adiraja terkekeh rendah, suaranya dalam dan terdengar nyaris malas, tapi tetap tajam. “Kenapa? Bukankah kita sudah melakukan lebih dari sekadar aku memelukmu? Aku bahkan

