Rayya berjalan masuk ke dalam ruang meeting dengan diiringi tatapan tajam dari semua tim In-Time yang sudah lebih dulu hadir sejak tadi. Ia yang awalnya merasa biasa saja, jadi merasa jengah sendiri. Namun pantang bagi seorang Rayya untuk menunjukkan dirinya gentar. Ia tetap melenggang dengan gaya angkuh, kemudian duduk dengan tenang di kursi kosong sebelah Citra dan Dito.
"Selamat pagi! Karena semua sudah hadir, kita langsung mulai saja." Cakra langsung berbicara tepat ketika b****g Rayya mendarat di atas kursinya. "Seperti yang sudah kita bicarakan pada meeting bulan lalu, kita berencana untuk memperbarui konsep program In-Time. Kita akan menambahkan hal-hal baru agar program In-Time tidak monoton. Mengingat ...."
Rayya mengedarkan pandangnya ke sekeliling meja rapat, ia heran mendapati wajah-wajah tegang rekannya yang lain. Hingga akhirnya matanya menemukan sosok yang diduga menjadi penyebab ketegangan di dalam ruangan ini.
"Sekarang saya persilakan setiap orang mempresentasikan konsepnya secara bergiliran," ujar Cakra mengakhiri tugasnya membuka meeting selaku produser In-Time.
Rayya mencondongkan tubuhnya ke kanan, hingga posisinya menempel dengan Citra. "Mampus gue! Kenapa ada Pak Kai di sini?" desisnya ngeri.
"Mana gue tau." Citra menjawab sepelan mungkin. "Untung gue nggak telat dateng. Lo ngapain pake telat?"
"Lo 'kan tau gue paling males ikut rapat-rapat macem gini. Biasa juga gue selalu telat." Rayya memang selalu hadir paling akhir dalam setiap meeting yang diadakan.
"Asal lo tau, dari tadi si Cakra udah mau mulai. Tapi Pak Kai nyuruh tunggu sampe semua dateng. Nah, elo itu orang maha penting yang belum nongol juga waktu semua orang udah ready," sindir Citra.
Keduanya terus saja berbisik-bisik memperbincangkan entah apa, sama sekali tidak peduli dengan rekan mereka yang sedang mendapat giliran mempresentasikan konsep mereka di depan.
"Rayya ...," panggil Cakra.
"Ya?" Rayya mengangkat wajahnya seketika. Terkejut mendengar namanya dipanggil tiba-tiba.
"Giliran lo maju, tuh!" ujar Dito memberi tahu. Ia yakin kedua rekan wanitanya itu tidak mendengarkan apa-apa sejak tadi.
Rayya bangkit dan maju dengan percaya diri. Ia yakin semua orang akan kagum dengan presentasinya hari ini. Ia sangat yakin karena ia sudah mempelajari presentasi yang Jill persiapkan untuknya, karena ia sendiri terkejut dengan hasil kerja Jill.
Rayya memulai presentasinya dan benar saja, rekan-rekannya yang lain terkejut. Pasalnya mereka tahu semalas apa wanita satu ini.
"Sebentar!" Tiba-tiba Kai memutus presentasi Rayya di tengah jalan. "Konsep ini rancangan kamu sendiri?"
"Benar, Pak," jawab Rayya percaya diri. Ia yakin Kai tidak akan mempermasalahkan keterlambatannya tadi karena presentasinya yang brilian ini.
Kai mengangkat sebelah alisnya ketika mendengar jawaban Rayya yang penuh percaya diri itu. "Tidak ada yang membantu kamu mengerjakannya?"
"Tidak ada, Pak." Rayya kembali menjawab dengan lantang.
"Kenapa saya merasa tidak yakin ...." Kai menggantung ucapannya, sengaja menciptakan suasana tegang bagi semua orang. "Saya tanya satu kali lagi. Benar ini rancangan kamu?"
"Benar, Pak. Apa ada yang salah?" Rayya dengan wajah tenangnya menanggapi cecaran pertanyaan Kai.
"Saya rasa ini bukan gaya penulisan kamu." Kai mengetukkan jarinya di atas meja dengan tidak sabar. "Coba bawa draft-nya, saya mau lihat!"
Rayya tetap merasa yakin jika Kai tidak akan tahu kebenarannya. Ia membawa draft presentasinya dan menyerahkannya pada Kai.
Kai membaca halaman demi halaman, dan langsung dapat menemukan apa yang dicarinya.
Jika kita ingin menarik minat ....
Cara cerdas untuk meraih ....
Lewat program yang kita sajikan ....
Jauh sebelum masalah ini ....
Cepat namun efektif, itulah ....
Lagipula, untuk memberikan edukasi ....
Kai tersenyum puas setelah yakin siapa orang di balik presentasi Rayya ini. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling meja dengan tatapan tajam. "Adakah seseorang bernama Jillian Christabelle Law di tim ini?"
"..." Seketika semua hening. Mereka tidak menyangka jika Kai akan menaruh minat pada urusan anak magang.
Ketika semua diam dan saling menunggu yang lain memberikan jawaban, Kai tidak bisa bersabar lagi. "Kenapa tidak ada yang menjawab?" tanyanya tajam.
Masih tetap hening. Namun akhirnya Cakra yang membuka suara. "Ada, Pak. Jill adalah mahasiswi magang yang sedang bertugas di In-Time sejak bulan lalu."
Kai memandangi wajah-wajah di ruangan ini satu per satu. "Tapi kenapa saya tidak melihat ada wajah baru di ruangan ini?" sindirnya.
"Kami memang tidak pernah menyertakan anak magang dalam meeting penting seperti ini, Pak." Hanya Cakra yang berani memberikan jawaban.
"Biasanya memang seperti itu! Tapi kalau materi yang dia buat disertakan dalam meeting, sudah tentu dia harus dilibatkan." Kai menggebrak meja hingga membuat semua ketakutan. "Cari anak itu dan bawa ke sini!"
Beberapa orang terlihat berlarian keluar ruangan untuk melaksanakan perintah Kai. Selain untuk mencari Jill, mereka ingin sedikit meredakan ketegangan mereka akibat amukan Kai. Mereka butuh sedikit udara sebelum kembali ke dalam ruangan dan kembali menghadapi kemarahan Kai.
Butuh waktu cukup lama untuk menemukan Jill dan membawanya ke dalam ruang meeting, karena gadis itu sudah dalam perjalanan pulang ketika Tika menghubunginya. Jill sebenarnya tidak berniat pulang di waktu sesiang ini, namun Rayya yang memaksanya untuk pulang.
Jill mengetuk pintu dengan ketegangan penuh. Ia tidak tahu apa yang sedang menantinya di dalam sana. Begitu ia melangkah masuk, Jill segera merasakan aura menakutkan di dalam ruangan ini.
Belum juga ia menemukan kursi kosong untuk didudukinya, sebuah pertanyaan langsung ditujukan padanya.
"Jillian Christabelle Law, saya mau tahu apakah rancangan yang Rayya presentasikan adalah hasil pemikiran kamu?"
"..." Langkah Jill terhenti. Ia kaku ditanya seperti ini. Pertanyaannya begitu mengejutkan. Oknum yang bertanya lebih mengejutkan lagi.
"Jawab saja dengan jujur," desak Kai.
Jill mencoba menemukan Rayya. Berniat untuk bertanya pada mentornya itu lewat tatapan mata. Namun Rayya sama sekali tidak mau melihat ke arahnya.
"Kenapa Bapak bisa berpikir kalau itu rancangan saya?" Tidak ada pilihan lain selain membalikkan pertanyaan tersebut pada sang pemberi.
"Kamu tanya kenapa? Kamu sendiri yang mengatakan kalau dalam setiap ulasan yang kamu kerjakan, kamu selalu mencantumkan inisial nama kamu." Kai mendengus tajam. Ia mengambil kertas yang tadi sudah dipelajarinya, ditunjuknya bagian yang sudah ditandainya, dan ia membanting kertas itu dengan kencang. "Dan di sini, jelas-jelas tertulis! Bahkan tidak hanya muncul satu kali. J, C, L."
"..." Jill mati kutu. Ia tidak pernah tahu pembicaraannya malam-malam sebelumnya akan membawa petaka baginya.
"Sekarang kamu berdiri di sana, presentasikan maksud rancangan kamu!" perintah Kai.
"..." Seperti seorang terpidana, Jill berjalan kaku menuju tempat yang Kai tunjuk. Otaknya tidak bisa menemukan bagaimana caranya menyelamatkan diri dari tempat ini. Pada akhirnya ia menyerah dan mempresentasikan saja konsep yang dibuatnya itu.
"Sekarang kita bisa lihat, kalau orang yang memiliki ide yang mempresentasikan rancangannya sendiri, hasilnya sangat jauh berbeda." Kai tertawa dingin. "Apa saya salah?"
"..." Kembali hening.
Kai muak dengan keheningan ini. Ia muak dengan sikap pengecut yang ditunjukkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini.
"Saya peringatkan untuk kalian semua, jangan coba-coba mencuri ide orang lain, apalagi menyuruh orang lain membuat sesuatu lalu mengakuinya sebagai pekerjaan sendiri. Saya tidak bisa menoleransi hal semacam ini! Mengerti?"
***
"Jill, lo kenal Pak Kai?" Tika memulai interogasinya saat mereka sudah meninggalkan ruang meeting.
Meeting hari ini berjalan kacau karena kehadiran Kai, kecurangan Rayya, dan kepolosan Jill. Pada akhirnya tidak ada keputusan apa pun yang dapat diambil, selain menunda meeting ini dan menjadwalkannya untuk lain waktu.
"Nggak." Jill menggeleng kecil.
"Nggak usah boong, lo! Buktinya Pak Kai bisa tau kalo lo yang bikin konsepnya si Rayya," cecar Tika.
"Oh, jadi orang yang tadi itu namanya Pak Kai?" tanya Jill polos.
"Lo beneran nggak tau?" tanya Ratna heran.
"..." Jill menatap keduanya sambil menggeleng polos.
"Parah!" seru Ratna.
"Edan! Tapi puas banget gue liat muka si Rayya tadi!" Tika tertawa jahat.
"Mampus tuh anak! Bisa ketangkep basah langsung sama Pak Kai," sambar Ratna tidak kalah puasnya.
"Tapi saya malah takut Mbak Rayya bakal ngamuk ke saya abis ini."
"Ngapain lo pake takut?" tanya Tika.
"Kan katanya jangan cari masalah sama Mbak Rayya."
"Iya, emang! Tapi kalo urusan yang ini lain lagi. Backing lo Pak Kai langsung gitu lho! Kalo dia macem-macem sama lo, aduin aja langsung ke Pak Kai," ujar Tika memanasi.
"Emang Mbak Rayya takut sama Pak Kai?" tanya Jill heran.
"Lo nggak liat gimana mukanya tadi. Langsung ciut gitu, nggak berani angkat muka sama sekali. Padahal biasa tuh dagu jauh banget dari leher," ujar Ratna.
"Tapi Pak Kai itu siapa sih, Mbak?" Jill benar-benar sudah sangat penasaran.
"Ini anak bener-bener!" Tika menjitak kepala Jill. "Pak Kai itu Direktur Utama Forty Media. Anaknya Pak Hadi, Komisaris Forty Media."
"Ah, masa?"
"Lo nggak percaya?" tanya Ratna.
"Ngapain dirut suka ikutan jaga malam di sini?" Jill bertanya pada diri sendiri.
"Jaga malam? Ngaco, lo!" Kembali Tika menjitak kepalanya.
"Saya serius, Mbak. Saya tuh-" Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sosok yang tengah mereka bicarakan menghadang di depan mereka.
"Jillian?" panggil Kai.
"Eh?" Jill merasa kebingungan sekarang. Bagaimana ia harus bersikap pada pria ini?
"Kalian sudah selesai dengan Jillian?" tanya Kai pada Tika dan Ratna.
"Eh ..., mmm ..., udah, Pak," jawab Tika gugup.
"Kalau begitu, saya pinjam Jillian dulu. Bisa?"
"Boleh, Pak!" ujar Ratna cepat.
"Bisa, Pak!" ujar Tika bersamaan dengan Ratna.
"Jillian, ikut saya!" perintah Kai. Ia berjalan mendahului tanpa menunggu lagi. Dibawanya Jill ke ruang kerjanya. "Masuk, Jill."
Jill berjalan masuk dengan kikuk. Ia tidak siap menghadapi kemarahan Kai yang nyatanya adalah seorang direktur utama di tempat ini.
"Duduk," ujar Kai menunjuk sofa di dekat jendela. "Mau minum apa?"
Jill menggeleng cepat. "Tidak usah, Pak."
Kai menatap heran ke arah Jill yang duduk dengan kaku sementara wajahnya terlihat seperti ingin melarikan diri. Setelah mengambil dua botol jus dari dalam lemari pendingin, Kai berjalan ke arah Jill dan duduk tepat di seberangnya.
"Kenapa kamu tegang begitu?" tanyanya menahan rasa geli.
Jill tidak menjawab pertanyaan Kai, hanya memandangnya sekilas sebelum kembali memilih menatap permukaan meja.
"Kenapa kamu diam saja?" Kai mendorong botol jus ke dekat Jill. "Minum dulu, supaya ada suaranya."
"Eh?" Jill mengangkat wajahnya dan menatap Kai. Ia bisa melihat senyum geli di wajah pria itu.
"Biasanya kamu cerewet," goda Kai. Ia tidak tahan untuk tidak menganggu gadis di hadapannya ini. Jill terlihat sangat lucu ketika sedang tegang seperti ini. Sama lucunya ketika gadis ini sedang cerewet.
"..." Jill mulai sadar kalau pria ini tidak lagi marah seperti saat di ruang meeting tadi. Sikap pria ini sekarang sangat berbeda, Kai terlihat santai.
"Kamu terkejut?" tanya Kai lagi.
"..." Jill mengangguk singkat. Ketika ketegangannya mulai berkurang, perlahan rasa kesal mulai menguasai Jill.
"Terkejut kenapa? Terkejut karena tiba-tiba dipanggil untuk ikut meeting, atau terkejut karena tahu-tahu ada saya?"
"Dua-duanya, Pak," jawab Jill singkat.
"Maaf kalau kamu terkejut karena tiba-tiba diikutkan dalam meeting tanpa info terlebih dulu. Saya hanya mau memberi pelajaran pada mereka yang suka mengerjai kamu. Mereka dipercaya menjadi mentor, bukannya membimbing dengan baik, malah sesuka hati mengerjai anak magang. Parahnya, kamu diam saja dikerjai seperti itu."
"Saya tidak masalah, Pak," balas Jill datar.
"Kamu itu, jadi orang jangan terlalu polos. Itulah sebabnya kamu mudah dimanfaatkan oleh orang lain." Kai menasihati.
"Baik, Pak. Saya akan ingat kata-kata Bapak," ujar Jill dingin.
Kai yang sejak tadi terus mengamati gerak-gerik Jill, tidak tahan untuk tidak bertanya. "Kenapa sikap kamu jadi kaku begitu?"
"Habis saya harus bersikap seperti apa, Pak?" tanya Jill.
"Biasa saja. Seperti kemarin-kemarin. Cerewet, ceplas-ceplos, komunikatif."
"Saya tidak bisa, Pak," balas Jill cepat.
"Kenapa?"
"Karena ..., Bapak ...," ujarnya ragu-ragu.
"Saya kenapa?"
"Bapak itu ...."
"Ah!" Kai terkekeh. "Anak-anak itu pasti sudah memberitahu kamu tentang saya."
"Iya. Saya minta maaf untuk sikap saya yang kurang berkenan, Pak."
"Kenapa kamu jadi sungkan begini?"
"Kalau saya tahu Bapak siapa, saya tidak akan mungkin bicara sembarangan."
"Memangnya ada masalah dengan status saya?"
"Tidak ada, Pak. Saya yang salah. Saya juga minta maaf karena sudah mengganggu privasi dan kenyamanan Bapak. Saya berjanji tidak akan muncul-muncul lagi di Fantastic Room."
"Hei! Kamu ini kenapa?"
"Saya tidak kenapa-napa, Pak."
Kai mengamati mata Jill. "Tapi kamu terlihat sedang marah. Kamu marah pada saya?"
"Saya? Mana berani saya marah pada, Bapak?" Padahal dalam hatinya dia memang jengkel.
"Jadi kamu tidak marah?" pancing Kai.
"..." Jill menggeleng.
"Kamu bohong! Wajah kamu jelas-jelas terlihat kesal."
"..." Jill kembali menggeleng.
"Kamu marah, 'kan?" cecar Kai.
"..." Setengah mati Jill menahan mulutnya agar tidak mencetuskan jawaban yang sejak tadi sudah siap meluncur.
"Ayo, akui saja!" desak Kai.
"Iya, saya marah!" Akhirnya meletus juga jawaban itu.
Kai sama sekali tidak marah mendengar jawaban Jill, ia malah tersenyum geli. "Kenapa?"
Jill memicingkan matanya. "Bapak yakin mau dengar?"
"Iya. Bilang saja."
"Saya merasa dibodohi, Pak."
"Dibodohi bagaimana?"
"Bapak tidak memberitahu saya tentang identitas Bapak."
"Kamu tidak tanya," balas Kai santai.
"Tapi saya tanya Bapak kerja di bagian apa. Bapak malah menjawab kalau ...." Jill mencoba mengingat jawaban apa yang waktu itu pria ini berikan?
Kai terkekeh seketika. "Saya tidak menjawab apa-apa, Jillian. Kamu yang membuat kesimpulanmu sendiri."
"..." Jill menghela napas kesal. Lagi-lagi ia kalah bicara.
"Baiklah, saya minta maaf. Sekarang saya akan memperkenalkan diri dengan benar." Kai memilih mengalah. "Nama saya Kaindra Denali Kertasasmita. Jabatan saya di sini adalah Direktur Utama Forty Media. Saya anak pertama Hadi Kertasasmita, Komisaris Forty Media. Usia saya 34 tahun. Apakah itu cukup?"
"Saya tidak minta Bapak memperkenalkan diri. Itu hak Bapak sebagai pemilik tempat ini untuk menjaga privasi Bapak. Bahkan kalau Bapak berminat memutuskan kontrak magang saya, saya juga terima." Jill menjawab dingin.
"Kamu ini aneh sekali! Saya tidak ada maksud jahat sama kamu, tapi kamu malah berpikiran buruk tentang saya."
"Maksud Bapak?"
"Siapa juga yang mau mengakhiri magang kamu di sini? Saya lihat sendiri bagaimana kamu bekerja keras dan hasil pekerjaan kamu memang baik. Ide-ide kamu juga sangat bagus. Sayang sekali melepaskan orang seperti kamu."
"..." Jill memandangi Kai dengan curiga.
"Saya bahkan sedang mempertimbangkan untuk menjadikan kamu karyawan di sini."
"Bapak tidak sedang mengerjai saya lagi?" tanya Jill penuh curiga.
Keningnya langsung berkerut. "Memangnya kapan saya mengerjai kamu?"
"Setiap kali ...." Sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Jill segera sadar. "Maaf, maksud saya tidak pernah."
Kai menghela napas. "Jill, dengar. Ini adalah salah satu alasan saya tidak mau kamu cepat-cepat tahu siapa saya. Selain karena saya takut kamu akan terlepas bicara tentang apa yang kamu lihat malam itu, saya juga merasa senang bisa memiliki teman bicara seperti kamu. Kamu yang tidak tahu siapa saya, bisa bersikap apa adanya. Tidak seperti orang lain yang bersikap hormat di depan saya tapi entah di belakang."
"..." Jill mencoba mencari kebohongan di wajah Kai, namun sepertinya pria ini sedang berbicara jujur.
"Jadi saya mau minta tolong sama kamu, tolong bersikap biasa seperti sebelum kamu tahu siapa saya."
"Mana bisa, Pak." Tanpa sadar Jill mendengus.
"Kenapa?"
"Saya jelas-jelas sudah tahu siapa Bapak, dan saya takut ditendang dari sini. Lagipula, saya takut digosipi yang tidak-tidak."
"Digosipi bagaimana?"
"Tadi saja saya dikira bisa ikut meeting karena kenal sama Bapak."
Kai tersenyum miris. "Begitulah di sini. Segala sesuatu yang berkaitan dengan saya, terasa menarik untuk dijadikan bahan pergunjingan. Jadi sekarang kamu tahu alasan kenapa saya begitu takut waktu kamu mendengar seluruh percakapan saya malam itu?"
"..." Jill berusaha mencernanya dan menyadari jika ketakutan Kai memang beralasan.
"Saya takut kamu seperti mereka yang suka menebar cerita."
"Bapak tenang aja. Saya cuka cari berita, tapi saya nggak suka gosip," balas Jill ketus. Belum hilang kesalnya karena merasa dibodohi dan dikerjai, kini ia malah dikira tukang gosip.
Kai tertawa kencang. "Good! Karena sekarang kamu sudah kembali ke sikap kamu yang biasa, saya simpulkan kalau kamu sudah memaafkan saya. Benar begitu?"
"Saya udah bilang, mana berani saya marah sama Bapak."
"Ya, ya. Saya percaya," ujar Kai sambil terus tertawa.
"Pak, kalau nggak ada lagi yang mau dibicarakan, saya permisi."
"Silakan." Sikap Kai kembali serius. "Tapi jangan lupa, pikirkan tawaran saya tadi. Menurut saya, itu akan menguntungkan kamu. Daripada kamu hanya magang di sini. Kerja tanpa digaji, tapi lelahnya lebih dari mereka yang menerima gaji. Lebih baik kamu sekalian saja jadi karyawan di sini."
"Memangnya saya bisa diterima? Saya ini belum lulus, Pak." Jill tidak mau melambung tinggi hanya untuk dibanting kembali ke atas comberan.
"Kinerja kamu sudah cukup terbukti."
"Kalau gitu, terima kasih tawarannya, Pak. Saya akan pikirkan baik-baik."
"Satu lagi." Kai kembali bicara sebelum Jill berlalu.
"Ya?"
"Hati-hati dengan Rayya. Dia orang yang rewel dan sulit dihadapi. Kalau kamu menemui kesulitan dalam menghadapi dia, jangan ragu untuk cerita sama saya."
***
--- to be continue ---