"Bapak?" Jill melongo melihat Kai berdiri di depan pintu kamarnya. Jill sudah merasa janggal ketika ada yang membunyikan bel kamarnya tadi. Meski Jill sudah dua bulan pindah ke sini, tidak ada orang lain yang bertandang ke kamarnya selain Dav. Tapi Dav tidak pernah datang sepagi ini.
Kai berdiri canggung di depan pintu dengan kedua tangan berada di belakang. Posisinya terlihat aneh. "Sorry mengganggu kamu sepagi ini."
"Ada apa, Pak?" tanya Jill sambil menutup mulut untuk menahan kuapnya. Jangan salahkan dirinya yang masih mengantuk, nyawanya saja belum terkumpul dengan utuh.
"Kamu baru bangun?" Kai menahan tawanya.
Jill mengangguk kecil.
"Anak gadis bangunnya siang begini? Tidak takut rejekinya dipatuk ayam?" goda Kai.
"Saya nggak takut rejeki saya dipatuk ayam, Pak. Saya 'kan kerjanya memang malam. Saya lebih takut rejeki saya disambar kelelawar daripada dipatuk ayam," balas Jill tenang.
"Baiklah. Terserah kamu saja." Kai memilih mengalah saat ini.
"Jadi kenapa Bapak ke tempat saya pagi-pagi begini?" tanya Jill penasaran.
"Jou mencari kamu," balas Kai singkat.
"Jou?"
"Iya. Jou minta ikut ke kantor lagi, dan dia langsung menyeret saya ke Fantastic Room, tepatnya ke mobil itu." Kai menghela napas sebelum melanjutkan penjelasannya. Kalau bukan karena putra kesayangannya, ia tidak akan berada dalam posisi canggung seperti ini. "Sampai di mobil itu Jou menangis. Akhirnya setelah saya tanya-tanya, baru saya tahu kalau Jou mencari kamu. Sepertinya dia berpikir kamu ada di mobil itu."
Wajah Jill langsung tersenyum teringat bocah lelaki yang manis itu. "Terus Jou di mana, Pak?"
Kai menarik tangannya yang sedari tadi berada di belakang punggungnya, dan seketika menyembullah wajah mungil Jourell dari balik kaki ayahnya.
"Hai, Jou!" sambut Jill riang. "Mau ketemu Kakak, ya?"
"Kakak?" Kai menahan tawanya.
Jill yang hampir berjongkok mendekati Jourell jadi berhenti. "Kenapa, Pak?"
"Apa tidak salah panggilan untuk kamu itu?" tanya Kai geli.
"Memang seharusnya apa, Pak?" balas Jill datar.
Kai mengangkat bahunya. "Tante mungkin?"
"Ih! Saya 'kan masih muda, Pak," bantah Jill tidak terima.
"Tapi kalau Jou panggil kamu kakak, saya yang rasanya jadi tua sekali," sahut Kai tidak mau kalah.
"Kan memangnya Bapak itu udah ...." Jill menghentikan ucapannya sambil tersenyum mencurigakan.
"Apa?"
"Nggak jadi, Pak. Lebih baik nggak dilanjut. Jadi debat nggak jelas. Kasihan Jou." Jill memilih mengabaikan Kai dan melanjutkan niatnya menyapa Jourell. Ia berlutut di depan Jourell dan bertanya dengan nada ceria. "Jou mau apa? Mau Kakak temani main?"
"Kakak lagi. Tante," ralat Kai ngotot.
"Bapak!" Jill menengadah dan mendesis kesal, kemudian kembali menatap Jourell dengan senyum. "Jou, mau apa? Mau melipat kertas lagi?"
Jourell mengangguk malu-malu.
Jill tersenyum melihat wajah menggemaskan di hadapannya. "Mau menggambar juga?"
Jourell mengangguk dengan lebih bersemangat.
"Jill?" panggil Kai. Kali ini nadanya serius.
"Ya, Pak?"
"Kamu sibuk?" tanyanya serius.
Jill yang menyadari perubahan sikap Kai, memilih bersikap serius juga. "Nggak, Pak."
"Kamu kerja jam berapa?"
"Nanti siang, Pak. Sekitar jam 2. Kenapa, Pak?"
"Keberatan kalau main dulu dengan Jou?" pinta Kai hati-hati. Meski sungkan, Kai terpaksa meminta bantuan Jill. Ia belum menemukan pengasuh yang dapat dipercaya untuk mengasuh Jourell, dan menitipkan anaknya pada Diah juga rasanya akan buruk mengingat apa yang terjadi semalam.
Jill tersenyum tulus. "Nggak, kok, Pak. Tapi Bapak mau saya temani Jou di mana?"
"Terserah kamu. Di ruangan saya boleh. Jalan-jalan juga boleh."
Jill memilih menanyakan pendapat sang bocah mungil yang dalam semalam sudah mencuri hatinya. "Jou, mau ke ruangan Papi?"
Jourell balas menatap Jill dengan bingung, kemudian menengadah ke arah ayahnya.
"Dia tidak tahu papi, Jill. Yang Jou tahu itu Daddy." Kai memberitahu.
Jill mengangguk paham. "Jou mau ke ruangan Daddy?"
Jourell mengambil tangan Jill dan memegangnya erat, kemudian menarik Jill mendekat.
"Iya, Kakak juga ikut," ujar Jill lembut.
"Tante," ralat Kai lagi.
Jill mendesah kesal. "Oke, saya ganti. Jou kita ke ruangan Daddy, ya? Jill juga ikut temani Jou."
"Sekarang kamu mau Jou panggil nama kamu langsung?" sela Kai.
"Kan Bapak yang nggak suka kalau Jou panggil saya kakak. Tapi saya juga nggak terima dipanggil tante. Jadi panggil nama saya aja. Selesai!"
"Tapi saya tidak berniat mengajari anak saya untuk jadi kurang ajar, Jill." Kai mendengus kesal.
"Itu nggak kurang ajar, kok, Pak. Di luar negeri itu umum. Saya juga nggak keberatan."
"Capek saya ngomong sama kamu, Jill."
***
"Pak, Jou udah makan?" Jill baru teringat untuk bertanya ketika mereka bertiga sudah berada di ruangan Kai. Jill sendiri tengah duduk di lantai bersama dengan Jou, menemani bocah lucu itu melipat-lipat kertas beraneka warna, sementara Kai sedang sibuk di meja kerjanya.
"Belum," balas Kai singkat. Ia tengah memeriksa beberapa proposal yang berisi pengajuan program baru.
"Kok belum?"
"Tidak sempat. Bangun tidur Jou langsung minta ikut sama saya." Ia menjawab sambil matanya tetap fokus pada berkas di hadapannya.
"Saya ajak makan dulu boleh, Pak?"
Kai mengangkat kepalanya. "Di mana?"
"Di cafetaria mungkin." Jill tidak terpikir tempat lain selain cafetaria. Tidak mungkin jika ia mengajak Jourell ke kamar Dav, meski Jill tahu Dav tentunya bisa membuatkan sarapan lezat untuk mereka.
Kai tidak setuju dengan ide itu. Bisa jadi pertanyaan karyawan lain jika Jill makan bersama Jourell. Beda soal kalau Jill mengajak Jourell makan di luar Forty Media. "Delivery saja. Makan di sini, atau kalian bisa pergi ke mal."
"Di sini aja, deh, Pak."
Kai mengangguk setuju.
Kini Jill beralih pada Jourell. Diusapnya punggung bocah itu dengan lembut untuk menarik perhatiannya. "Jou mau makan apa?"
Jourell menatap Jill dengan bingung.
Jill menyadari pertanyaannya mungkin salah. Anak sekecil ini mungkin belum bisa memutuskan ingin memakan apa. "Pak, Jou sukanya makan apa?"
"Saya juga tidak tahu."
Jill mendesah. Lagi-lagi ia salah bertanya. Wajar juga kalau Kai tidak tahu apa-apa tentang Jourell, tinggal bersama saja baru tiga hari. Tapi Jill yang cerdas tidak akan kehabisan akal. Dengan cekatan ia mencari daftar tempat makan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Forty Media, mengumpulkan gambar-gambar menu makanan yang tersedia, kemudian menunjukkannya pada Jourell.
"Jou, coba lihat. Tunjuk yang Jou mau, ya?"
Jourell mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Jill dan menatap gambar-gambar makanan di ponsel Jill. Tangan kecilnya terangkat dan menunjuk gambar semangkuk mi.
"Jou mau mi?" Jill memastikan.
Jourell mengangguk yakin.
Kini ia harus mengonfirmasi pada sang ayah. "Pak, Jou boleh makan mi?"
"Boleh."
Setelah mendapat persetujuan, Jill mencari daftar menu lengkap dari kedai bakmi tersebut. Ia kembali menunjukkannya pada Jourell. "Jou mau mi yang manis atau asin?"
Tangan Jourell menunjuk semangkuk bakmi berwarna kecoklatan.
"Manis?"
Jourell mengangguk.
"Jill pesenin dulu, ya?" ujar Jill pada Jourell.
"Pesan dua lagi. Sekalian untuk kamu," ujar Kai tiba-tiba.
"Saya satu porsi cukup, Pak," balas Jill polos.
"Satu lagi untuk saya, Jill." Kai menggeleng gemas. Gadis ini selalu saja menjawab di luar perkiraan.
"Lho? Bapak juga belum makan?" Ia sama sekali tidak terpikir untuk memesankan makanan bagi Kai.
Kai mendengus malas. "Kamu pikir apa yang mau saya makan, Jill?"
"Mana saya tahu, Pak," jawab Jill bingung.
"Kalau saya sudah makan, tidak mungkin Jou tidak saya ajak makan juga. Kamu ini keterlaluan."
"Pak, masih pagi begini udah marah-marah aja. Nggak baik buat kesehatan, Pak."
"Cerewet kamu!" sembur Kai sebal. Kalau bukan karena Jourell yang tiba-tiba menempel pada Jill, ia tidak akan menghabiskan banyak waktu untuk berdebat tidak jelas dengan gadis ini.
Jill sama sekali tidak tersinggung dengan sikap ketus Kai. "Bapak mau yang asin apa manis?"
"Asin," balas Kai ketus.
"Pantas suka marah-marah, senangnya makanan asin ternyata. Coba suka yang manis, pasti manis kayak Jou," gumam Jill sambil terkekeh geli.
"Jill!" ancam Kai.
Jill menunduk dalam-dalam untuk menyembunyikan tawanya. Setelah berhasil meredam tawanya, ia kembali fokus pada Jourell. Jill memeriksa tas yang berisi barang bawaan Jourell untuk mencari kegiatan lain yang dapat mereka lakukan, karena bocah itu sudah mulai terlihat bosan melipat kertas.
Jill tersenyum senang ketika menemukan satu set pensil warna di dalam tas Jourell. "Jou, kita menggambar, yuk!"
Jourell menatap Jill dengan antusias, kemudian mengangguk setuju.
Jill mengeluarkan buku gambar dan pensil warna, kemudian meletakkannya di depan Jourell. Jourell langsung membuka pensil warnanya, mengambil dua buah pensil, menggenggam satu pensil dan memberikan yang satunya lagi pada Jill.
"Jill juga ikut menggambar?" tanya Jill.
Jourell tersenyum lebar.
"Oke!" sambut Jill ceria.
Keduanya tenggelam dalam keasikan bersama, membuat gambar di kertas mereka masing-masing. Diam-diam Jill mencuri lihat pekerjaan Jourell. Lagi-lagi ia terkagum dengan kemampuan bocah itu, bukan hanya pandai melipat kertas, ternyata Jourell juga sudah dapat menggambar. Rasanya sulit untuk percaya jika tidak melihatnya secara langsung.
Setelah cukup lama menggambar, Jourell menggeser kertasnya ke depan Jill.
"Wah, udah jadi!" seru Jill kagum.
Jourell tersenyum lebar.
Jill memperhatikan gambar yang Jourell buat. Meski tidak terlalu jelas, Jill bisa menerka bahwa Jourell menggambar orang di kertasnya. Ada lima orang dalam gambar itu. "Siapa aja yang ada di sini?"
Jou menepuk dadanya kemudian menunjuk gambar di tengah.
"Ini Jou?" tanya Jill.
Jourell mengangguk senang.
"Ini Daddy?" Jill menunjuk gambar orang di sebelah gambar Jourell yang sepertinya adalah laki-laki.
Jourell kembali mengangguk.
"Ini Mommy?" Jill menunjuk gambar orang di sisi Jourell yang lain.
Kali ini Jourell menggeleng.
"Bukan?" tanya Jill heran. Dikiranya sosok yang mengapit Jourell pastilah ayah dan ibunya. Tapi kemudian ia teringat pada percakapan Kai dengan Jourell saat melakukan video call dulu. "Mama?"
Kali ini Jourell mengangguk.
"Ini Papa?" Jill menunjuk gambar orang yang berdiri di sisi sosok 'mama'.
Jourell kembali mengangguk. Merasa senang karena Jill memahami gambarnya.
"Ini Mommy?" Jill mencoba menunjuk satu sosok terakhir yang belum tertebak. Sosok yang berdiri jauh dari keempat sosok yang lain.
Lagi-lagi Jourell mengangguk, namun kali ini wajahnya terlihat sedih.
***
"Terima kasih sudah mau direpotkan oleh Jou hari ini," ujar Kai saat Jill hendak berpamitan untuk siaran.
"Nggak masalah, Pak. Saya juga senang main sama Jou."
"Saya takut besok dia akan cari kamu lagi," ujar Kai apa adanya.
"Nggak apa-apa, Pak." Jill tersenyum menenangkan.
"Kalau setiap hari begini, lama-lama kamu juga akan merasa terganggu."
"Saya nggak terganggu, Pak. Tapi saya kasihan kalau Jou tiap hari main di sini. Apa nggak capek?" Jill melirik ke arah Jourell yang tengah tertidur lelap di sofa ruang kerja Kai.
"Itu juga yang saya pikirkan. Tapi untuk saat ini, tidak ada pilihan lain."
"Kenapa tidak di rumah Bapak aja?"
"Tidak ada yang jaga. Mamanya hanya mengantar Jou ke sini, lalu langsung pergi lagi."
Jill diam saja meski dalam hatinya kembali muncul pertanyaan mengenai bagaimana hubungan dalam keluarga bosnya ini yang sebenarnya? Kepalanya sudah sakit memikirkan kemungkinan yang terjadi sejak menemani Jourell menggambar tadi pagi. Ada Daddy, Mommy, Papa, Mama. Apakah Kai ini sudah bercerai, dan mantan istrinya yang disebut 'mama' sudah menikah lagi dengan orang yang Jourel sebut 'papa'? Lalu apakah Kai sudah memiliki kekasih yang akan disebut 'mommy', namun karena belum menikah maka sosok 'mommy' itu berdiri jauh sendirian?
"Mamanya Jou dan keluarganya pergi untuk berlibur di akhir tahun. Karena itu Jou dibawa ke saya," lanjut Kai.
Jill memilih tidak bertanya kenapa Jourell tidak dibawa oleh mamanya. Atau siapa keluarga mamanya. "Memangnya Jou di sini berapa lama, Pak?"
"Belum tahu. Mungkin sampai liburan mereka selesai."
"..." Jill mengangguk kecil.
"Saya juga tidak tahu kalau Jou akan dibawa ke sini. Mamanya baru mengabari saya beberapa jam sebelum pesawat mereka tiba di Indonesia. Karena itu saya tidak sempat mempersiapkan apa-apa. Apalagi mencari pengasuh untuk Jou." Entah mengapa Kai merasa perlu menjelaskan fakta ini pada Jill. Mungkin karena ia merasa sudah merepotkan Jill, atau memang karena ia ingin saja bercerita.
"Ya udah, sementara Bapak belum dapat pengasuh untuk Jou, biar saya yang temani Jou." Jill menawarkan diri. Meski sering beradu debat dengan Kai, Jill tidak tega melihat bosnya kesulitan. Apalagi hal ini menyangkut bocah mungil yang sudah mencuri hatinya.
"Kamu yakin?" Ada rasa sungkan sekaligus senang yang Kai rasakan. Bagaimana ia tidak senang? Ia sudah melihat sendiri bagaimana gadis ini memang bisa menjaga anaknya dengan sangat telaten dan sabar. Jourell sendiri begitu menyukai Jill. Ini melegakan untuknya.
***
--- to be continue ---