"Hai! Kamu siapa?" Jill terkejut ketika menemukan seorang anak kecil tengah meringkuk di kursi bagian belakang mobil klasik berwarna biru terang. Mobil klasik ini adalah salah satu properti yang ada di dalam Fantastic Room. Namun menurut desas-desus yang beredar, tidak pernah ada yang berani menyentuh mobil ini, karena ini merupakan benda kesayangan seorang Kaindra Denali Kertasasmita.
Selama setengah tahun menjadi bagian dari Forty Media, Jill tidak pernah sekali juga memiliki rasa penasaran untuk menjajal bagian dalam mobil ini. Tempat favorit Jill di Fantastic Room adalah eggshell. Tapi tadi, saat dirinya tengah duduk dengan tenang di tempat favoritnya, Jill mendengar suara-suara mencurigakan dari dalam mobil itu.
Jill mencoba membuka pintu mobil dan ternyata tidak terkunci. Ia melongok ke dalam dan memastikan tidak ada siapa-siapa selain seorang bocah lelaki yang tengah meringkuk di jok belakang. "Kok sendirian di sini? Mama sama papa kamu mana?"
Bocah lelaki itu duduk kemudian beringsut ke sudut. Terlihat waspada dan ketakutan.
"Kamu nyasar, ya? Ikut kakak, yuk!" Jill melangkah naik dan duduk di dalam mobil. Berusaha mendekati bocah lelaki yang terlihat meringkuk ketakutan itu. "Kita cari mama sama papa, mau?"
Bocah lelaki itu menggeleng keras.
"Nggak mau? Kenapa?" tanya Jill bingung. Apa yang harus dilakukannya pada bocah yang tersesat ini?
Bocah lelaki itu diam saja, hanya balas menatap Jill penuh awas.
Jill mencoba memberikan senyumnya yang paling manis, berharap bocah di hadapannya ini tidak lagi takut padanya. "Mau di sini aja?"
Bocah lelaki itu mengangguk kecil.
Seketika Jill berada dalam dilema. Ia terjepit antara rasa tanggung jawab untuk membantu anak ini menemukan orang tuanya, namun ia juga tidak ingin memaksa anak ini dan membuatnya ketakutan. Kalau mau, bisa saja Jill menggendong paksa anak ini dan membawanya pada satpam. Namun Jill tidak tega melihat mata kecil yang bersorot penuh ketakutan itu. Maka akhirnya ia memutuskan untuk menemani anak ini sampai ada yang mencarinya. "Kakak temani mau, ya?"
Bocah lelaki itu hanya menatapnya, tanpa mengangguk atau menggeleng. Namun perlahan sorot matanya tidak lagi terlihat ketakutan seperti awalnya.
"Tunggu sebentar, ya. Kakak ambil barang-barang dulu di situ." Jill meninggalkan bocah itu untuk mengambil laptop dan tasnya yang tadi ia letakkan di dalam eggshell. Jill melakukannya dengan tergesa karena takut bocah lelaki itu tiba-tiba menghilang. Jill lega ketika mendapati bocah itu masih duduk di posisinya seperti saat Jill tinggalkan.
Jill memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil, kemudian ikut duduk bersama bocah lelaki itu. Ia mulai mengatur barang-barangnya yang cukup banyak, meletakkan tumpukan kertas-kertas di sisi kanan, tas di sisi kiri, kemudian memangku laptopnya sambil mencari posisi duduk yang nyaman. Perasaannya mengatakan ia akan berada cukup lama di dalam mobil ini.
"Kamu lapar nggak?" tanya Jill sambil merogoh isi tasnya. Beruntung ia selalu menyimpan camilan di dalam tasnya, karena perutnya sering keroncongan di saat tidak terduga, dan kalau itu terjadi, otaknya akan berhenti bekerja. "Kakak punya coklat, kamu mau?"
Bocah lelaki itu diam saja, namun memandangi coklat di tangan Jill dengan penuh rasa ingin tahu. Jill menyorongkan tangan kanannya yang menggenggam coklat ke dekat bocah lelaki itu. "Kamu suka coklat nggak? Ini enak, lho!"
Bocah lelaki itu terlihat ragu. Namun matanya tidak lepas memandangi coklat yang sepertinya menggugah seleranya. Perlahan tangan kecilnya naik ke mulutnya, sambil bibir kecilnya mengerucut.
Jill tersenyum. Yakin kalau bocah ini ingin namun ragu. Entah karena takut menerima pemberian dari orang asing, atau ia dilarang memakan coklat. Perlahan Jill membuka kemasan coklat di tangannya. "Nih, coba lihat! Ini enak banget, lho!"
Bocah lelaki itu menggeleng kecil.
"Kenapa nggak mau?" tanya Jill heran. Padahal ia yakin bocah lelaki ini tertarik.
Bocah lelaki itu menunjuk coklat di tangan Jill, kemudian menunjuk ke arah Jill.
Jill berusaha memahami maksudnya.
Bocah lelaki itu perlahan mengambil tangan Jill, kemudian mendorongnya ke arah mulut Jill.
Jill tersenyum. Sepertinya ia paham maksud bocah itu.
"Buat Kakak?"
Bocah lelaki itu mengangguk, sambil jarinya terangkat satu.
"Cuma ada satu?" Jill kembali menerka.
Kembali bocah itu mengangguk.
Jill tersenyum manis. Meski masih kecil, namun bocah lelaki ini tidak egois. Ia mengerti arti berbagi. "Nggak apa-apa, buat kamu aja."
Jill membawa coklat itu ke depan mulut sang bocah, yang disambut senyum kecil malu-malu dari bibir mungilnya. Bocah lelaki itu menerima dengan gembira, mengulum sepotong coklat kecil di mulutnya, dan terlihat sangat menikmatinya.
"Enak, ya?" Entah mengapa, hanya melihat senyum kecil bocah itu saja membuat Jill merasa senang. "Suka?"
Bocah lelaki itu mengangguk, kali ini disertai senyum.
"Abisin coklatnya, abis itu minum, ya!" Jill meletakkan botol air mineral di dekat bocah itu.
Melihat bocah lelaki itu kini mulai nyaman bersamanya, tidak lagi ketakutan seperti sebelumnya, Jill sedikit lega. "Kakak temani kamu sambil kerja, ya?" Jill menunjuk laptop di pangkuannya.
Bocah lelaki itu mengangguk.
Jill kembali tenggelam dalam pekerjaannya, sampai ia menyadari pergerakan kecil di sebelahnya. Bocah lelaki itu beringsut mendekatinya, mengambil selembar kertas, kemudian mengacungkannya ke arah Jill.
"Kenapa? Kamu mau kertasnya?" tanya Jill.
Bocah lelaki itu mengangguk.
"Boleh. Pake aja," ujar Jill penuh senyum. Ketika ia hendak kembali mengetik, tangan kecil bocah itu mengguncangnya pelan. "Ya? Kenapa?"
Bocah lelaki itu mengamati barang-barang Jill, kemudian membuat gerakan seperti menulis di atas kertas.
"Kamu mau tulis-tulis?" tebak Jill.
Bocah itu mengangguk penuh semangat.
"Boleh." Jill merogoh tasnya dan mencari alat tulis. Ia mengeluarkan sebuah bolpoin dan mengulurkannya pada bocah itu. Bocah lelaki itu menerimanya sambil tersenyum manis, kemudian mulai sibuk dengan bolpoin dan kertasnya.
Jill jadi melupakan niatnya untuk bekerja. Ia lebih tertarik memperhatikan kesibukan bocah lelaki di sebelahnya ini. Jill takjub ketika melihat tangan kecil itu bergerak lincah melipat-lipat kertas, membolak-baliknya, kemudian terakhir mencoretkan sesuatu di atas kertasnya.
Bocah lelaki itu mengangkat wajahnya menatap Jill, menunjuk kertas lain kemudian mengangkat satu jari di depan dadanya.
Jill gemas melihatnya. "Mau satu lagi?"
Bocah itu mengangguk antusias.
"Boleh." Jill memberikan satu kertas lagi pada bocah lelaki itu.
Jill kembali memperhatikan apa yang dilakukannya. Bocah itu kembali melipat-lipat kertas, namun kali ini sedikit berbeda dari yang pertama. Setelah selesai mencoretkan sesuatu di atas kertasnya yang kedua, bocah itu mengambil kedua hasil lipatannya dan memberikannya pada Jill.
Jill mengambilnya, mengamatinya, dan kemudian menyadari bahwa bocah lelaki itu membuat origami binatang. "Ini kucing sama anjing?" tanyanya takjub.
Bocah lelaki itu tersenyum lebar sambil mengangguk.
"Kamu hebat!" puji Jill sungguh-sungguh. Ia tidak menyangka anak sekecil ini bisa membuat origami binatang, meski hasil lipatannya belum terlalu rapi, tapi ini luar biasa
***
"Di mana Jourell?" tanya Kai heran ketika mendapati sekretarisnya hanya duduk sendirian di meja kerja wanita itu.
"Maaf, Pak. Itu ..., mmm ..., tadi ...."
"Bicara yang jelas, Diah!" tegur Kai tidak sabar.
"Tadi, itu ..., saya tinggal ke kamar mandi sebentar. Waktu saya kembali ke ruangan Bapak, Jourell sudah tidak ada, Pak." Diah menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap mata bosnya ini.
"Kamu ini bagaimana?! Kenapa kamu bisa lalai begini?!" hardik Kai.
"Maaf, Pak." Wanita itu terus saja menunduk.
Kai menghela napas tidak sabar. Sejak dulu ia memang bukan orang yang sabar, tapi ia berusaha mengendalikannya. Namun kalau terjadi sesuatu yang buruk dengan orang yang sangat disayanginya, Kai benar-benar akan kehilangan semua kesabarannya yang memang hanya sedikit. "Jadi sudah berapa lama Jourell menghilang?"
Diah melirik jam tangannya dan menghitung dalam hati. "Kira-kira tiga jam, Pak."
"Kamu sudah cari?" tanyanya tajam.
"Sudah, Pak. Tapi belum ketemu." Wanita ini terlihat sudah ingin menangis.
"Kenapa kamu tidak langsung kabari saya waktu Jourell menghilang?" tanya Kai kesal.
"Tadinya saya pikir akan mudah menemukan Jourell, tapi ternyata sulit."
Kai kembali menghela napasnya. "Diah ..., kamu tahu kalau Jourell baru dua hari di sini. Dia sama sekali tidak familiar dengan tempat ini, dan dia tidak kenal siapa-siapa. Kamu juga tahu dia tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Kenapa kamu ceroboh begini?!"
"Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf." Pecahlah sudah tangis wanita malang ini. Mana ia tahu kalau menjaga anak bosnya ternyata akan sesulit ini. Mana ia tahu kalau Jourell berani menghilang meninggalkan ruangan ayahnya padahal ia meninggalkannya hanya sekitar lima menit.
Melihat sekretarinya ketakutan, timbul juga sedikit rasa iba dalam hatinya. Bukan salah wanita ini sepenuhnya. Ia yang teledor meninggalkan Jourell bersama orang lain. "Ya, sudah. Kamu pulang saja."
Diah terkejut. Entah bosnya benar-benar berubah baik atau ini hanya jebakan? "Jangan, Pak. Biar saya bantu cari Jourell sampai ketemu."
"Tidak usah. Biar saya cari sendiri. Ini sudah malam dan anak kamu juga pasti menunggu kamu di rumah."
Diah termangu. Ia baru tahu kalau si bos yang biasanya kejam dan bermulut pedas ini bisa juga memikirkan kehidupan orang lain.
"Cepat! Sebelum saya berubah pikiran!" sentak Kai tidak sabar. Ia tidak menunggu lebih lama lagi untuk melihat apakah Diah benar-benar langsung pulang setelah ia marahi, Kai langsung masuk ke ruangannya sendiri, sambil tidak lupa membanting pintunya hingga berdebam kencang. Dengan tergesa Kai mengutak-atik laptonya untuk memeriksa kamera keamanan di gedung ini yang bisa ia akses secara pribadi.
Ia mencoba memperkirakan waktu saat Jourell meninggalkan ruangannya. Kai merasa sedikit lega ketika menemukan rekaman yang menangkap pergerakan Jourell. Kai menelusuri kamera demi kamera, hingga tidak ada lagi kamera yang menangkap gambar bocah itu, karena memang tidak semua sudut terekam oleh kamera. Kamera terakhir yang menangkap pergerakan Jourell adalah kamera di sekitar lorong Fantastic Room.
Kai menyadari bahwa mungkin Jourell berada di sana mengingat area itu memang sangat nyaman. Jangankan bagi anak-anak, bagi orang dewasa saja tempat itu memang menyenangkan.
Kai langsung menuju Fantastic Room, mencari di setiap tempat, terus mencari hingga langkahnya terhenti di depan mobil klasik kesayangannya. Ia mengintip ke dalam dan melihat seorang bocah yang tengah berbaring di pangkuan seorang perempuan. Jourell terlihat sangat nyenyak.
"Ya, Tuhan! Ternyata kamu di sini," bisiknya lirih. Dari sekian banyak tempat di Fantastic Room, kenapa mobil ini yang Jourell pilih?
Kai membuka pintu mobil itu dengan hati-hati, takut mengejutkan kedua orang di dalam sana.
"Eh, Bapak?" Benar saja! Jill terkejut ketika pintu mobil tiba-tiba terbuka dari luar.
"Shh!" Kai mengangkat telunjuknya ke bibirnya.
"Kenapa dia bisa ada bersama kamu?" tanya Kai datar.
"Bapak kenal dengan anak ini?" Jill malah balas bertanya.
"Dia anak saya, Jill." Kai menghela napasnya. "Namanya Jourell."
Otak Jill berputar cepat. Anaknya? Jourell? Jangan-jangan anak inilah yang pernah ber-video call bersama bosnya! Jill memang tidak ikut melihat saat Kai berbicara dengan anaknya, hingga ia tidak tahu seperti apa wajahnya.
"Maaf, Pak. Saya nggak tahu kalau Jourell anak Bapak. Kalau saya tahu, pasti udah saya ajak cari Bapak dari tadi." Jill merasa tidak enak ketika menyadari kalau wajah Kai terlihat sangat cemas.
"Sudah berapa lamu kamu bersama Jou?"
"Sekitar dua jam, Pak."
"Di mana kamu menemukan dia?"
"Di sini, Pak."
"Sejak tadi dia di sini?"
"Iya, di dalam mobil ini." Jill mengangguk menyakinkan.
"Apa yang Jou lakukan?"
"Jou cuma duduk diam, Pak."
"Apa Jou menangis?"
"Nggak, Pak."
"Apa dia takut sama kamu?" Kai sangat khawatir karena selama ini Jou tidak pernah berinteraksi dengan orang asing. Saat tadi pagi Kai memperkenal Jourell pada Diah, anaknya menangis cukup lama hingga membuat Kai kelimpungan.
"Awalnya keliatan takut, Pak. Tapi lama-lama nggak lagi."
Ketika rasa khawatirnya perlahan mereda, rasa dongkolnya mulai muncul. Kai menarik kursi terdekat yang bisa dilihatnya dan membawanya ke sebelah mobil. "Kenapa kamu tidak melapor ke security kalau menemukan anak hilang?"
"Saya memang niatnya begitu, tapi nggak jadi karena Jou nggak mau ke mana-mana. Saya udah ajak cari papi-maminya, tapi Jou nggak mau. Saya nggak berani maksa, tapi saya juga nggak tega ninggalin Jou sendirian di sini buat lapor ke security. Jadi saya pikir, lebih baik saya tunggu di sini sampai ada yang datang mencari Jou."
Kai menghela napas. Dalam hati membenarkan pilihan Jill. Ia bersyukur gadis ini peduli pada anak kecil yang tidak dikenalnya, dan tidak memutuskan meninggalkannya sendirian. "Apa saja yang dia lakukan? Apa dia menyulitkan?"
"Sama sekali nggak, Pak. Jou baik banget. Jou cuma duduk di sebelah saya, buat-buat origami. Bagus banget, lho!" Jill membanggakan hasil karya bocah lelaki itu. "Tadi sempat makan coklat sama biskuit juga. Habis itu tidur."
"Jou bawa coklat dan biskuit?" tanya Kai heran.
"Nggak, Pak. Itu saya yang bawa."
"..." Kai memandangi Jill dengan tatapan janggal.
Dipandangi seperti itu membuat Jill merasa telah melakukan suatu kesalahan. Ia kemudian meringis sambil bertanya, "saya salah, ya, Pak? Maaf saya nggak tahu kalau Jou nggak boleh makan sembarangan. Tapi saya takut Jou kelaparan, jadi saya kasih."
Senyumnya mengembang. "Tidak. Kamu tidak salah. Saya cuma lega karena kamu yang menemukan Jou, kamu bersikap baik padanya, dan dia juga tidak takut dengan kamu."
"..." Kini giliran Jill yang terdiam dengan perasaan janggal.
"Kamu tahu? Saya cemas sekali. Jou baru sampai di Indonesia kemarin. Dia baru pernah datang ke Forty Media, dia tidak kenal siapa-siapa di sini, dan dia sulit beradaptasi dengan lingkungan juga orang baru."
"Kalau boleh tahu, sebelumnya Jou tinggal di mana, Pak?" tanya Jill hati-hati.
"Di Belanda."
"Apa Jou nggak bisa bahasa Indonesia, Pak? Dari tadi Jou nggak ngomong apa-apa sama saya."
Kai tersenyum sedih. "Dia bukan tidak bisa bahasa Indonesia, Jill. Tapi Jou memang belum pernah berbicara sampai saat ini. Baik dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa Belanda. Tapi dia mengerti ketika diajak bicara."
"..." Sekarang Jill paham. Bukan Jourell tidak mau berbicara dengannya, tapi bocah mungil itu memang tidak bisa melakukannya.
"Terima kasih sudah menjaganya. Saya akan bawa Jou pulang sekarang." Kai bangkit dari duduknya, berjalan memutari mobil dan membuka pintu dari sisi yang lain.
"Pelan-pelan, Pak. Takut Jou bangun," bisik Jill ketika melihat Kai hendak mengambil Jourell dari pangkuannya.
Kai baru hendak mendebat Jill ketika perkataan gadis itu terbukti benar. Kai baru menyelipkan tangannya di bawah tubuh Jourell, belum lagi mengangkatnya, namun mata bocah lelaki itu langsung terbuka. Seketika Jourell melonjak bangun, tangan kecilnya melingkar erat di lengan Jill, seolah mencari perlindungan.
Refleks tangan Jill terulur melingkari tubuh Jourell, seolah menjaganya dan memberinya rasa nyaman. "Saya bilang juga apa, Pak," gumam Jill tanpa dipikir.
"Kalau kamu lebih tahu cara menggendong Jou tanpa membangunkannya, kenapa bukan kamu yang gendong dia?" balas Kai jengkel. Diempaskannya bokongnya di jok mobil.
"Kan Bapak nggak minta."
"Terus kalau saya minta kamu gendong Jou sampai ke apartemen saya, sampai masuk ke kamar saya, dan sampai mendarat sempurna di atas ranjang saya, kamu bersedia?" tantang Kai emosi.
"Eh?"
Kai mendengus melihat reaksi Jill yang bungkam seketika. Kai kembali beralih pada Jou, merentangkan tangannya ke arah bocah itu. "Jou, ini Daddy."
Jourell memandangi Kai cukup lama, hingga ia yakin pria yang duduk di sisinya adalah ayahnya.
"Kita pulang, ya, Sayang?"
Jourell mengangguk kemudian menoleh ke arah Jill, memandangi gadis itu, lalu beralih kembali menatap Kai.
"Ayo, Sayang! Ini sudah malam," bujuk Kai lagi.
Jourell kembali menoleh ke arah Jill, menatapnya lama sambil memegangi tangan gadis itu.
"Jou pulang, ya? Sekarang udah malem," bujuk Jill.
Jourell menggeleng sedih. Kai yang melihatnya merasa heran. Apa pula maksudnya ini? Kenapa anaknya mendadak lebih memilih bersama orang lain yang baru ditemuinya ketimbang ayahnya sendiri?
"Jou harus pulang, harus bobo," bujuk Jill. "Daddy-nya Jou juga pasti mau bobo, kasian lho udah kerja seharian. Pasti Daddy capek. Kalo Jou nggak ikut pulang, nanti Daddy-nya Jou sedih bobo sendirian. Jou 'kan anak hebat, temenin Daddy bobo. Jagain Daddy supaya bobonya nyenyak."
Jourell menunduk dengan wajah sedih, namun kemudian beringsut mendekat ke arah Kai. Kai memutar bola matanya. Merasa menjadi orang asing dan pengganggu di antara Jourell dan Jill.
"Saya pulang dulu. Kamu cepat naik ke kamar kamu," ujar Kai datar sambil membawa Jourell keluar dari mobil.
"Iya, Pak."
"Sekali lagi, terima kasih sudah menjaga Jou," ucap Kai sebelum berlalu meninggalkan Jill.
***
--- to be continue ---