10. Si Ceroboh

1703 Kata
"Kamu lagi apa di sini?" Dav terkejut ketika mendapati Jill tengah duduk di koridor menuju lift. Jill cepat-cepat berdiri ketika melihat Dav berjalan mendekat ke arahnya. "Kamu lagi nungguin orang?" tanya Dav lagi. "Bukan. Aku tuh kejebak, Dav." Jill meringis bodoh. "Lho?" Ekspresi Dav ikut berubah bodoh seperti Jill. "Kunci kamar aku ketinggalan di kamar aku." Dav mengernyit. Pikirnya kecerobohan semacam ini hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki. Nyatanya gadis macam Jill bisa juga bertingkah ceroboh. "Kok, bisa?" "Jadi tadi aku itu udah masuk ke kamar. Terus aku baru inget laptop aku ketinggalan di bawah. Aku buru-buru ambil ke bawah. Pas balik ke sini, baru sadar kalo kuncinya ketinggalan di kamar. Jadi aku nggak bisa masuk." Entah karena terlalu lelah, atau terlalu mengantuk, setelah selesai siaran In-Time Night, Jill langsung menuju lantai 20 tanpa mengambil barang-barang di kubikelnya. "Kamu nggak ada kunci cadangan?" "Nggak ada. Tadi juga udah coba ke bagian service, tapi udah nggak ada orang." Wajar saja kalau sudah tidak ada pegawai di bagian service yang berjaga karena saat ini memang sudah lewat tengah malam. "Terus kamu ngapain malah diem di sini?" tanya Dav tidak mengerti. "Nungguin aja, kali-kali ada orang yang mau keluar atau masuk." Jill terjebak di koridor depan lift karena untuk masuk ke area kamar harus melewati satu pintu lagi yang hanya dapat dibuka dengan kunci kamar. Dav menggeleng geli. "Udah lama di sini?" "Kira-kira setengah jam. Untung kamu keluar." "Kamu itu! Kamu 'kan tau aku tinggal di sini juga, kenapa nggak telepon aku aja minta bukain pintu?" "Aku 'kan nggak tau kalo kamu ada di dalem." "Biar aku nggak di dalem juga, aku 'kan pasti bakal pulang ke sini, Jill." "Tapi aku kan nggak enak nyusahin kamu." Jill meringis. "Eh, tapi kamu 'kan tetep nggak bisa masuk ke kamar." "Iya. Rencananya aku mau tidur di sofa aja." "Sofa ruang kumpul itu?" tanya Dav tidak percaya. "Iya." "Ck! Kamu ada-ada aja. Bahaya kali, Jill. Masa tidur di sofa? Kalo ada yang macem-macem gimana?" "Abis bingung." "Nggak ada alternatif lain?" "Hmm. Paling diem di Fantastic Room." "Itu lebih bahaya lagi, Jill!" ujar Dav tidak setuju. "Udah, malem ini tidur di kamar aku aja." "Hah?" Jill berkedip-kedip bodoh. "Kenapa?" "..." Jill menggaruk kepalanya kebingungan. "Takut?" "..." Jill meringis serba salah. "Tenang aja. Kamu 'kan tau aku nggak akan macem-macem," ujar Dav datar. "..." Jill menggigit bibirnya. "Aku yakin kamu udah tau gosip yang beredar soal aku. Bener, 'kan?" "Iya, sih." Jill akhirnya mengangguk. Selama dua bulan mengenal Dav, Jill tidak pernah satu kali pun menanyakan soal masalah pribadi Dav. Bagi Jill, Dav adalah teman bicara yang menyenangkan. Jill tidak peduli dengan gosip-gosip yang beredar soal Dav. Ia tidak peduli dengan isu yang mengatakan bahwa Dav adalah penyuka sesama jenis dan sebagainya. Bagi Jill, Dav baik, seru, dan menyenangkan. "Terus? Kenapa masih takut?" "Kan itu gosip, nggak tau bener apa nggak." Jauh di dalam hatinya, Jill meragukan gosip-gosip itu. Bagi Jill, Dav terlihat normal. Selama ia mengenalnya, Dav tidak pernah menunjukkan gelagat aneh ketika berdekatan dengan para lelaki. Meski terkadang Jill juga menangkap kejanggalan dalam sikap Dav ketika berhadapan dengan para perempuan. Tapi dengan dirinya, Dav terlihat normal. "Percaya aja, sebagian besar gosip itu emang bener, kok," ujar Dav tidak peduli. "Tapi kalo diliat orang lain nggak enak, Dav." Jill berkeras. Ia masih termasuk dalam golongan wanita kolot yang menganggap tabu jika laki-laki dan perempuan berada dalam satu ruangan yang sama sepanjang malam tanpa adanya ikatan pernikahan. "Nggak akan ada yang peduli juga, Jill." Dav merogoh sakunya dan menjejalkan kunci kamarnya ke tangan Jill. "Sekarang kamu masuk duluan, langsung ke kamar aku aja. Aku ada urusan dulu sebentar." Meski ragu, akhirnya Jill menyerah juga ketika menyadari tidak ada pilihan lain untuknya malam ini. Daripada ia tidur di sofa yang pastinya akan dilewati para penghuni lain, atau tidur di Fantastic Room yang beresiko akan bertemu dengan bos besar aneh itu, menumpang tidur di tempat Dav rasanya jauh lebih baik. Setelah selesai dengan urusannya, Dav segera kembali ke kamarnya dan mendapati Jill menunggu dalam diam, duduk di atas karpet tanpa melakukan apa-apa. "Kamu kenapa bengong begitu?" tanya Dav heran. "Bingung. Nggak tau mau ngapain." Dav hanya bisa menggeleng geli melihat sikap Jill. Dalam pandangan Dav, Jill benar-benar unik. "Kamu udah makan?" "Tadi udah." "Laper lagi nggak?" tanyanya sambil berjalan menuju pantry. "Lumayan." Jill menjawab jujur. "Mau makan apa? Biar aku masakin buat kamu." "Emang kamu bisa masak?" tanya Jill tidak percaya. "Bisalah. Tinggal sendiri harus bisa masak." Bagi Dav, memasak bukanlah hal asing. Sejak remaja ia sudah terbiasa mengurus dirinya sendiri, termasuk menyiapkan makanan. "Bahan-bahannya ada?" "Yuk, sini! Liat isi kulkas." Dav melambai memanggil Jill mendekat. "Kita liat ada apa." Jill beranjak bangun dan mendekat. Ikut mengintip ke dalam lemari pendingin ketika Dav membuka pintunya. Seketika ia terpana melihat isi kulkas pria itu. "Wah, lengkap banget, Dav! Kamu suka masak?" "Beli terus kurang sehat, Jill. Ayo, kamu mau makan apa?" Jill menggeleng menyerah. Urusan masak-memasak bukanlah keahliannya meski dulu ia selalu menjadi penyedia makanan bagi adik-adiknya. Masakan Jill tidak jauh dari mie instan kuah, mie instan goreng, telur dadar, telur ceplok, telur orak-arik, dan menu terhebatnya adalah nasi goreng. "Apa aja, deh, Dav. Aku nggak pemilih, kok. Selama itu beneran makanan dan aman dimakan, aku pasti makan." "Kamu tipe yang ribet nggak?" "Ribet gimana?" "Ribet soal menu makan yang harus sesuai sama waktu." "Nggak ngerti, maksudnya gimana?" "Misalnya kalo nasi nggak cocok buat sarapan, atau bubur nggak cocok buat makan siang? "Aduh, Dav! Nggaklah. Bisa makan aja udah bersyukur aku, sih." "Good girl!" Dav bertepuk tangan sekali, kemudian mulai memilah beberapa bahan makanan. "Sini aku bantuin." Jill mengulurkan tangannya ke arah bahan makanan yang sudah Dav keluarkan dari lemari pendingin. "Nggak usah, Jill. Sebentar juga selesai. Kamu duduk aja," tolak Dav. Jill tidak memaksa. Ia sadar akan kemampuannya yang terbilang pas-pasan. Karena itu ia memilih duduk saja dan menjadi anak baik. Duduk di meja makan berukuran kecil yang hanya cukup untuk digunakan oleh dua orang, sambil memandangi kesibukan Dav mengolah makanan. Benar saja, tidak sampai 20 menit, Dav sudah selesai menghidangkan sesuatu di atas meja. "Ayo, makan!" ujarnya sambil menarik kursi dan ikut duduk di sebelah Jill. Jill mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah piring. "Ini croissant?" "Iya, Chicken Salad Croissant. Orang bilang ini lebih cocok buat sarapan." "Buat aku dimakan kapan aja nggak masalah, ini keliatan enak." Jill mengangkat bahunya tidak peduli. "Boleh aku ambil?" "Boleh, dong!" Dav tertawa senang melihat antusiasme Jill untuk mencoba hidangan yang ia buat. "Enak?" "Banget!" Jill benar-benar terlihat menikmati makanannya, dan itu membuat Dav terpukau. Jarang ia menemukan seorang perempuan yang begitu bersemangat menyantap makanannya di tengah malam seperti ini, karena biasanya mereka akan menolak mentah-mentah ajakan makan di atas jam 5 sore. "Kenapa liatin aku?" "..." Dav menggeleng sambil menyantap bagiannya. "Makan aku nggak anggun, ya?" tanya Jill. Dav kembali menggeleng. "Bukan itu. Aku seneng liat cara kamu makan. Nggak jaim. Nggak pura-pura." "Capek banget hidup pura-pura mulu, Dav," balas Jill. Dav mengangguk setuju. "Eh, kamu mau pake baju aku?" "Nggak usah, Dav." Jill buru-buru menolak. "Mana nyaman tidur pake baju gitu. Udah pake baju aku aja," desak Dav. "Maaf, ya, jadi bikin repot," ujar Jill dengan wajah sungkan. "Nggaklah. 'Kan yang cuci juga bukan aku." Dav bangun dari kursinya setelah menghabiskan makannya. "Aku ke kamar bentar." Tidak berapa lama Dav keluar dari kamarnya dengan setumpuk barang di tangannya. "Mandi dulu, Jill!" "Nggak kamu duluan?" "Aku udah." Jill menerima barang-barang yang tadi berada di tangan Dav. Baju kaos, celana training, handuk, sikat gigi, sabun dan sampo. Semu peralatan mandi tersebut terlihat masih baru. "Kok, kamu lengkap banget?" tanya Jill heran. "Aku 'kan suka tour keluar kota, jadi selalu punya cadangan alat mandi." *** "Sini, tiduran!" Dav menepuk sisi tempat tidurnya yang kosong ketika melihat Jill keluar dari kamar mandi. Jill diam mematung, terlihat kebingungan dan serba salah. "Tenang aja, aman," ujar Dav lagi. Keraguan Jill segera sirna ketika melihat tayangan pertandingan sepakbola yang tengah Dav pasang. Ia menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas ke layar televisi. "Madrid sama Arsenal, Dav?" "Yup! Ayo, sini! Lagi panas, nih!" Tanpa ragu lagi Jill ikut duduk di atas tempat tidur Dav dan terhanyut menyaksikan pertandingan sepakbola yang tengah berlangsung seru. "Kamu kenapa?" tanya Dav saat jeda pertandingan. "Eh?" Jill terlihat terkejut Dav memutar duduknya hingga kini persis menghadap Jill. Ditekuknya kedua kakinya dan menumpukan dagunya di atas lutut. "Mukanya kayak bingung gitu. Kayak lagi mikirin sesuatu." "Mmm ...." Jill ragu untuk memberikan jawaban yang sebenarnya. "Kamu mau tanya sesuatu sama aku?" desak Dav. "Sebenernya iya. Tapi aku nggak yakin." Perlahan Jill ikut memutar duduknya hingga kini mereka duduk berhadapan. "Kenapa?" "Takut kamu tersinggung." "Soal gosip tentang aku?" tebak Dav. "..." Jill menggigiti bibirnya. "Tanya aja, Jill. Boleh, kok." Dav tersenyum meyakinkan. "Bener?" "Iya." Dav mengangguk kecil. "Dav, kamu beneran nggak suka sama perempuan?" tanya Jill takut-takut. Dav seketika memalingkan wajahnya, tidak lagi mau menatap Jill. "Sebenernya bukan nggak suka, lebih tepatnya aku nggak nyaman. Aku nggak tahan deket-deket sama cewek." "Ini?" Jill menunjuk dirinya kemudian menunjuk ke arah Dav. "Apa?" tanya Dav tidak mengerti. "Ini kamu lagi deket-deket sama aku. Tiap hari juga sering ngobrol sama aku." Jill heran karena Dav bilang ia tidak nyaman berdekatan dengan perempuan padahal mereka begitu akrab belakangan ini. Setiap hari selalu bertemu dan mengobrol dengan akrab. Dav mengangkat bahunya. "Aku juga nggak tau. Sama kamu aku nyaman-nyaman aja rasanya." "Kalo sama cewek lain?" "Selama ini nggak pernah ada yang akrab. Kalo pun sesekali suka ngobrol, pasti nggak akan betah lama-lama." "Kalo sama aku kenapa bisa lama?" tanya Jill heran. Apakah Dav terlalu pandai menyembunyikan ketidaknyamanannya selama ini? Dav memiringkan kepalanya, menatap Jill lekat-lekat. Hal yang tidak pernah dilakukannya pada perempuan lain selama ini. Bukan karena tidak ingin tapi karena tidak bisa. "Itu juga aku nggak yakin, Jill. Tapi mungkin karena kamu beda. Kamu nggak kayak cewek-cewek biasanya." "Beda gimana?" "Soalnya kamu seleranya kayak cowok. Terlepas dari muka kamu yang cewek banget, kamu itu sukanya COC, musik rock, sepakbola. Aku jadi nggak ngerasa lagi berhadapan sama cewek. Jadi kayak sama temen-temen cowok aku aja." "Hah?" Jill melongo mendengar jawaban Dav. Dav tergelak melihat reaksi Jill. Ia mengempaskan tubuhnya, kemudian menarik selimutnya. "Aku tidur duluan, ya! Ngantuk." Jill memperhatikan Dav yang sudah berbaring membelakanginya. Ia menangkap sesuatu yang janggal. *** --- to be continue ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN