"Jill, buat kamu." Dav yang baru masuk ke ruang wardrobe langsung duduk dengan ceria di sebelah Jill sambil meletakkan amplop kecil di tangan gadis itu.
"Apa ini?" Jill tersenyum manis. Wajah ceria Dav selalu menularkan senyum bagi siapa pun yang melihatnya.
"Coba buka," ujar Dav dengan senyum misterius.
Jill membalik-balik amplop di tangannya, kemudian membukanya. Keningnya berkerut ketika melihat isi amplop tersebut. "Kartu apa ini?"
"Kunci kamar kamu." Dav tersenyum lebar.
"..." Jill begitu terkejut hingga untuk beberapa saat tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Aku berhasil minta proses kamar kamu dipercepat, dan aku udah pilihin kamar yang view-nya bagus buat kamu. Kamarnya menghadap timur, jadi kamu bisa dapet sinar matahari pagi."
"Dav ...." Jill tersenyum penuh haru. Kalau saja Dav ini seorang perempuan, pasti Jill sudah menerjang dan memeluknya erat, tidak lupa menghujaninya dengan banyak kecupan. "Thank you!"
"My pleasure," balas Dav penuh senyum. Ada perasaan hangat yang memenuhi ruang hatinya ketika melihat wajah bahagia Jill. "Kamu mau liat kamar kamu sekarang?"
"Mau banget, tapi nggak keburu." Jill menunjukkan wajah kecewa karena sebentar lagi ia sudah harus siap di studio untuk live In-Time Evening.
Dav melirik jam tangannya dan mengangguk setuju. "Bener juga."
"Nanti aja beres siaran."
"Tungguin aku, nanti aku temenin kamu. Kamu belum tau lokasinya, 'kan?"
"..." Jill mengangguk. Ia hanya tahu kamar-kamar itu berada di lantai 19 dan 20, tapi ia sama sekali belum tahu akses untuk masuk ke sana.
"Nanti sekalian aku kenalin sama yang lain, biar kamu nggak canggung."
"Thank you banget banget, ya, Dav." Jill benar-benar terharu dengan bantuan yang Dav berikan tanpa dimintanya sama sekali.
Sesuai janji yang mereka buat, Jill menunggu hingga Dav menyelesaikan tapping-nya hari ini, untuk kemudian bersama-sama melihat kamarnya.
"Suka?" tanya Dav begitu mereka berada di dalam kamar yang disediakan untuk Jill di lantai 20.
Jill menatap sekeliling kamarnya dengan pandangan takjub. Tidak dikiranya akan sebaik ini yang didapatkannya. Ia berjalan berkeliling ruangan kamarnya memeriksa setiap sudutnya dengan teliti. Mata Jill berbinar ketika berdiri di depan jendela dan melihat pemandangan dari sana.
"Suka banget. View-nya beneran keren, Dav." Jill meninggalkan jendela dan kembali ke dekat Dav. "Dav, aku nggak nyangka kamarnya gede gini dan ternyata udah full furnish."
"Emang gini, Jill. Sistemnya mirip-mirip sama hotel. Tiap hari juga ada petugas yang akan beresin kamar kamu, jadi kamu nggak repot," terang Dav.
"Bayar lagi?"
Dav tersenyum dan menggeleng. "Nggak, kok. Itu udah ditanggung semua sama perusahaan. Tapi kalo mau kasih tip boleh."
"Kamar ini berapa lama boleh ditempatin, Dav?"
"Selama kamu kontrak kerja di sini."
"Serius?" tanyanya antusias.
"Itu ada surat kontraknya juga di panduan pemakaian dan pelayanan kamar. Baca aja." Dav menunjuk ke arah map yang diletakkan di atas meja kerja.
"Berarti, aku nggak akan diusir tiba-tiba?" tanya Jill bodoh.
Dav menggeleng sambil terkekeh. "Ya, nggak akan, Jill. Kecuali kamu tiba-tiba putus kontrak."
"Kalo gitu, apa mending aku keluar aja dari kosan aku, ya? Lumayan uangnya bisa aku tabung."
"Iya, kamu nggak usah kos lagi. Tinggal di sini aja, aman kok. Nyaman juga. Aku aja udah dua tahun di sini dan nggak niat cari tempat tinggal lain." Sejak kepulangannya ke Indonesia, Dav tidak memiliki tempat tinggal lain selain kamar di Forty Media ini.
"Dav, makasih banget udah nolongin aku," ujar Jill tulus.
***
"Jill, nasib lo mujur banget, dah!" ujar Luna sambil menjejalkan buku-buku Jill ke dalam kardus.
Jill yang tengah memilah-milah pakaiannya berhenti sejenak untuk menanggapi ucapan Luna. "Puji Tuhan, Lu. Tuhan tau yang aku butuh dan kasih sesuai kebutuhan aku."
Luna mengangguk-angguk sebal. "Ya ..., ya .... Lo sih anak baik, rajin doa, taat sama orang tua. Makanya Tuhan sayang sama lo. Nggak kayak gue. Doa kalo inget. Gereja pas Natal Paskah doang. Sama orang tua boro-boro taat, ribut mulu yang ada. Makanya gue nggak disayang. Nasib gue apek terus."
"Lu, nggak boleh ngomong gitu," ujar Jill mengingatkan Luna. Bagi Jill, sesulit apa pun hidupnya selama ini, ia tidak pernah mempertanyakan kebaikan hati Sang Pemilik. Baginya Tuhan selalu baik.
"Iya ..., iya ..., maaf." Terkadang Luna lupa kalau Jill ini laksana pemuka agama yang bijak dan berwibawa. Jill tidak peduli dengan omongan kacau Luna dan Domi selama itu tidak menyangkut urusan dengan Tuhan.
Setelahnya Luna memilih mengganti topik pembicaraan agar tidak salah bicara lagi. Bagi mereka, saling berbincang dan bertukar cerita sama mudahnya seperti bernapas. Waktu dapat berlalu cepat ketika mereka sedang bersama.
"Lu, makan dulu, yuk!" ajak Luna setelah hampir empat jam mereka berkutat di kamar kosnya dan perutnya mulai terasa perih.
"Hayu! Gue laper banget!" sambut Luna antusias.
"Mau makan apa?" tanya Jill.
"Apa, ya?" Luna berpikir-pikir sejenak.
"Mie Ayam Pak Benu mau?" tawar Jill.
"Mau, mau! Udah lama banget nggak makan itu."
Kedua gadis kelaparan ini cepat-cepat meninggalkan kamar kos Jill untuk mengisi perut mereka yang sudah menjerit sejak tadi.
"Lu, makasih udah bantuin aku," ujar Jill sambil menyusuri gang menuju tempat makan yang mereka tuju.
"Hmm. Awas aja lo jadi sombong terus lupa sama gue," balas Luna cuek.
"Aku nggak akan mungkin gitu kali, Lu." Jill mengaitkan tangannya di lengan Luna. "Aku 'kan sayang kamu."
"Eh, lo ada denger kabar dari si Domi nggak?" tanya Luna tiba-tiba.
"Mmm ..., terakhir pas minggu lalu, sih. Domi sempet posting di i********:. Dia lagi di Swedia."
Luna langsung mengernyit. "Ngapain itu bocah di sana? Jadi tentara relawan?"
"Kok, tentara relawan?" tanya Jill bingung. Jelas-jelas sahabat mereka itu seorang model, kenapa juga jadi tentara relawan?
"Itu tempat yang dulu suka ada perang-perang saudara, 'kan?" balas Luna.
Jill berpikir beberapa detik sebelum mengerti maksud Luna. Ketika Jill mengerti maksud Luna, tawanya hampir meledak. "Itu Serbia kali, Lu. Bukan Swedia. Lagian 'kan udah lama nggak ada perang."
Luna mengangkat bahunya tidak peduli. "Ya, kali aja. Dia 'kan suka rada-rada. Emang ngapain dia di sana?"
"Lagi ikut trip gitu. Nggak terlalu ngerti aku juga."
"Kapan pulang tuh anak?" tanya Luna ketus.
"Kalo uangnya udah abis katanya," jawab Jill persis sesuai jawaban yang Domi tulis di bagian komentar akun instagramnya.
"Dasar sarap! Sampe kapan juga uangnya nggak akan abis kalo dia, sih! Nggak kayak kita ini, nggak dipake juga abis sendiri tuh duit!" sungut Luna.
"Aku juga bilang gitu." Jill mengangguk setuju. Mereka berdua tahu bahwa sumber dana Domi tak terbatas, dan pengeluaran gadis itu pun tak terhingga.
"Terus dia bilang apa?"
"Ya, kalo uangnya nggak abis-abis, seenggaknya sampe dia nemu tambatan hati."
"Itu, sih, lebih mustahil lagi! Pasangan buat dia aja belum tercipta!" seru Luna dongkol.
"Masa? Kamu tau dari mana?"
Luna mendengus, terkadang heran dengan kepolosan gadis yang IQ-nya di atas rata-rata ini. "Coba aja lo pikir. Manusia itu cuma ada laki sama perempuan. Dia benci dua-duanya. Jadi dia harus nunggu Tuhan bikin jenis kelamin lain-lainnya, baru mungkin dia bakal suka. Itu juga belum pasti."
"Luna, kamu ngaco, ah!" tegur Jill terkejut.
"Lagian! Ya, kali dia bisa naksir sama cowok. Liat cowok deketin dia aja udah mau dia injek-injek."
"Iya juga, sih."
"Bilangin coba sama dia, pulang! Beresin kuliah dulu. Nggak malu apa mandek segitu lama?"
"Tumben kamu perhatian sama Domi, Lu?" tanya Jill heran. Biasanya Luna mana pernah peduli dengan urusan orang lain.
"Ya, soalnya gue juga yang kena malu. Orang-orang tau dia temen gue, gara-gara dulu pernah sekelas pas di Komunikasi Politik. Jadi yang lain suka nanya mulu kapan dia lulus. Dia, sih, kagak mau. Gue yang malu!"
"Domi 'kan cuek banget, Lu."
"Ya, kalo dia nggak punya malu, seenggaknya punya rasa derma, kek! Daripada dia buang-buang duit buat kuliah yang nggak diberes-beresin itu, mending dia bagi-bagi ke rakyat jelata macem kita ini!
***
"Sudah lama tidak lihat kamu gentayangan malam-malam." Itulah sapaan yang Kai berikan pada Jill saat mereka tidak sengaja berpapasan di lorong setelah keluar dari lift.
"Gentayangan? Emangnya saya setan, Pak?" protes Jill kalem.
"Ohh, bukan gentayangan. Saya salah pilih kata." Kai tersenyum manis. Manis tapi menyebalkan. "Yang benar berkeliaran."
"Emangnya saya binatang liar, Pak?" protes Jill lagi dengan intonasi yang tetap terkendali.
"Argh! Apalah itu terserah kamu," dengus Kai sebal. Niat awalnya ingin mengganggu gadis ini, namun tanggapannya malah datar-datar saja. "Saya yakin kamu paham maksud saya."
"Iya. Saya sekarang udah nggak kayak anak hilang, Pak," balas Jill dengan senyum bersahabat. "Saya udah dapat kamar di lantai 20."
"Wah, bagus kalau begitu!" sahut Kai senang. Ia tidak menyangka akan secepat itu gadis ini mendapatkan kamar di lantai 20. Kai sendiri tidak ingin ikut campur dengan urusan pengadaan fasilitas bagi Jill, ia ingin gadis itu mengikuti prosedur yang semestinya saja.
"Makasih, ya, Pak." Jill berujar tulus sambil tersenyum manis.
"Memangnya saya bantu apa untuk kamu?" tanya Kai heran.
"Saya 'kan tahu info kamar itu dari Bapak."
"Ohh. Ya, sama-sama kalau begitu." Kai mengangguk kecil. Padahal ia sama sekali tidak merasa membantu gadis itu sama sekali. "Jadi kamu sudah tidak tinggal di kos kamu lagi?"
"Nggak, Pak. Sayang kalau saya tetap bayar kos padahal nggak ditempati. Mending uangnya saya tabung, Pak."
"Kamu yakin akan lama tinggal di sini?" tanya Kai tanpa maksud apa-apa.
"Kok, Bapak nanyanya gitu?" Seketika Jill mengernyit, khawatir dengan pertanyaan Kai. "Jangan bilang Bapak mau depak saya setelah Mbak Citra kembali, ya?"
"Kamu ini berpikiran jelek terus sama saya," keluh Kai sebal.
"Habis Bapak nanyanya begitu." Jill memberengut.
"Maksud saya, memangnya kamu bakal betah di sini? Siapa tahu kamu tidak nyaman di kamar itu." Kai memperjelas maksudnya agar gadis polos ini tidak salah paham padanya.
"Duh, Pak!" Jill terkekeh geli. "Saya, sih, ada tempat tinggal aja udah bersyukur. Nggak ada, tuh, pilih-pilih dalam kamus saya, Pak. Di mana aja saya betah, apalagi tempatnya nyaman gitu."
"Jadi kamar kamu nyaman?"
"Nyaman sekali, Pak. Jauh lebih nyaman dari kosan saya," ujar Jill apa adanya.
"Syukur kalau gitu." Kai mengangguk-angguk.
"Pak, tapi beneran 'kan saya bisa tinggal terus di kamar saya? Nggak akan didepak tiba-tiba?" tanya Jill takut-takut.
"Ya, selama kamu masih kerja di sini."
"Bener, ya, Pak? Janji, lho!" tuntut Jill.
"Kamu ini! Kenapa tidak percayaan sekali sama saya?" sembur Kai.
Jill terkekeh geli melihat respon Kai. "Bukan gitu, Pak. Saya cuma takut jadi gelandangan."
"Sudah, sudah! Saya mau kembali ke ruangan saya. Heran, setiap bicara sama kamu pasti saya jadi sakit kepala."
***
--- to be continue ---