Part 6

3574 Kata
Deza meremas-remas jari-jari tangannya. Sungguh ia tak tahu harus pergi kemana. Dia tak punya teman dekat. Dia terlalu paranoid untuk menjalin persahabatan yang akrab karena ia berpikir tak ada seorangpun yang bisa ia percaya. Tangis itu kembali berlinang. Deza mengepalkan telapak tangannya lalu memukulkannya ke tembok berulang hingga telapak tangannya biru lebam. Self harm menjadi imbas lain dari gangguan kepribadian ambang yang ia idap. Perasaan tak berarti, tak berguna, tak diharapkan kembali merongrong pertahanannya. Terkadang perasaan ingin mati begitu kuat menari di kepala, tapi ia masih takut akan dosa. Ia tak mau pulang ke sisiNya dengan bekal yang kosong. Deza terpekur di pojok ruangan. Ia menekuk kaki dan membenamkan kepala di atas lututnya. Perasaan kotor dan jijik pada diri sendiri semakin membumbung seolah hendak meluber. Deza melangkah memasuki kamar mandi. Ia kembali mengguyur badannya kendati dia sudah mandi selama satu jam sore tadi. Ia tak peduli dinginnya malam begitu menusuk. Ia hanya ingin melenyapkan jejak-jejak sentuhan dan ciuman Alfa di sekujur tubuhnya. Dinginnya air semakin mencekam. Deza terisak di bawah rintik air yang mengalir dari shower. Satu jam berlalu, gadis itu masih betah membasuh tubuhnya dengan air. Ia masih saja merasa kotor dan hina. Tangannya mendaratkan tamparan di pipinya sendiri sebanyak tiga kali. Bodoh... bodoh... bodoh... Ia merasa menjadi orang terbodoh yang begitu murahan dan tak ada harganya. Bagaimana mungkin ia membiarkan laki-laki yang bahkan sudah ia benci sejak mengenalnya di masa kecil melakukan ini terhadapnya. Bagaimana mungkin ia menyerahkan dirinya untuk dijamah dengan bebasnya oleh laki-laki yang sudah ia benci sejak awal masuk universitas. Bagaimana bisa? Ia mengamati jejak-jejak merah yang hampir merata di sekujur tubuhnya. Seandainya orangtuanya tahu akan jejak-jejak ini pasti mereka akan lebih marah lagi. Tanda yang tak hanya Alfa tinggalkan di lehernya, tapi di manapun yang bisa ia jangkau. Deza menangis sekali lagi dan menjambak rambutnya. Deza mengelap tubuhnya hingga kering lalu mengenakan piyama. Ia berusaha untuk memejamkan mata meski begitu sulit. Suara ketukan pintu membuatnya terkesiap. Ketika ia membuka pintu, sang ayah berdiri mematung dan menatapnya datar. Deza dan Agil duduk berhadapan di atas karpet. Deza menunduk, tak berani mengamati gurat wajah ayahnya yang terlihat lelah dengan garis-garis kesedihan yang begitu kentara. Ayahnya adalah pahlawannya di masa kecil. Dulu setiap kali menjelang tidur, ayahnya selalu membacakan buku cerita untuknya dan kakaknya. Ketika ia terjatuh, ayahnya akan menanyakan bagian mana yang sakit. Dan saat ini ayahnya tak mengerti rasa sakit di hatinya yang begitu melumpuhkan dan bahkan gadis itu kadang tak yakin apa dirinya masih waras. “Deza, ayah minta maaf kalau selama ini tak bisa menjadi ayah yang baik. Ayah sadar, kesibukan ayah bekerja mungkin membuat ayah kecolongan, nggak bisa mengawasimu setiap saat. Ayah nggak tahu-menahu bagaimana pergaulanmu di luar. Waktu cepat berlalu dan sekarang kamu sudah punya pacar. Ayah telah melewatkan fase ini hingga tak ada yang mengarahkanmu tentang batasan-batasan yang tidak boleh kamu langgar. Ayah akui, ayah punya banyak kekurangan.” Deza tercekat mendengar penuturan ayahnya. Napasnya seolah terhenti di ujung. Ada rasa sesak menghimpit d**a. Lagi-lagi bulir bening itu lolos membasah di pipinya. “Deza yang salah Yah. Ayah jangan menyalahkan diri sendiri.” Agil menatap putrinya dengan segala rasa berkecamuk. Perasaan gagal masih saja menggelayut. Dia sadar diri bahwa dia bukanlah ayah yang sempurna. Ditangkupnya dua pipi anaknya agar mau menatapnya. Mata Deza yang sudah berair menangkap pantulan bayangan wajah sang ayah yang juga berkaca di sudut mata. “Apapun yang terjadi padamu, kamu tetap anak ayah dan ibu. Mungkin ibumu tak begitu menunjukan bagaimana ia menyayangimu, tapi percayalah, cinta ibumu begitu besar untukmu Dez.” Deza mengangguk dan isak tangisnya semakin deras. Selama ini ia merasa selalu diperlakukan berbeda oleh Selia. Agil mengusap bulir bening yang menghujani wajah putrinya. “Ibumu hanya takut kamu salah melangkah. Ayah dan ibu bukan orang sempurna Deza. Dulu sebelum berhijrah kami juga pernah melakukan kesalahan. Kami tak ingin kamu mengikuti jejak kami di masa sebelum hijrah. Ibumu hanya terlalu takut, karena itu dia begitu keras mendidikmu. Mungkin kamu merasa ibu tidak bisa memahamimu, di saat yang sama ibumu juga merasa kamu tak mengerti akan dirinya. Kalian hanya perlu bicara lebih hangat dan akrab.” Deza menyadari benar hubungannya dan ibunya memang kurang harmonis. Sering cekcok, beda pendapat dan salah paham. Kadang ia merasa, ibunya tak menyayanginya. Ia berpikir ibunya lebih menyayangi kakaknya dibanding dirinya. Ia merasa tak pernah bisa membuat ibunya bangga, tak seperti kakaknya yang sudah hafal 19 juz Al-Qur’an dan berperangai lembut. Agil mengusap rambut Deza, “Ayah tak akan menyalahkan siapapun. Tak akan membelamu atau ibumu. Tapi ayah mohon sedikitlah untuk mengerti ibumu. Ketakutan ibumu mungkin sudah berlebihan. Dia juga kesulitan untuk melembutkan hati ketika berkomunikasi denganmu. Dia takut kamu jadi manja. Karena itu ayah mohon, sedikit saja kamu mau mendengarkannya dan menuruti kemauannya selama itu baik.” Deza menatap ayahnya yang dari mimik wajahnya, Deza tahu ayahnya begitu berharap padanya. “Ayah juga akan bicara dengan ibumu tapi mungkin menunggu sampai emosi ibumu stabil. Mungkin kamu belum tahu, ibumu pernah depresi postpartum, deperesi setelah melahirkanmu karena ibu merasa tak bisa menjadi ibu yang baik.” Deza terperangah. Ia tahu deperesi post partum adalah gangguan mental yang umum dialami wanita setelah melahirkan. Perubahan hormon setelah melahirkan dapat memengaruhi mood yang biasanya berlangsung hingga dua minggu dan jika tidak membaik setelah dua minggu, maka bisa memicu depresi dan perlu penanganan serius. Agil tersenyum lembut menatap putrinya. Meski ia mencoba tersenyum tapi Deza bisa merasakan ada nada getir yang terlontar dari setiap kata yang meluncur dari bibir ayahnya. “Banyak tekanan entah dari dalam atau luar yang memperparah depresi ibumu. Campur tangan nenekmu dan kerabat serta komentar-komentar orang yang menyudutkan dan menghakimi ibumu bahwa ibu nggak becus mengurusmu menjadikan depresinya semakin serius. Mungkin masa-masa itu menjadi masa pahit yang harus kami hadapi. Jika orang lain berbahagia atas kelahiran anak dan menikmati masa-masa mereka mengurus bayi maka ayah harus berjuang untuk menyembuhkan ibumu. Setiap hari ibumu selalu menangis, badannya semakin kurus karena susah makan, sering merasa sedih, sulit tidur, sulit berkonsentrasi, panik, dan bahkan berusaha menyakiti dirinya sendiri. Dengan pertolongan Allah ibumu akhirnya sembuh.” Deza tercenung, tak menyangka di balik ketegaran sang ibu dan perangainya yang seolah tak pernah menyerah, ternyata kondisi psikisnya pernah bermasalah. “Ayah tegaskan sekali lagi, ayah tidak sedang membela ibumu atau bahkan menyalahkanmu, tidak sama sekali Deza. Ayah yakin seratus persen, jauh di lubuk hati, ibu sangat menyayangimu. Dia hanya tak tahu cara berkomunikasi dan merangkulmu. Mungkin ini juga yang menjadi kendala ayah, tak selalu bisa memahami jalan pikiranmu.” Entah kenapa, Deza semakin bersedih. Kata-kata ayahnya yang terlontar begitu pelan seolah membawa kepedihan di setiap kata-katanya. Ia merasa bersalah pada ayahnya. Ia merasa belum bisa menjadi kebanggaan ayahnya. “Ayah minta maaf atas nama ayah sendiri juga atas nama ibu...” Sebelum Agil menyelesaikan ucapannya, Deza menghambur memeluknya dan menangis sesenggukan. “Maafkan Deza Ayah. Deza nggak bermaksud menyakiti hati ayah dan ibu.” Agil mengusap kepala putrinya yang bahkan panjang rambutnya tidak lebih panjang dari rambutnya. “Ini sepenuhnya bukan salahmu Deza.” Agil melepaskan pelukannya lalu kembali menatap Deza yang sudah bersimbah tangis. “Dan saat tadi ayah nanya siapa pacar kamu, itu bukan karena ayah ingin marah-marah sama pacar kamu, enggak Deza. Ayah cuma ingin bicara antar pria. Jika memang dia serius sama kamu, dia akan bertanggungjawab menikahimu meski kalian belum sampai melakukan hubungan suami istri. Ayah minta jaga diri kamu lebih baik. Tak selamanya laki-laki yang mengatakan bahwa dia mencintaimu itu benar-benar mencintaimu. Ada banyak tipikal laki-laki yang hanya ingin mengambil keuntungan dari perempuan.” Deza mengangguk pelan, “Deza akan berusaha untuk menjaga diri lebih baik.” Agil mengulas senyum, “Sekarang kamu istirahat. Kamu kelihatan pucat dan kelelahan. Jaga kesehatan kamu. Kalau kamu sakit, ayah juga yang akan sedih.” Deza mengerlingkan senyum. Dia serasa kembali menemukan sosok ayah yang begitu ia banggakan. Ia tak bisa menyalahkan ayahnya yang kadang sibuk bekerja sampai malam. Deza merasa lebih tenang setelah bicara dengan ayahnya. Ia akan bertahan di sini demi ayahnya. “Ayah juga istirahat.” Ucap Deza masih dengan menarik garis melengkung di bibirnya. Kendati hatinya masih porak-poranda, ia tak ingin ayahnya cemas memikirkannya. Agil mengangguk. Ia daratkan kecupan di kening putrinya. “Have a nice dream my little princess.” Deza tersenyum sekali lagi. Ayahnya selalu saja menyebutnya little princess meski Deza merasa bahwa dia bukan anak kecil lagi. ****** Pagi begitu cerah. seakan menyapa semua penghuni rumah itu dengan senyum merekah. Kia menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. “Mama aku mau nasi goreng pakai telor ceplok,” pekik Zara sambil memegang garpu dan sendok. “Iya sayang, sabar ya.” Kia meletakkan sepiring nasi goreng di depan Zara. “Ini untuk Zara.” “Makasih Bunda,” ujar Zara dengan senyum manisnya. Setelah itu Kia meletakkan sepiring lagi di depan Alfa. “Ini untuk Kakak.” “Makasih Bunda,” balas Alfa. Terakhir Kia menyajikan semangkok oatmeal dicampur potongan pisang, strawberry, granola dan kismis untuk suaminya. Gharal sudah membiasakan untuk sarapan oatmeal sejak lima tahun yang lalu. “Nah ini untuk ayah.” “Makasih sweety,” tukas Gharal. Zara tertawa cekikikan. Alfa berdehem, “ehem...” “Ayah mah suka seenaknya kalau manggil.” Kia tersipu. Meski sudah lama berumahtangga, Gharal masih saja suka usil, bercanda dan romantis. “Bunda seneng kan? Tuh pipinya merah.” Alfa meledek Kia dengan senyum yang tak lepas. “Iya bunda mah selalu senang kalau dipanggil sweety. Alfa kalau sudah menikah juga harus romantis sama istri,” ujar Gharal sambil melirik Kia. Kia yang duduk di sebelah Gharal mengangguk. “Ngomong-ngomong soal nikah, gimana ta’aruf kamu sama Khansa? Apa kalian serius ingin lanjut ke pernikahan?” Kia menatap putranya serius. Alfa sedikit gelagapan, “Ehm Alfa... Alfa masih belum yakin Bun. Sepertinya Alfa masih harus memantapkan hati dulu.” Kia dan Gharal berpandangan. Beberapa hari yang lalu, anaknya seolah begitu mantap melanjutkan ta’arufnya dan Khansa ke pernikahan, sekarang malah berubah pikiran. “Apa yang bikin kamu nggak yakin?” Gharal memicingkan matanya. Alfa bingung hendak menjawab apa. “Ehm... Alfa ingin fokus kuliah dan ngurus distro.” Alfa rasa itu jawaban terbaik karena saat ini Alfa yang mengurus distro sepenuhnya karena Gharal lebih fokus di bisnis travel. Gharal dan Kia mencoba memaklumi. Toh Alfa juga masih muda. Ia akan memberi kebebasan untuk putranya memilih dan menentukan jalannya selama tidak bertentangan dengan agama. ****** Alfa melangkah di sepanjang koridor yang masih lengang. Dia mungkin berangkat terlalu pagi. Belum ada satupun temannya yang kelihatan. Saat matanya menoleh ke kanan, ia melihat Deza berjalan ke arahnya. Deza tidak menyadari kehadirannya karena sedari tadi ia menundukkan wajahnya. Deza menyadari ada sosok mematung di hadapannya. Ia mendongakkan wajahnya. Tiba-tiba ia merasakan desiran yang teramat hebat kala wajah laki-laki itu menatapnya begitu tajam. Debaran di dadanya seakan mencekamnya hingga ia tak bisa berkata-kata. Entah kenapa ia merasa sulit mengendalikan gemuruh debaran itu. Deg-degan dan cemas seketika. Deza bingung dengan apa yang ia rasakan saat ini. Ingin ia marah sekeras-kerasnya. Ingin ia berteriak dan meminta Alfa menjauh darinya, tapi ia justru terdiam. Terpaku seolah waktu menghentikannya dan bahkan mungkin sudah membunuhnya. Alfa merasakan hal yang sama. Salah tingkah, gugup, deg-degan dan bayangan kekhilafan yang mereka lakukan di ruang ganti kembali mengusik pikiran. Ada apa sebenarnya? Ia merasa mati kutu. Deza tampak lebih pucat tapi entah kenapa wajahnya terlihat semakin cantik di matanya. Bibir ranum itu kembali mengingatkannya akan ciuman panas mereka di bawah gemericik air. Alfa mati-matian mengenyahkan bayangan kemaksiatan yang terasa begitu nikmat itu. Deza melangkahkan kaki ke depan, di saat yang sama Alfa juga memajukan langkahnya. Mereka hampir bertabrakan. Atmosfer terasa begitu aneh. Dua hati itu saling canggung dan enggan menyapa meski jauh di lubuk hati, ada keinginan untuk saling bicara. Deza berbalik dan setengah berlari menjauh dari Alfa. Mahasiswa berparas tampan itu terpekur dengan segala tanya. Kenapa Deza menghindarinya? Apa yang kemarin itu tidak berarti apa-apa baginya? ****** “Bro ke kantin yuk.” Farez menyenggol bahu Alfa. “Lo duluan deh. Gue mau ke ruang lima B dulu ya,” jawab Alfa. Farez menyipitkan matanya, “Ada perlu apa ke ruang lima B?” Alfa tersenyum, “Mau ketemu sama seseorang.” “Ciyeee gayanya,” Farez terkekeh. Mereka pun berpisah di ujung koridor. Tak sulit bagi Alfa mencari tahu jadwal kuliah dan ruangan Deza dari adik angakatannya. Ia melihat para mahasiswa berbondong-bondong keluar dari ruangan pertanda kuliah sudah usai. Matanya terbelalak melihat Deza berjalan ke arahnya. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak warna merah dan celana jeans serta tas punggung bersandar di bahunya. Deza selalu tampak menyendiri, tak bersuara, cool dan seakan tak membutuhkan seorang teman. Ia ingat awal masuk kuliah gadis itu memiliki dua teman dekat yang kemana-mana selalu bersama. Namun saat ini Deza lebih introvert dan sering menghabiskan waktu sendiri. Alfa memberanikan diri untuk menghampiri gadis itu. Ia ingin berbicara dengannya. Ada tanggungjawab yang harus ia pikul setelah kemarin mengecap kenikmatan dari tubuhnya. Astaghfirullah... Alfa beristighfar merutuki kembali kebodohannya yang lepas kontrol. Deza tertegun menatap Alfa yang lagi-lagi mematung di hadapannya. Setiap kali melihat pemuda itu, dentuman desiran itu seakan menghancurkan apa yang ada. Debaran kembali menguasai. Jantungnya serasa mau lepas dan ia takut mati di tempat karena tak bisa mencegah degup jantung yang terus berkejaran. Deza hendak berbalik tapi Alfa segera menarik tangannya. “Aku ingin kita bicara Dez.” Deza melepaskan tangannya dan menatapnya tajam. “Nggak ada yang perlu dibicarakan Al.” “Ada, tentu saja ada. Please, aku benar-benar ingin bicara.” Sorot mata Alfa memendarkan asa yang begitu besar. Dia benar-benar berharap Deza mau memberinya kesempatan. Deza terdiam. Suasana koridor mulai lengang. “Kamu mungkin menilai aku cowok b******k yang memanfaatkan kesempatan. Aku ikhlas jika memang kamu menilaiku demikian. Tapi aku mohon beri aku kesempatan untuk bertanggungjawab. Sejak kejadian kemarin, aku selalu kepikiran. Aku nggak bisa tidur dan aku merasa bersalah. Sangat berdosa...” suara Alfa begitu mencekat. Deza bisa merasakan perihnya. Tentu saja dia bisa berempati karena luka di hati Deza mungkin lebih menganga dibanding luka laki-laki itu. Setiap perempuan akan merasa terbuang dan tak berharga kala tangan laki-laki menjamahnya di saat yang tidak tepat. Prinsip untuk hanya menyerahkan diri pada suami masa depan telah terlanggar. Siapa yang tidak terluka? “Lupakan semua,” balas Deza singkat. Alfa terhenyak, “Lupakan? Bagaimana bisa kamu minta aku melupakan Dez?” “Ya karena aku nggak mau mengingatnya. Karena bagiku kejadian kemarin itu bukan apa-apa. Dan aku menganggap kejadian itu nggak pernah ada.” Deza nyerocos dengan suara parau yang menyimpan pedih. Tentu apa yang keluar dari bibirnya tak sejalan dengan apa yang ia rasakan. Deza berusaha menutupi perasaan yang sebenarnya. Entah kenapa Alfa begitu terluka mendengarnya. Sakit... Sesuatu yang begitu mengacaukan hati dan pikirannya ternyata dianggap tak berarti apa-apa oleh gadis yang sudah mengobrak-abrik isi hatinya. Di saat yang sama Gara yang memang sengaja datang menemui Deza melangkah mendekat ke arah gadis itu. Deza melirik langkah laki-laki yang masih saja berusaha mati-matian mengejarnya. Alfa mengikuti arah mata Deza yang tertuju pada sosok laki-laki yang pernah ia lihat di stadion. Gara menatap Alfa sepintas lalu berganti menatap Deza. “Aku sengaja ke sini karena ingin ngajak kamu makan ice cream.” Gara berkata pelan dan tak lupa menyunggingkan senyum. Deza merasa kehadiran Gara bisa menyelamatkannya sejenak dari Alfa. “Okay, aku suka ice cream.” Deza membalas senyum dan melirik Alfa yang melongo. Jelas sekali ada kekecewaan tergambar di garis wajahnya. Gara hampir saja tak percaya dengan apa yang didengarnya. Akhirnya Deza menerima ajakannya setelah berkali-kali ia mendapatkan penolakan. “Makasih Deza. Ya udah kita jalan yuk.” Gara tersenyum lebar. Mereka berjalan beriringan meninggalkan Alfa yang masih tercenung. Ada rasa sakit bertalu di dalam sana. Alfa benar-benar kecewa, kesal, tak tenang. Hatinya meradang dan ia tak rela melihat gadis tomboy itu dekat dengan laki-laki lain. Sejak kejadian di ruang ganti, Alfa mengklaim bahwa Deza adalah miliknya dan tak seorangpun berhak menyentuhnya selain dirinya. ****** Selia membereskan buku-buku di meja Deza. Mata itu masih sembab, hatinya juga masih basah karena luka. Ketakutan yang ia rasakan begitu besar seolah sudah melebihi ambang batas. Dia tak ingin Deza mengulang kesalahan yang sama di masa lalu. Selia menemukan satu buah diary kecil yang terselip di salah satu buku. Selia membuka lembar pertama. Diary ini sudah penuh halamannya dan ia bisa menebak, usia diary ini sudah agak lama dan sepertinya Deza mengisi diary ini ketika masih tinggal di Bellingham, saat dia masih kecil, kemungkinan saat kelas empat atau lima SD. Selia duduk di tepi ranjang. Ia membuka lembar demi lembar dan membaca isinya. Diary, do you know how it feels to be the youngest child in your family? It’s bad. Sometimes I wish to be the oldest. Perhaps, my mom won’t angry with me. (Diary, kamu tahu bagaimana rasanya menjadi anak termuda/terkecil di keluargamu? Itu buruk. Kadang, aku berharap menjadi yang tertua. Mungkin, ibuku tak akan marah padaku) Diary, I know I’m never gonna be good enough for my mom. She always points out of my mistakes but she doesn’t try to understand me. I want she talks to me with big smile like what she did to my sister. I miss the way she touched my hair instead of criticizing my haircut. I wish I could turn back the time and go back to my childhoold, because at that time my mom really sincerely loved me. (Diary, aku tahu aku tak akan pernah cukup baik untuk ibuku. Dia selalu menunjukkan kesalahanku tapi dia tidak berusaha untuk memahamiku. Aku ingin dia bicara padaku dengan senyum lebar seperti yang dia lakukan pada kakakku. Aku rindu caranya menyentuh rambutku daripada mengkritik potongan rambutku. Aku harap aku bisa memutar balik waktu dan kembali ke masa kanak-kanak, karena di waktu itu ibuku benar-benar mencintaiku dengan tulus) Selia tercekat. Hatinya tersayat. Ia tahu, dia bukan ibu yang sempurna. Dia punya banyak kekurangan dalam mendidik Deza. Air mata itu menetes dan ia memohon ampun pada Allah jika selama ini dia tak bisa menjadi contoh yang baik untuk anaknya, tak bisa menjalankan perannya dengan baik. Teringat kata-kata Kia ketika mereka berbincang di toko kue sahabatnya itu. “Menghadapi remaja itu susah-susah gampang Sel. Mereka lagi labil-labilnya, sedang dalam tahap pencarian jati diri. Mereka juga ingin diakui eksistensinya. Tak mau dianggap anak kecil, padahal ada kalanya mereka belum bisa bijak dan berpikir dewasa dalam memutuskan sesuatu. Jika kita ingin merangkul mereka, pakai cara marah-marah, memaksakan kehendak, mengekang, menekan, itu tak akan efektif. Cara terbaik adalah dengan mencoba menjadi sahabat terbaik, yang siap mendengar segala keluh kesahnya tanpa menghakimi. Pahami karakternya dan hadapi mereka dengan menyesuaikan karakternya. Setiap anak itu memiliki perbedaan karakter yang tentu saja menangani mereka pun tidak sama. Karena itu mereka juga nggak bisa untuk dibandingkan karena masing-masing punya potensi dan keistimewaan yang berbeda.” Selia memejamkan mata. Ia menyelipkan kembali diary kecil di dalam buku. Selia memandang sekeliling, mengamati poster-poster lambang club bola yang menghiasi dinding. Ia menghela napas dan melangkah keluar. ****** Esok hari.... Suasana latihan bola sore ini ada yang berbeda karena pelatih tidak berangkat dikarenakan ada kepentingan keluarga. Deza berjalan memasuki stadion tanpa membawa pakaian ganti. Alfa menatapnya dari kejauhan. Ia melangkah mendekat ke arah gadis yang belakangan ini seolah menjadi racun dan membuatnya greget tak karuan. “Kamu telat, ayo cepat ganti baju.” Alfa bicara dengan ketus. Ia masih saja teringat kejadian menyebalkan kemarin di mana Deza pergi makan ice cream bersama Gara. “Aku nggak bawa baju ganti. Aku mau keluar dari tim.” Deza menjawab setenang mungkin. Alfa terbelalak. Ia shock mendengarnya. “Pak pelatih tidak berangkat, jadi keputusan ada di tanganku. Aku tidak akan memberimu izin untuk keluar tim.” Gantian Deza yang melongo, “Apa? Pelatih yang berhak memutuskan. Kalau gitu aku akan kesini lagi saat ada latihan lagi. Aku mau bicara langsung dengan pak Halim.” “Aku akan membujuk pak Halim untuk mencegahmu dan tetap mempertahankanmu,” balas Alfa lantang. “Keputusanku sudah bulat, aku akan keluar.” Deza tak mau kalah. Alfa mencengkeram tangan gadis itu begitu kuat hingga Deza meringis kesakitan. “Kamu ingin menghindariku kan?” Alfa menajamkan matanya. Deza membisu, tak tahu harus berkata apa. Tujuannya keluar dari tim karena memang ingin menghindarinya. “Belajarlah untuk profesional Deza!” Alfa menekankan kata-katanya. “Kamu boleh membenciku tapi jangan korbankan passion kamu di sepakbola. Kamu berbakat dan semua itu akan sia-sia jika kamu tak mengasahnya,” lanjut Alfa. Deza terdiam sejenak. Ia mengangkat wajahnya dan menatap laki-laki itu dengan pandangan tertajamnya. “Ayah ibu berencana untuk mengundangmu ke rumah untuk menanyakan keseriusanmu dengan kak Khansa. Kalau kamu memang berniat serius kamu harus sungguh-sungguh mencintai kakakku dan membahagiakannya. Aku tak akan bicara apapun tentang kejadian itu.” Alfa mendelik, “Kejadian yang mana?” Deza tercekat. “Kamu bahkan sudah melupakannya,” ucap Deza lirih. “Aku tanya sekali lagi kejadian yang mana???” Alfa meninggikan intonasi suaranya. Deza tahu, Alfa hanya mengujinya. Ia tahu Alfa tak mungkin melupakannya. Ia hanya sedang berusaha untuk memancingnya. Alfa menelusuri pipi Deza dengan jari-jarinya, “Kamu nggak akan melupakannya kan? Kejadian itu masih membekas dalam ingatanmu. Kamu nggak mungkin lupa.” Deza menepis jari-jari Alfa yang menari-nari di pipinya. Alfa tersenyum, “Kamu ada dalam genggamanku Dez. Saat nanti orangtuamu menanyakan kelanjutan ta’aruf itu, aku akan mundur.” Alfa berbalik, kembali bergabung dengan rekan satu tim. Kini Deza tertegun memikirkan semua. Ia tahu kakaknya sudah terlanjur menaruh hati pada Alfa. Ibunya juga sangat berharap Alfa dan Khansa menikah. Apa reaksinya nanti jika Alfa mundur dari ta’aruf itu dan menyebut namanya sebagai alasan kemundurannya? ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN