Tiga hari kemudian...
Khansa melangkah perlahan memasuki kamar adiknya. Deza sengaja tidak mengunci kamarnya, pintunya terbuka. Saat ini dia tengah membereskan buku-buku di meja belajar. Deza melirik Khansa yang berdiri tersenyum dengan gamis dan khimar yang baru.
“Kak Khansa cantik banget pakai gamis dan khimar baru.” Deza memuji penampilan kakaknya. Khansa tersipu mendengar pujian sang adik.
“Iya. Kakak lagi nyobain gamis dan khimar ini buat dipakai ntar malam. Malam ini Alfa mau datang ke sini. Kakak jadi deg-degan ya?”
Deg...
Deza baru ingat kemarin ayahnya sempat menelepon Alfa dan memintanya untuk datang. Sekarang tidak hanya Khansa saja yang deg-degan, tapi dirinya juga. Deza berusaha menstabilkan kegugupannya. Sejak kejadian di ruang ganti, selalu ada desiran menggetarkan hatinya kala mendengar nama laki-laki itu disebut. Lebih-lebih saat bertatapan langsung, hatinya tak hanya bergetar tapi juga merasakan segala rasa yang berkecamuk dan tak bisa diuraikan satu per satu, begitu membingungkan, absurd, aneh dan ia tak tahu kenapa bisa sampai begini.
Deza melihat senyum penuh pengharapan yang terlukis di bibir kakaknya.
“Kak, kakak mencintai Alfa? Kakak berharap Alfa meneruskan ta’arufnya menuju pernikahan?” tanya Deza pelan.
Khansa tak bisa menyembunyikan apapun dari adiknya. Rona merah bersemu di pipinya. Harapan dan impian itu seperti dua utas tali yang saling bertaut dan mengikat hatinya, hingga ia tak bisa lari karena cinta Alfa telah menjeratnya.
Dari senyum dan semburat merah yang yang melintang di wajah kakaknya, Deza tahu Khansa mencintai Alfa. Sungguh, dia berada diantara dilema. Di satu sisi dia tak tahu pasti bagaimana perasaannya terhadap Alfa. Di sisi lain, dia tak bisa melupakan kejadian di ruang ganti itu. Akan aneh rasanya, ketika seorang kakak ipar adalah seseorang yang pertama kali mencuri ciuman pertamanya dan pernah menjamahnya meski tak sampai melakukan hubungan intim. Sanggupkah dia berhadapan dengan Alfa jika nanti Alfa jadi menikah dengan Khansa? Dia masih terngiang akan kata-kata Alfa yang ingin mundur dari ta’aruf. Kakaknya pasti akan terluka.
“Kakak nggak tahu pasti perasaaan kakak ke Alfa. Tapi kakak selalu deg-degan jika ada Alfa. Rasanya kakak sudah jatuh cinta sama dia.” Khansa mengulas senyum cantiknya.
Deza mencelos. Entah kenapa hatinya sakit dan bergerimis mendengar pernyataan kakaknya barusan. Ia tak sampai hati jika kakaknya terluka karena penolakan Alfa. Ia khawatir Alfa akan menolak Khansa malam ini. Perasaannya begitu cemas tak menentu. Diliriknya jam dinding di kamarnya. Jam setengah dua siang. Ia tahu habis Ashar nanti ada kajian di Masjid kampus. Alfa kerap mengikuti kajian. Rasanya dia ingin bertemu dengan Alfa untuk membicarakan semuanya.
“Kak, Deza mau ke kampus dulu ya. Ada urusan penting.”
Khansa mengernyit, “Urusan apa?”
“Ehm mau bahas tugas kelompok.” Deza terpaksa berbohong. Diraihnya jaket yang menggantung di balik pintu. Ia mengambil kunci motor di nakas lalu keluar kamar dengan segera.
Deza melajukan motornya lebih cepat dari biasanya. Di benaknya tercetus serangkain kata-kata untuk meyakinkan Alfa agar tak jadi mundur dari ta’arufnya. Ia tak mau kakaknya terluka. Meski dia belum menyadari sepenuhnya tentang perasaannya pada pemuda itu, tapi dia tak sampai hati jika kakaknya patah hati karena Alfa lebih memilihnya.
Setiba di kampus, Deza memarkirkan motornya di area parkir. Suasana kampus masih ramai. Ada yang masih kuliah, makan di kantin, ada pula yang bekumpul di sekretariat organisasi kampus.
Deza duduk di taman belakang kampus. Dia mengirim pesan w******p untuk Alfa.
Aku tunggu di taman belakang kampus.
Balasan datang dari Alfa.
Okay tunggu, sebentar lagi aku ke sana.
Saat Alfa tiba di hadapan Deza, Deza kembali deg-degan. Deru napas dan degup jantungnya seolah tak terkontrol lagi. Alfa duduk di sebelah Deza. Tatapan mata itu begitu lekat mengamati wajah natural Deza yang entah kenapa semakin menarik di matanya. Alfa pun merasa deg-degan, debaran yang jauh lebih dahsyat dari sebelumnya.
Hening... kikuk... canggung...
“Ehm Alfa, aku ke sini ingin bicara penting soal nanti malam. Kamu akan datang ke rumah kan?”
Alfa mengangguk, “Ya, dan aku ingin mengatakan semuanya kalau aku mundur dari ta’aruf itu. Hati aku nggak yakin untuk menjalaninya.”
Deza menatap Alfa dengan penuh harapan. Sorot matanya begitu mengiba, “Aku mohon jangan mundur.”
Alfa membelalakan matanya, “Kenapa? Aku nggak bisa lanjut Deza. Bagaimana mungkin aku meneruskan sesuatu yang aku nggak yakin menjalaninya. Sejak kejadian di ruang ganti itu aku selalu kepikiran kamu dan aku merasa bersalah. Sudah seharusnya aku bertanggungjawab padamu.”
Deza menghela napas. Dia alihkan pandangannya ke arah lain.
“Aku tahu kamu juga kepikiran terus soal itu kan? Kenapa kamu nggak kasih aku kesempatan?” Alfa menatap Deza serius.
Deza mengembuskan napas pelan. Ditatapnya Alfa dengan gempuran rasa yang sulit untuk dideskripsikan.
“Al, bagaimana aku bisa tenang dan menerimamu sementara kakakku memiliki perasaan padamu. Kamu lupa? Kamu pernah ngasih kak Khansa harapan saat awal kamu ta’aruf dengannya? Aku tak mau memaksa kamu untuk bertanggungjawab sama aku. Apa artinya pernikahan kalau kamu cuma ingin bertanggungjawab, merasa bersalah. Itu bukan cinta Alfa, tapi nafsu. Kamu tertarik sama aku karena kamu sudah melihatku hampir polos dan menyentuhku. Mungkin kamu berpikir kamu bisa melakukan hal itu lagi padaku. Mungkin kamu berpikir aku akan dengan mudah untuk kamu sentuh kedua kali. I know what is on man’s head. Aku ingin seseorang yang benar-benar mencintaiku dengan tulus, bukan karena nafsu.”
Alfa tercekat. Ia tahu, sebagai laki-laki normal, dia memang tertarik pada fisik Deza. Dia bahkan tak bisa menahan hasratnya saat melihat tubuh Deza tereskpos dengan hanya terbalut pakaian dalam. Semua nilai agama yang sudah diajarkan oleh orangtua dan ustadz seolah hanya tinggal teori yang mengendap di kepala. Dia gagal dan menyesal, meski buntut dari penyesalan itu dia justru merasakan sesuatu yang berdesir di hatinya setiap kali berhadapan dengan gadis itu. Ada rasa ingin memiliki, menjaga Deza dan ia sangat tidak rela melihat Deza bersama Gara atau dekat dengan cowok manapun. Cintakah ini? atau seperti yang Deza bilang, nafsu? Tapi sungguh ia tak ingin kehilangan Deza dan ia menginginkan gadis itu untuk menjadi istrinya suatu saat nanti.
“Aku akan tetap mundur Deza. Aku sadar benar hari-hariku belakangan ini kacau karena mikirin kamu. Aku nggak konsen belajar, nggak konsen main bola, nggak fokus nambah hafalanku bahkan aku merasa sulit banget hafalin Al-Qur’an karena aku sadar benar, aku sudah melakukan kesalahan dan pikiranku sudah tercemar, memikirkan sesuatu yang nggak seharusnya aku pikirkan. Aku nggak bisa kayak gini terus. Satu-satunya jalan, aku ingin menghalalkan hubungan kita biar ke depannya aku bisa melangkah lebih ringan untuk memperbaiki kesalahan.” Alfa menatap Deza begitu menghujam.
Deza tak berani membalas tatapan laki-laki yang juga membuatnya tak bisa berkonsentrasi saat mengerjakan segala sesuatu. Selalu ada bayangan wajah Alfa yang tiba-tiba menggelayut di kepala, mengacaukan pikirannya. Dan ia benci saat hal terbesar yang ia ingat dari sosok laki-laki itu adalah sentuhan dan ciumannya.
“Hubungan yang mana? Kita nggak punya hubungan apa-apa,” ucap Deza lirih.
Alfa mengusap belakang kepalanya. Dia dan Deza memang tidak ada ikatan apapun. Tapi kejadian di ruang ganti itu seolah telah mengikat hatinya pada hati Deza. Dan baginya Deza adalah miliknya, apapun caranya Alfa ingin Deza menjadi pasangan halalnya.
“Hubungan kita istimewa Deza. Sejak kejadian di ruang ganti itu, hubungan kita nggak bisa dibilang biasa lagi. Aku akan mengatakan ke orangtuamu kalau aku berniat serius sama kamu.”
Deza terbelalak. Dia membulatkan matanya.
“Aku bilang kamu jangan mundur untuk meneruskan ta’arufmu sama Khansa. Please... Kalau kamu memang mencintaiku, lakukan ini demi aku.”
“Nggak Deza, aku nggak bisa.” Alfa menaikkan intonasi suaranya.
Deza semakin tercekat. Sungguh, dia pun bingung dengan posisinya saat ini. Kebahagiaan kakaknya lebih utama dari kebahagiaannya sendiri.
“Sekalipun kamu mundur, aku belum tentu mau menerimamu Al.” Deza menegaskan kata-katanya.
“Kamu harus menerimaku Dez. Kamu milikku dan kamu harus menerimaku.” Alfa meraih tangan Deza dan menggenggamnya erat.
Deza menyentakkan tangannya hingga genggaman itu terlepas.
“Nggak Al. Aku nggak akan menerimamu. Aku nggak mencintaimu.”
“Apa?” Alfa menyipitkan matanya.
“Ya, aku nggak mencintaimu. Lupakan semuanya. Anggap kejadian di ruang ganti itu nggak pernah ada.” Deza beranjak.
Alfa ikut beranjak dan kembali meraih tangan Deza.
“Jangan membohongi perasaanmu Dez. Aku tahu sejak kejadian itu kamu nggak bisa berhenti mikirin aku. Kamu udah jatuh cinta sama aku.”
Deza berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Alfa. Alfa semakin kuat mencengkeramnya.
“Lepaskan aku Al. Aku nggak akan mau menerimamu. Kamu harus menikahi kak Khansa.” Deza masih berusaha melapas tangannya.
Alfa menggandeng tangan Deza dan menuntunnya memasuki koridor di depan taman. Sepi... Alfa menghimpit tubuh Deza hingga mepet ke dinding. Alfa menoleh ke kanan dan ke kiri. Lengang... Ia kembali menatap Deza dalam jarak yang begitu dekat. Gadis itu kembali gugup. Jantungnya berdenyut naik turun.
“Aku tahu kamu punya perasaan yang sama dengan yang aku rasain. Don’t try to lie to me!” tandas Alfa.
Deza terdiam. Ia mangamati bayangannya sendiri yang tercetak di kedua mata Alfa.
“I’m not trying to lie. I’m just trying to make the best decision,” balas Deza dengan gemuruh napas yang tak beraturan.
“The best decision for whom?” Alfa meninggikan suaranya.
Deza tercenung.
“Kamu selalu mikirin kebahagiaan kakakmu, tapi apa kamu mau sedikit saja memikirkan perasaanku?” kata-kata Alfa kembali membuat Deza tercekat dan tak mampu bersuara.
“Okay kalau kamu ingin aku mundur. Aku akan melakukannya untukmu.” Alfa bergegas meninggalkan Deza yang terdiam, mematung dengan segenap rasa bergejolak. Ada rasa berat melepas laki-laki itu, tapi dia juga tak ingin menyakiti hati kakaknya.
******
Suasana Masjid kampus terlihat cukup padat. Selepas sholat Ashar, ustadz Ilham memberikan kajian rutin setiap hari Selasa dan Kamis khusus untuk laki-laki. Alfa terlihat duduk bersebelahan dengan Farez. Pada kajian kali ini ustadz Ilham memberikan materi tentang pentingnya gadhal bashar (menahan pandangan) terhadap lawan jenis termasuk segala hal yang terkait interaksi/hubungan antar lawan jenis termasuk pacaran.
“Gadhal bashar itu diperintahkan Allah pada laki-laki maupun perempuan. Dalam Surat An Nur ayat 30, Allah berfirman ‘Katakanlah kepada orang-orang laki-laki yang beriman : ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara k*********a. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
“Jadi maksud menahan pandangan itu bukan berarti kita menutup mata, merem, nggak melihat sama sekali. Bukan itu maksudnya. Intinya kita harus menahan atau menjaga pandangan untuk nggak jelalatan. Agar lebih terkendali, istilahnya nggak liar. Jadi nggak terus-terusan lihatin, apalagi sampai melototi kecantikan perempuan. Ada hadits tentang pandangan ini. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berpesan kepada Ali bin Abu Thalib radhiyallahu’anhu ‘Wahai Ali, janganlah engkau mengikuti pandangan pertama dengan pandangan yang lain. Karena sesungguhnya engkau hanya diperbolehkan pada pandangan pertama, sedangkan pandangan berikutnya tidak diperbolehkan.’ Jadi misal kalian melihat perempuan cantik di pandangan pertama, itu tak apa. Sudah cukup, setelah itu jangan keterusan. Segera jaga pandangan. Jangan malah menikmati dengan melihat lama, bahkan sampai melotot matanya mau keluar, nggak berkedip. Sengaja lirik lagi lirik lagi, katanya sayang pemandangan indah dianggurin. Astaghfirullah.”
Terdengar para mahasiswa cekikikan mendengar ceramah sang ustadz.
“Ingat yang namanya kedua mata itu zinanya dari memandang. Kalau yang saya perhatikan di zaman sekarang, banyak laki-laki dan perempuan sudah bebas dalam bergaul, saling pandang, saling menatap, bahkan juga pacaran. Namanya pacaran itu dekat sekali dengan godaan untuk kontak fisik. Itu kenapa dalam agama kita tidak ada yang namanya pacaran. Satu-satunya hal yang menghalalkan kontak fisik dan solusi dari menahan pandangan ini ya menikah. Kalau kalian siap menikah, sudah ada calonnya, segerakan menikah. Tapi kalau belum mampu maka belajarlah menahan pandangan dan sering puasa.” Lanjut ustadz Ilham. Pandangannya menyasar ke segala sudut.
Alfa merasa tertohok dengan ceramah dari ustadz Ilham. Awal mula kontak fisik yang terjadi antara dirinya dan Deza tentu saja dari kegagalannya menahan pandangannya. Ia membiarkan sepasang matanya menikmati kemolekan tubuh Deza hingga gairahnya tersulut. Alfa beristighfar. Rasa-rasanya setiap dekat Deza, ia selalu gagal mengendalikan diri. Di taman belakang beberapa jam yang lalu pun dia kembali saling menatap dengan gadis itu. Terkadang ia begitu gregetan ingin menyentuh gadis itu, entah sekedar mengusap pipi atau mengecup bibirnya sekali lagi. Namun dia bersyukur dia bisa mengendalikan diri untuk tak berbuat lebih saat mereka berdua di taman belakang.
Ustadz Ilham melemparkan kesempatan pada para mahasiswa yang mengikuti kajian untuk bertanya. Salah seorang mahasiswa berambut ikal mengangkat tangannya.
“Iya silakan.”
“Kalau udah terlanjur pacaran gimana Ustadz?”
“Ya segera nikahi dia. Kalau nggak mau nikahi ya tinggalkan saja, daripada menimbun dosa,” tandas Pak Ustadz tegas.
“Modal belum ada Pak, masih kuliah.”
“Terus ngapain kamu pacaran?” sela ustadz Ilham.
“Huuuhhhhh...” sorai teman-temannya serempak.
“Kan buat penjajagan Pak,” seringai sang mahasiswa.
“Buat penjajagan gimana? Mau icip-icip dulu sebelum resmi? Buktinya banyak yang pacaran lama-lama tapi nggak jadi nikah. Banyak pula yang nggak pacaran, lewat jalur ta’aruf bisa langgeng.” Ustadz Ilham kembali menyela.
Sang mahasiswa terdiam, nggak membalas lagi.
“Pak kalau pacarannya sudah terlanjur grepe-grepe tapi nggak sampai melakukan hubungan...” Belum selesai mahasiswa lain berbicara, mahasiswa yang lainnya sudah menyoraki sembari cengengesan huhhhh...
“Waduh ya nikahi dia dong. Kamu udah grepe-grepein anak orang terus mau ditinggal gitu aja? Tanggungjawab dong, jangan jadi pengecut.” Suara pak Ustadz terdengar meninggi.
Alfa merasa tersindir. Ia juga berniat ingin bertanggungjawab pada Deza, tapi ada daya Deza justru menolak dan malah memintanya untuk menikahi Khansa.
“Pak bukan saya yang pacaran grepe-grepe anak orang. Ini kan perumpamaan karena teman ada yang seperti itu,” dalih mahasiswa tersebut.
“Bilang aja kalau kamu sendiri yang kayak gitu,” ledek salah seorang temannya.
Suasana sedikit gaduh. Teman-teman mahasiswa tersebut meledek dengan tawa memecah.
“Tenang-tenang... Ini untuk semuanya saja. Kalau cowok udah grepe-grepe anak orang ya harus tanggungjawab. Jangan mau enaknya doang. Pikirkan juga perasaan perempuannya, pikirkan perasaan orangtuanya seandainya tahu anaknya udah digrepe-grepe orang, pasti bakal kecewa. Jadi cowok harus gentle.” Ustadz Ilham mengedarkan pandangannya. Para mahasiswa manggut-manggut.
Alfa terpekur. Rasa bersalah itu kian menggunung. Posisinya serba salah sekarang. Ia ingin bertanggungjawab pada Deza, tapi Deza menolaknya.
Seusai kajian, dilanjut dengan privat tahfidz Al-Qur’an. Hanya empat orang yang ikut termasuk Alfa.
“Alfa kamu sudah menambah hafalan lagi?” tanya ustadz Ilham.
Alfa terdiam sejenak. Rasanya dia ingin menceritakannya kesulitannya menghafal Al-Qur’an belakangan ini.
“Maafkan saya Ustadz, saya sudah mencoba menghafal. Tapi akhir-akhir ini saya kurang fokus dan ngeblank.”
Ustadz Ilham tersenyum, “Ada masalah apa Alfa?”
Alfa ragu mengatakannya. Rasanya malu untuk mengungkapkan semuanya.
“Okay nggak usah diceritakan. Saya akan bercerita sedikit dengan Alfa, maupun Nadif, Angga dan Farhan. Saya bukan sedang menghakimi atau menilai kalian begini begitu ya. Ini juga untuk saya sendiri. Saya cuma ingin menyampaikan ada banyak hal yang membuat kita kesulitan menghafal Al-Qur’an. Saya akan menceritakan kisah Imam Syafi’i. Hafalan beliau ini sangat luar biasa. Hingga suatu hari Imam Syafi’i berjalan di salah satu sudut kota. Beberapa wanita juga berjalan di depan dan sekelilingnya. Waktu itu angin berhembus kencang, ada seorang wanita yang tersingkap pakaiannya hingga memperlihatkan betisnya. Kejadian ini tanpa sengaja disaksikan Imam Syafi’i. Imam Syafi’i beristighfar dan mempercepat langkahnya menuju Masjid. Imam Syafi’i khawatir hafalannya akan hilang karena kemaksiatan yang dilakukan. Konon Imam Syafi’i benar-benar kehilangan satu juz Al-Qur’annya. Dari sini kita belajar bahwa kemaksiatan bisa menutup hati. Imam Syafi’i langsung bertaubat atas penglihatan yang tak disengaja, bandingkan coba dengan diri kita saat ini.”
Alfa tertegun. Ia kehabisan kata-kata dan merasa seperti seorang pendosa. Dia tak hanya melihat apa yang seharusnya tidak ia lihat, tapi dia bahkan mengecap manisnya dosa dari apa yang sudah ia lakukan.
“Cahaya Allah itu tidak akan mungkin diberikan pada ahli maksiat. Ini buat saya pribadi ya. Mungkin yang membuat saya kesulitan menghafal adalah karena dosa dan maksiat yang saya lakukan. Itulah kenapa anak-anak malah lebih mudah menghafal Al-Qur’an dibanding orang dewasa karena pikiran dan hati mereka yang masih jernih, bersih. Jadi memang menjaga mata dan menjaga diri dari maksiat itu sangat penting dan harus kita upayakan. Saya sedang tidak menghakimi kalian bahwa kalian kesulitan menghafal Al-Qur’an karena kalian berbuat maksiat, ini untuk pelajaran saja dan kalian pasti lebih tahu penyebabnya. Atau mungkin bisa juga kalian sedang ada banyak masalah dan kesulitan untuk berkonsentrasi. Kalau bisa lepaskan dulu pikiran dari banyaknya masalah. Kita fokus untuk menghafal. Tenangkan hari dan pikiran, berdoa sama Allah agar diberi petunjuk dan kelancaran dalam menghafal.”
Alfa merenungi setiap kata yang meluncur dari sang ustadz. Alfa mengembuskan napas. Dia benar-benar bingung berada di fase sekarang ini. Ketertarikannya pada Deza tumbuh begitu saja tanpa bisa ia cegah. Sekarang ia harus bergelut dengan pikirannya sendiri yang sewaktu-waktu bisa tertuju pada rekaman kejadian di ruang ganti. Ia merutuki diri sendiri kenapa ia bisa berubah menjadi sedemikian m***m. Dua malam ini dia mimpi basah dan selalu saja Deza menjadi partnernya. Seolah tiada hari tanpa memikirkan Deza.
******
Alfa duduk dengan suasana hati tak karuan. Antara cemas, gugup dan tegang. Sungguh ia benar-benar dilema menghadapi situasi sekarang.
“Jadi gimana Nak Alfa? Kira-kira ta’arufnya mau dilanjut nggak ya? Khansa tahun ini 23 tahun. Saya dan ibunya berharap agar ia cepat menikah.” Agil tersenyum menatap Alfa.
Khansa begitu berdebar. Menunggu jawaban Alfa serasa seperti menunggu hasil ujian. Khansa bahkan sudah berencana untuk menghubungi kerabatnya di Papua, adik seayah dari almarhum ayah kandungnya. Meski almarhum ayahnya tak mempunyai saudara kandung seayah dan seibu, tapi dia masih memiliki saudara laki-laki satu ayah lain ibu. Dialah satu-satunya kerabat yang berhak menjadi wali nikahnya.
Deza yang duduk di sebelah Khansa saling berpandangan. Alfa sudah berjanji pada Deza untuk melanjutkan ta’arufnya dengan Khansa. Tapi hati kecilnya tak ingin melakukannya.
“Alfa pasti bakal lanjut kan? Iya kan Al? Alfa kan suka sama kak Khansa dari dulu.” Deza memaksakan bibirnya untuk tersenyum dan sedikit mengedipkan matanya pada Alfa sebagai isyarat agar Alfa menuruti permintaannya.
“Beneran Alfa mau lanjut?” Selia tersenyum cerah.
Alfa menatap Deza sekali lagi. Deza menajamkan matanya. Dengan hati teriris dan tercabik, Alfa mengangguk.
“Iya Tante, saya akan lanjut.”
“Alhamdulillah, sekarang tinggal pertemuan dua keluarga untuk membicarakan pernikahan kalian.” Selia melirik suaminya dan lagi-lagi senyum melengkung di bibirnya.
Khansa tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Senyumnya begitu merekah. Ia memeluk adiknya yang duduk di sebelahnya. Deza meneteskan air mata. Entah karena bahagia melihat kakaknya bahagia atau karena hatinya begitu terluka, merelakan laki-laki yang mengenalkannya pada arti jatuh cinta untuk menikah dengan kakaknya sendiri.
Saat Alfa berpamitan, Deza merasakan tatapan Alfa begitu menghujam ke arahnya. Dia bisa melihat sudut mata laki-laki itu berkaca. Ia tak berani menatap laki-laki itu lebih lama karena yang ada dia akan merasa semakin sakit. Alfa melangkah keluar meninggalkan luka yang begitu pedih di hati Deza.
Ia segera menaiki tangga, ingin menumpahkan segala kesedihannya pada catatan diarynya. Dengan isak tangis yang ia tahan sedemikian kuat agar suaranya tak terdengar sampai luar, Deza menuliskan kata demi kata.
Diary...
Aku mencintainya...
Aku sadar aku mencintainya...
Tapi aku nggak punya pilihan selain mundur. Kak khansa berhak untuk bahagia. Ayah ibu juga berharap kak Khansa menikah dengannya. Bagaimana mungkin aku tega menghancurkan kebahagiaan tiga orang sekaligus? Biar aku mundur... Biar aku yang mengalah... Biar aku menelan segala pil pahit asalkan keluargaku bahagia...
******