Tamparan itu mendarat telak di pipi Ragas. Suara nyaringnya menggema di teras rumah Alice, menusuk kesunyian malam yang seakan ikut menahan napas. Panas. Bukan hanya di kulitnya, tetapi juga di dadanya. Ragas mengepalkan tangan, jemarinya bergetar menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. Tapi dia tidak bisa—tidak boleh membalas. Bukan kepada wanita ini, bukan kepada ibu Alice, perempuan yang selama ini selalu memberikan senyuman hangat dan kepercayaan padanya, kini membencinya setengah mati. "Pergi!" Suara mama Alice bergetar, nyaris pecah oleh amarah dan kekecewaan. Matanya yang dulu hangat kini penuh kebencian. "Aku tidak mau melihat wajahmu lagi, Ragas! Jangan pernah temui Alice! Kau sudah cukup menghancurkan hidupnya!" Ragas terdiam, jantungnya berdentum keras di dadanya. Ha
Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari