Aku baru saja selesai meletakkan gelas minum di nakas ketika suara langkah Mbak Ranti terdengar memasuki kamar lagi. Aku mengira dia hanya ingin mengambil sesuatu yang tertinggal. Dia berdiri di samping ranjang, menatapku dari ujung kepala hingga kaki, seperti sedang menilai barang cacat di toko. “Kamu itu benar-benar nggak tahu diri, ya?” katanya tanpa aba-aba. “Apa pun yang kamu lakukan, kamu tetap parasit di keluarga ini.” Aku menelan ludah, mencoba bersikap tenang. “Mbak, aku nggak—” “Diam!” bentaknya. “Jangan pura-pura polos! Kamu cuma gadis kampung yang tiba-tiba hidup nyaman di atas penderitaan orang lain!” Suaranya meninggi, tapi lebih menyakitkan saat dia mendekatkan wajahnya beberapa sentimeter dariku. “Kalau aku jadi kamu, sudah dari dulu aku pergi! Malu sama diri sendir

