Mbak Ranti sepertinya benar-benar membenciku. Setiap kali dia selesai merapikan sesuatu, tangannya selalu menghempaskan barang itu dengan kasar—seolah ingin memastikan aku mendengar suara hentakannya. Brak. Drap. Tok. Semuanya seperti kode penuh amarah yang sengaja ditunjukkan di hadapanku. Aku terdiam, hanya memperhatikan dari balik selimut. Jujur, aku tidak tahu apa yang pernah kulakukan sebelum kehilangan ingatan hingga dia menatapku seolah aku ancaman, sampah, atau mungkin parasit yang numpang hidup. Apa aku dulu seburuk itu? Atau… aku pernah menyinggungnya hingga dia menyimpan dendam? Yang membuatku semakin bingung adalah sikap Bi Imas—berbeda 180 derajat. Beliau begitu lembut, perhatian, dan selalu memastikan aku nyaman. Bahkan ketika menutup laci, Bi Imas menggunakan kedua t

