Sebelum berangkat kerja, aku sempat mampir ke unit Om Dirga untuk membantunya berkemas. Koper besar sudah terbuka di atas ranjang, penuh dengan kemeja, jas, dan berkas-berkas kerja yang tertata rapi—tipikal Om Dirga banget. Semua serba teratur, bahkan lipatan bajunya pun kayak hasil setrikaan hotel bintang lima. “Aku bantu yang bagian toiletries aja ya,” ujarku sambil berjalan ke meja rias, mengambil pouch hitam berisi perlengkapan mandinya. “Boleh. Tapi jangan sampai ketinggalan parfumku yang botol hitam,” katanya tanpa menoleh, masih sibuk melipat dasi. “Yang kamu pakai waktu pertama kali kita ketemu?” Dia menatapku sekilas, matanya menyipit geli. “Kamu masih ingat?” “Tentu aja. Wanginya khas banget, susah dilupain,” balasku sambil menaruh botol itu ke dalam koper. Om Dirga mendek

