Sudah satu minggu aku tidak bertemu dengan Om Dirga. Rasanya aneh—setiap kali dia menelpon atau sekadar mengirim pesan, selalu ada dorongan ingin mengomel, ingin memintanya segera pulang ke Jakarta. Tapi aku menahan diri, karena dia bilang masalah di sana belum juga selesai. Bahkan, kemungkinan besar dia harus tinggal di Singapura lebih dari sebulan. Sementara itu, Papa masih sering menanyakan apakah aku bisa meluangkan waktu untuk bertemu. Setelah beberapa kali menolak dengan berbagai alasan, akhirnya hari ini aku mengiyakan ajakannya untuk makan siang. Sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju restoran yang Papa pilihkan. Letaknya lumayan jauh dari butik—sekitar tiga puluh menit perjalanan. Katanya, tempat itu terkenal dengan makanan khas Solo yang autentik. Aku tidak sendirian kali

