“Selamat pagi, Sayang.” Sapaan pagi dari Om Dirga langsung membuat pipiku terasa panas dan hatiku berdebar malu. “Pagi, Om. Rambutnya klimis banget,” godaku sambil menahan senyum. “Harus klimis dong. Kan mau jalan-jalan sama—” dia sengaja menggantung ucapannya, disertai senyum menggoda. Aku hanya mendengkus pelan, lalu bergegas masuk ke dalam untuk mengambil tas. Setelah itu, aku keluar lagi, menyusul Om Dirga yang masih setia menungguku di depan pintu. “Sudah siap?” tanyanya begitu pintu di belakangku tertutup rapat. Aku mengangguk pelan, dan tanpa banyak kata, Om Dirga langsung menggenggam tanganku. “Kenapa?” tanyanya lagi saat aku terdiam di tempat. “Emang harus gandengan begini, ya?” tanyaku ragu. “Harus dong, Sayang,” jawabnya cepat. “Kita kan—” Kalimatnya tiba-tiba terhenti

