Messy Day

2960 Kata
Deya terlihat sibuk membungkus paket untuk customernya. Ceceran selotip, kertas, kantong kresek dan juga gunting membuat Erlan begitu terganggu. “Kenapa berantakan sekali Dey?” Erlan mengembuskan napas seakan mengeluarkan rasa frustrasinya. Dia melirik Deya dengan tatapan sedikit ketus. Deya mengerucutkan bibirnya. Sikap suaminya ini memang susah ditebak. Terkadang juteknya kambuh, namun di sisi lain bisa juga bersikap romantis. Rasanya sulit untuk sedikit meminimalisir ketidaksukaan Erlan akan keadaan yang berantakan. Dia seringkali bereaksi berlebihan setiap terjebak di situasi yang tak rapi dan tak teratur. Tentu Deya sudah sangat memahami watak suaminya. Dari awal menikah Erlan sudah menunjukkan watak aslinya. Kendati belakangan ini Erlan sudah mulai bersikap romantis padanya, namun dalam situasi yang berantakan, lagi-lagi Erlan kembali pada sikap neat freaknya yang memuakkan. “Kalau aku udah selesai pasti aku beresin. Kenapa kamu nggak bisa menunggu sebentar saja? Selalu saja ingin semuanya cepat rapi. Belajarlah untuk bersabar. Kalau aku beresin sekarang, nanti juga akan berantakan lagi karena masih banyak paket yang harus aku bungkus,” cerocos Deya sambil melirik tajam pada Erlan. Erlan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia menatap kembali istrinya dengan mata sedikit mendelik, “kenapa kamu nggak bisa memahamiku Dey? Aku memang kesulitan mengendalikan diri saat melihat situasi yang kacau dan berantakan. Aku juga ingin bisa bersabar, tapi aku selalu merasa nggak karuan dan lama-lama aku merasa cemas karena melihat pemandangan yang begitu berantakan. Dorongan untuk merapikan semuanya itu begitu kuat. Aku ingin melihat semuanya kembali rapi.” Erlan berjongkok dan segera memungut sisa-sisa kertas dan selotip. Dia kumpulkan semua sampah itu sebelum dibuang ke tempat sampah. Deya hanya mengelus d**a mengamati gerak-gerik Erlan yang dengan cekatan merapikan semuanya. “Aku bisa membereskannya nanti Erlan. Kamu selalu saja nggak bisa bersabar. Keadaan akan terus berantakan selama aku belum selesai,” cecar Deya. Erlan mengambil napas perlahan lalu membuangnya. “Kenapa kamu nggak berhenti jualan aja? Apa nafkah dariku nggak cukup? Aku akan menambahnya kalau masih kurang. Kamu nggak perlu jualan lagi.” Deya semakin kesal mendengar perkataan suaminya. “Kenapa kamu malah melarangku jualan? Semua yang aku suka selalu kamu larang. Aku suka jualan dari dulu. Aku juga suka melukis. Dan kamu nggak bisa memahami hal-hal yang kusukai.” Deya menaikkan intonasi suaranya. Erlan menganga, “Apa? Aku nggak bisa memahami hal yang kamu sukai? Sekarang aku tanya, apa kamu memahami apa yang aku sukai? Kamu tahu aku suka sesuatu yang rapi dan bersih tapi kamu malah seringkali berantakan. Apa itu yang namanya memahami?” Deya berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan langkah yang pendek. “Rasa sukamu itu sudah dalam tahap freak Erlan. Dan itu sangat menjengkelkan. Kamu tentu tak menyadarinya, tapi orang lain cukup terganggu dengan kegilaanmu akan kebersihan dan kerapian.” Erlan berdiri dan mendekat ke arah istrinya, “Orang yang rapi dan teratur nggak akan terganggu dengan sikapku. Orang yang berantakan kayak kamu yang akan terganggu.” Deya menajamkan tatapannya, “aku emang berantakan, nggak serapi dan sebersih kamu. Tapi aku nggak pernah komplain dengan kerjaan orang lain. Aku bisa menjaga perasaan orang lain. Aku bisa berempati. Sedang kamu, kamu sangat egois dan selalu merasa benar.” Ting tong... Pertengkaran mereka terhenti karena suara bel bergema di seantero ruang. Deya melangkah menuju pintu. Betapa terkejutnya Deya saat melihat orangtua, kakak perempuan beserta dua ponakannya berdiri di depan pintu. “Ayah, ibu, kakak, Raffi, Raffa...kalian datang nggak bilang-bilang.” Deya menyambut keluarganya dengan senyum merekah. Deya menyalami orangtuanya dan memeluknya. Dilanjut memeluk kakak dan dua ponakannya. “Rumah kamu bagus banget nak. Maaf ya ibu ayah baru bisa dateng sekarang.” Tukas Nurlina sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. “Nggak apa-apa Bu, Deya seneng banget ayah ibu, kakak dan dua ponakan Deya yang lucu nyempetin waktu datang ke sini. Deya minta maaf ya, Deya dan Erlan belum sempet main ke rumah.” “Nggak apa-apa nak. Dimana suamimu?” tanya Herman. “Ada di dalam. Kita duduk di ruang tengah aja ya.” Deya mempersilakan keluarganya memasuki ruang tengah. Erlan yang masih mematung di sana cukup terkejut dengan kedatangan keluarga istrinya. “Eh ayah, ibu, teteh, nggak bilang-bilang mau ke sini. Kalau sebelumnya bilang kan Erlan bisa menyiapkan sesuatu.” Erlan menyalami mertua dan kakak iparnya. “Nggak apa-apa nak Erlan. Kalau ayah ibu bilang dulu ntar malah ngrepotin.” Balas Nurlina dengan senyum ramahnya. “Silakan duduk ayah, ibu, teteh.” Erlan menyambut kedatangan keluarga istrinya yang sudah menjadi keluarganya dengan ramah. Dia lupakan sejenak pertengkarannya dengan Deya barusan. Herman, Nurlina dan Erlan berbincang di ruang tengah, sementara Deya dan Mita membuat es buah di dapur. Erlan cukup terganggu dengan anak-anak Mita yang berisik dan berlarian mengelilingi ruangan. Raffi berumur enam tahun sedang adiknya Raffa berumur empat tahun. Mereka berdua begitu aktif dan sesekali menggulung-gulung karpet yang menghampar di lantai serta memainkan beberapa miniatur mobil koleksi Erlan yang beberapa diantaranya diperoleh dari luar negeri. Erlan hanya bisa menahan kekesalannya melihat dua anak itu memainkan miniatur mobilnya yang sudah ia lap tadi pagi. Erlan jadi greget sendiri membayangkan tangan-tangan anak-anak itu membawa kotoran atau kuman dan kotoran itu akan berpindah ke mobil miniaturnya. Sungguh Erlan tak menyukai kondisi miniatur mobilnya yang terlihat berantakan. Erlan selalu menata mobil miniatur miliknya dengan penataan yang begitu teratur dan seragam dari bentuk dan warnanya. Kini dua anak itu mengacaukannya. Deya dan Mita berjalan ke ruang tengah dengan membawa nampan berisi es buah dan kue bolu yang sudah dipotong-potong. “Es buahnya udah jadi nih, seger banget. Ayo diminum semuanya.” Ujar Deya. Sesaat pandangannya beralih pada Raffa dan Raffi yang tengah asyik memainkan miniatur mobil. “Raffa Raffi ayo minum es buahnya.” Dua anak itu segera menghambur ke arah tante kesayangannya. Deya menuang es buah ke dalam dua gelas. Raffa terlihat antusias dan mengambil segelas es buahnya dengan tergesa-gesa, akibatnya isinya tumpah mengenai meja. Melihat situasi ini Erlan pun menganga. Untungnya dia bisa mengendalikan untuk tak memarahi anak polos itu. Deya yang paham benar akan watak suaminya langsung ambil langkah seribu untuk membersihkan tumpahan es buah. “Maaf ya Erlan, anak-anak teteh di sini malah bikin kacau.” Mita tak enak hati dengan tingkah usil dua anaknya. Jangankan di rumah sendiri, di rumah orang lain pun mereka seringkali memberantakan apa saja yang bisa mereka jangkau. “Oh nggak apa-apa teh. Namanya juga anak kecil.” Sahut Erlan. Erlan dan Deya saling berpandangan untuk sekian detik. Deya akui Erlan pintar menyembunyikan perasaannya di depan orangtua dan kakaknya. Selesai minum es buah, Deya mengambil es krim yang ada di kulkas. Es krim adalah salah satu makanan kesukaan Deya yang tidak disukai Erlan. Tapi Erlan membiarkan istrinya menyimpannya di freezer. Raffa dan Raffi juga sangat menyukai es krim. Erlan hanya bisa mencelos melihat tangan belepotan kedua anak itu memegang miniatur mobil miliknya. Hampir semua miniatur itu tak lolos dari pegangan Raffa dan Raffi. “Dey, kamu udah ada tanda-tanda isi belum?” Pertanyaan Nurlina membuat Deya tersentak dan gelagapan untuk menjawab. Bagaimana dia bisa hamil jika Erlan belum pernah menyentuhnya. “Belum Bu. Deya kan masih pengantin baru. Masa iya bisa langsung hamil.” “Kalian kan udah sebulanan nikah. Kalau dikasih cepet ya bisa aja hamil.” Balas Nurlina. Deya dan Erlan saling menatap dengan canggung dan salah tingkah. Malam itu Erlan hampir menyentuhnya jika tak ada Nathan. Dan sekarang membayangkan untuk menyentuh Deya lagi, rasanya sudah tak ingin lagi karena pertengkaran mereka sebelumnya. “Coba kalian banyak makan tauge, baik untuk kesuburan. Ayah dan ibu pingin banget melihat kalian punya momongan.” Nurlina mengerlingkan senyum. “Iya nanti cucu ayah dan ibu bertambah.” Herman tersenyum lebar. Mata Erlan sesekali mengawasi gerak-gerik Raffa dan Raffi yang masih saja berlarian ke sekeliling ruangan. Mereka menarik-narik gorden di kaca jendela samping rumah. Mita bolak-balik meminta kedua anak itu anteng namun usahanya selalu gagal. Mereka sulit sekali dikendalikan hingga membuat orang di sekitarnya kewalahan. Perfect, ruangan terlihat lebih kacau dari sebelumnya. Barang-barang dagangan Deya yang belum selesai dibungkus, koleksi miniatur mobil yang berantakan serta noda es krim tampak menempel di gorden. Erlan jengah sekali melihat keadaan ini. “Erlan, Deya ini di rumah jarang masuk dapur, semoga kamu bisa memaklumi sikapnya yang kadang ceroboh dan berantakan. Bimbing dia dengan baik. Kalau ada hal-hal yang kurang berkenan, ditegur saja.” Ucap Herman sambil melirik putrinya. Deya bersungut-sungut. Erlan mengulas senyum, “iya ayah. Erlan akan berusaha menajdi suami yang baik, yang bisa membimbing istri.” Erlan melirik Deya, sedang Deya hanya menatapnya datar. “Apa Deya bisa menjadi istri yang baik?” Gantian Nurlina yang bertanya. Erlan mengangguk, “iya Deya istri yang baik Bu. Sangat baik dan manis.” Erlan mengulas senyum manisnya sambil mengusap kepala Deya. Deya hanya terdiam dan merasa aneh dengan sikap Erlan. “Deya mau masak dan beres-beres kan?” Tanya Nurlina lagi. Erlan mengangguk, “iya Alhamdulillah Bu. Deya rajin masak, orangnya rapi, suka beres-beres, cermat, hemat, bersahaja..” Erlan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Deya melirik tajam suaminya. Dia tahu kata-kata yang meluncur dari bibir Erlan tak lebih dari seonggok kebohongan yang dibalut dengan ucapan manis. “Alhamdulillah kalau gitu. Ibu suka khawatir Deya nggak bisa menjalankan perannya sebagai istri dengan baik. Lha kalau di rumah berantakan sekali, nggak suka masak, nggak suka beres-beres, kamarnya jarang rapi.” Deya menatap tajam ibunya, “ibuuu....” Deya protes karena ibunya menceritakan dengan gamblang kejelekannya. Padahal tanpa Nurlina bercerita pun Erlan sudah paham akan sifat istrinya yang satu itu. Suasana obrolan yang santai itu terusik dengan tindakan Raffi yang tanpa sengaja menjatuhkan gelas di meja hingga suara pecahannya mengagetkan semua orang di ruangan itu. Lagi-lagi Erlan terperanjat dan kepalanya semakin pening melihat keusilan dua anak itu. “Maaf Deya, Erlan, aduh anak-anak emang usil banget. Deya minta tolong ambilin teteh sapu, biar teteh bersihin.” “Biar Deya yang bersihin teh.” Deya berjalan ke dapur untuk mengambil sapu. “Maaf nak Erlan, Raffa dan Raffi dan memang usil banget, pecicilan, malah jadi bikin kacau di sini.” Nurlina merasa tak enak hati pada menantunya. “Nggak apa-apa Bu. Anak kecil kan memang biasa pecicilan.” Ucap Erlan setenang mungkin meski dalam hati ia merasa dongkol luar biasa. Setelah mertua dan kakak ipar pamitan pulang, Erlan merasa lega. Kini dai mematung melihat ruangan yang berantakan dengan geleng-geleng kepala. Dia mengambil sapu karena melihat masih ada serpihan pecahan gelas yang belum tersapu. “Ponakanmu itu nakal banget Dey. Lihat semua jadi berantakan.” Ucap Erlan Ketus sambil menyapu. “Namanya juga anak kecil, wajar kalau usil. Kamu dulu waktu kecil juga pasti gitu. Kamu nggak perlu repot-repot membersihkan. Biar aku yang membersihkan.” Deya berusaha merebut gagang sapu dari Erlan. “Biar aku saja. Apa kamu nggak lihat hasil kerjaan kamu? Masih ada serpihan pecahan gelas. Kamu nggak bersih membersihkannya, bagaimana bisa aku ngandelin kamu untuk melakukan pekerjaan semudah ini.” Deya cemberut dan kesal karena Erlan kembali berulah. Sangat menyebalkan. Seusai menyapu, Erlan meneruskan aktivitasnya dengan melepas gorden untuk kemudian direndam karena terkena noda es krim saat tangan Raffa dan Raffi yang belepotan menyentuhnya. Wajahnya ditekuk dan beberapa kali melirik Deya dengan jutek. “Pantas saja ponakan kelakuannya begitu, tantenya aja berantakan. Bisa-bisanya satu keluarga berantakan semua.” Ujar Erlan sambil mengelap miniatur mobilnya. Deya melongo, “apa? Satu keluarga berantakan semua? Jangan bawa-bawa keluargaku Erlan. Cukup aku saja yang kamu bilang berantakan. Ibu dan kakakku tidak sepertiku. Kalaupun anak-anak berantakan ya jangan salahkan mereka. Kalau mereka udah gedhe juga pasti reda sendiri berantakannya.” Deya semakin muak dengan sikap Erlan. “Okay aku minta maaf telah menyeret keluargamu. Maksud aku itu anak-anak, bukan ayah ibu dan teteh. Namanya anak-anak itu bisa banget diarahkan Dey. Jangan apa-apa dimaklumi. Justru mumpung mereka masih kecil makanya harus diberitahu dari sekarang. Dibilangin untuk nggak berantakan. Jika ada anak yang bandel, pecicilan, maka tanyakan bagaimana cara orangtuanya mendidiknya.” Deya menatap tajam suaminya, “emangnya tadi teh Mita ngebiarin mereka? Nggak kan? Teh Mita udah berusaha bilangin mereka. Anak-anak emang lagi dalam fase yang sulit diarahkan dan suka memberontak. Aku bisa memaklumi kawalahan teh Mita. Teh Mita itu single parent. Mantan suaminya nggak pernah bertanggungjawab mengurus anak-anak atau bahkan menafkahinya. Setelah bercerai, dia mengurus kesenangannya sendiri seolah lupa dengan dua anaknya. Teh Mita juga nggak mau punya anak-anak yang hiperaktif. Beban masalahnya sudah cukup berat. Kadang dia hanya bisa membiarkan anak-anaknya memberantakan semuanya karena dia sudah terlalu capek untuk menghadapi permasalahannya selama ini.” Deya menghela napas sejenak. “Dulu teh Mira juga orangnya rapi banget kayak kamu, nggak bisa melihat sesuatu yang berantakan. Sampai akhirnya dia bermasalah dengan suaminya dan bercerai, teh Mira tak lagi menerapkan standar yang ketinggian, mau berdamai dengan apa yang tidak sejalan dengan keinginannya. Dia hanya ingin menjadi ibu yang bahagia agar tetap waras membesarkan anak-anaknya. Jangan tanyakan cara mendidiknya. Kamu nggak pernah ngrasain gimana sulitnya membesarkan dua anak seorang diri.” Kata-kata Deya meluncur begitu tegas. Erlan diam seribu bahasa. Mereka hanya saling menatap, tanpa kata. Deya berbalik dan membereskan barang-barang dagangannya. ****** Erlan menutup skripsi terakhir yang sudah selesai ia koreksi. Sampai detik ini Erlan dan Deya masih saling mendiamkan. Dan semua ini sangat berpengaruh pada penurunan konsentrasinya. Dia merasa lelah dan ingin beristirahat. Erlan beranjak lalu mematikan lampu ruang kerja yang terletak di sebelah kamarnya. Kemudian, dia melangkah masuk ke dalam kamar. Diliriknya Deya yang sudah terbaring, memiringkan badan membelakanginya. Semua kata-kata Deya ketika mereka berdebat tadi siang kembali terngiang, mengisi memorinya. Bagian yang paling tidak ia sukai saat bertengkar adalah energinya seolah terkuras habis, amarah meledak dan emosi pun tak stabil. Erlan berpikir apa mungkin dua sifat yang bertolakbelakang memang sulit untuk disatukan. Erlan memikirkan kembali perjalanan rumahtangganya dengan Deya yang terhitung masih belia, sangat belia. Sejenak ia berpikir, apa dia memang menikahi orang yang salah? Apa selamanya pernikahan tanpa cinta tak bisa diubah menjadi pernikahan normal dimana di dalamnya ada kobaran cinta dan perasaan saling membutuhkan? Tapi Erlan juga mengakui, di hatinya sudah terpercik rasa cemburu ketika Deya tampak begitu akrab dengan Nathan. Entah seperti apa perasaannya pada Deya. Erlan membaringkan badannya dan matanya awas mengamati tubuh Derra yang memunggunginya. Erlan memperpendek jaraknya pada Deya. Dia beranikan untuk mengintip sejenak wajah Deya, hanya untuk tahu apa Deya sudah benar-benar tidur atau belum. Mata Deya terpejam. Erlan menempelkan pipinya pada pipi Deya, membuat Deya meremang. Dia belum benar-benar tidur. Erlan mendaratkan kecupan di pipi Deya begitu lembut agar tak membangunkan Deya. Deya membuka matanya dan menggerakkan wajahnya agar bisa melihat wajah Erlan. Kedua ujung bibir mereka bertemu dan membuat keduanya berdebar tak menentu. Setiap kali berdekatan seperti ini selalu ada getaran yang seakan menyengat, melumpuhkan seketika hingga rasanya mereka tak mengingat apapun, tak menginginkan apa-apa selain menikmati kedekatan yang mulai terbangun secara alami. Erlan memagut bibir Deya begitu lembut lalu beralih menjadi lebih dalam dan menuntut. Deya memiringkan badannya, menghadap tubuh suaminya. Erlan mengusap pipi Deya dan tangan Deya pun melingkar di leher suaminya. Mereka berciuman seperti sudah bertahun-tahun lamanya tak melakukannya, semakin panas dan terbenam lautan gairah yang serasa memuncak. “Dey...” Ucap Erlan sambil menatap mata sayu Deya yang seakan bercerita bahwa dia menginginkan kelanjutan dari keromantisan yang baru saja terbangun. “Ya....” Jawab Deya dengan napas yang sedikit terengah-engah. “Aku minta maaf soal tadi siang. Tak seharusnya aku marah-marah dan membawa-bawa keluargamu yang sudah jadi keluargaku juga.” Tanya Erlan lagi sambil mengusap pipi istrinya. Deya tersenyum, “nggak apa-apa. Aku juga minta maaf.” “Kamu mungkin belum tahu. Aku punya kemungkinan memiliki gangguan OCPD atau Obsessive Compulsive Personality Disorder. Suatu gangguan dimana penderita memiliki sifat perfeksionisme yang berlebihan. OCPD ini ditandai dengan keasyikan pada sesuatu yang detail, teratur, seragam dan rasa sukaku pada kebersihan dan kerapian mungkin memang sudah dalam tahap freak. Setiap kali melihat situasi yang berantakan dan tak teratur, aku sangat tidak menyukainya bahkan bisa sampai cemas. Karena itu aku akan berusaha segera membereskannya dan sering menghabiskan waktu lebih lama untuk beres-beres karena aku ingin memastikan semuanya benar-benar bersih dan rapi. Aku udah berusaha untuk meminimalisir perasaan ini, tapi aku sering gagal.” Deya baru tahu fakta ini. Dari awal dia memang berpikir Erlan butuh bantuan psikolog terkait gangguan ini. Berdamai dengan gangguan psikis itu tak mudah, seperti dirinya yang sampai detik ini masih berusaha berdamai dengan ruangan tertutup dan sempit. Menyembuhkan claustrophobia itu juga tak mudah. Untuk bisa naik lift dia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memberanikan diri, itupun harus ditemani. Deya mengusap pipi suaminya, “kita memang sama-sa ma dengan berjuang Erlan. Kamu ingin lepas dari OCPD dan aku berjuang berlepas diri dari claustrophobia.” Mereka saling melempar senyum. Erlan mengecup bibir Deya sekali lagi. “Apa malam ini kamu siap?” Erlan berbisik di telinga Deya sementara jari-jarinya sudah menjelajah memasuki gaun tidur Deya untuk mencari sesuatu untuk diremas. Deya menggigit bibir bawahnya. “Kamu menginginkannya? Tadi siang ibu nanya kamu udah isi apa belum. Mereka menginginkan cucu dari kita.” Bisikan Erlan yang bercampur desahan membuat Deya semakin berdebar. “A..Aku menginginkannya tapi...” “Tapi apa Dey? Kamu nggak usah malu. Kita udah suami istri.” Deya menggingit bibir bawahnya sekali lagi merasakan jari-jari lembut Erlan yang mengusap punggungnya, seakan mencari pengait bra untuk dilepaskan. “Kita tak bisa melakukan malam ini karena....tadi sore aku baru aja dapet.” Jelas sekali tergambar kekecewaan di raut wajah Erlan. Malam ini gairahnya meletup-letup dan ia ingin memberikan nafkah batin pertama untuk istrinya tapi keadaan tak memungkinkan. Berhubungan badan pada saat istri sedang haid itu dilarang. “Yah... kok kamu nggak bilang dari tadi?” “Aku pikir kamu cuma ingin menciumku.” Sahut Deya dengan muka innocentnya. “Tadinya iya.. Tapi habis itu, jadi pingin yang lain.” Ucap Erlan dengan kecewa. “Kan bisa dilanjut kalau aku udah selesai mens.” “Biasanya kamu mens berapa lama?” “Seminggu...” Erlan semakin lemas mendengarnya. Selama semimggu ini dia harus menekan hasratnya dan bersabar menunggu sampai istrinya selesai haid. Di saat sedang ingin-inginnya bermesraan dengan istrinya, Erlan harus menelan pil pahit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN