Semesta Merestui[2]

2358 Kata
“Kalau hanya makan di sini, enggak akan bisa ganti uang kamu buat biaya mobilku, Al!" Komentar Jemma setelah mereka mendapatkan meja yang tidak bisa memilih karena hampir penuh. Tepat sekali jam makan siang. Ia pikir Althaf akan pilih restoran bintang lima. Jemma menatap selembar kertas putih dengan daftar menu makanan mereka, lainnya ada buku menu. Semua harga menunya terbilang murah, Jemma sendiri memang jarang makan di resto biasa begini yang bahkan masih perlu mencatat pesanan sendiri dengan kertas. “Harga menunya murah-murah... Yang ada sepuluh kali ajak kamu makan siang, baru adil menggantinya!" Decak Jemma lagi. “Murah?” Althaf sampai perlu mengulang kalimat Jemma, lalu jemari Jemma menunjuk salah satu gambar menu makanan. Dia mendekat, bicara lebih pelan, “nasi goreng spesial, isi komplit begini saja cuman lima puluh delapan ribu.” Althaf mengerjapkan matanya sesaat kemudian terkekeh, “murah buat kamu, Je. Kalau di Abang jangkung langgananku, bisa dapat empat porsi udah pakai ekstra telur dadar!” Jemma mundur, bersedekap “kita cari restoran lain saja, enggak sebanding sama uang kamu yang harus aku ganti.” “Bagiku malah sangat sebanding, harga makanannya memang enggak seberapa dari biaya mobil kamu.” “Terus, kalau udah tahu begitu? Kenapa masih ke sini?" “Yang buat mahal, sebanding karena makannya sama kamu. Buat dapat persetujuan kamu itu sulit, ya mahal lah sama saja. Terpenting kamu ikhlas makan siang sama akunya, traktir makannya juga.” Ia mengungkapkannya dengan menaik-turunkan alisnya. Jemma terdiam sesaat, lalu pura-pura mengalihkan tatapan. Dia merasa pipinya merona hanya dengan kalimat Althaf, “enggak usah gombal ya!" Althaf terkekeh, lalu menarik pulpen dan kertas, “aku mau pesan nasi-bebek bakar penyet saja. Kamu mau nasi gorengnya?” Jemma menggeleng pelan, lalu lihat-lihat lagi dan menunjuk nasi jeruk dengan ayam bumbu Bali. “Itu saja? Oh terus mau minum apa?” Tanya Althaf. Jemma memilih jus dan air putih, Althaf es teh manis. Althaf berdiri untuk pergi antre di kasir. Untuk memesan sekaligus membayar, Jemma tidak memerhatikan karena fokus ke ponselnya, memberitahu Melati jika ia akan kembali ke kantor sekitar jam satu pagi. Althaf kembali dan memanggilnya, “Je...” “Ya?” “Aku sudah pesan,” dia meletakkan sebuah nomor meja, “nanti pesanan kita diantar... masih menunggu, kamu tunggu di sini ya. Jangan kabur!” “Kamu mau ke mana?” Tanya Jemma memerhatikan Althaf yang masih berdiri, tidak duduk kembali di kursi yang ia tempati. “Kamar mandi,” pamitnya. Jemma memberi anggukan, membiarkan Althaf pergi. Pria itu belum kembali sampai beberapa waktu kemudian makanan mereka diantar, Jemma lebih dulu menikmati jus semangka yang segar di tengah cuaca luar yang sangat terik luar biasa. Tidak lama Althaf muncul, tapi dari pintu samping. Jemma tidak memerhatikannya tadi. Mata Jemma jatuh pada gerakan pria itu menuju ke arahnya, Althaf tampak membenarkan gulungan lengan kemeja yang dikenakannya. Rambut bagian depan juga tampak basah dan kening berkeringat tipis. “Kamar mandi dalam penuh, sampai dari luar?” “Tempat ibadahnya di luar ternyata,” “Oh,” gumam Jemma yang mengerti maksud Althaf sekalian menunaikan ibadah wajib. “Makanan kita sudah sampai semua?” “Sudah, dari dua menitan lalu.” “Ya sudah kita mulai makan,” angguk Althaf. Jemma menarik makanannya, begitu juga Althaf. “Je, sibuk hari ini?” sembari menikmati makanannya, Althaf membuka obrolan. “Setiap hari juga sibuk, apalagi kalau sudah bulan bagus untuk gelar acara pernikahan.” “JeFa Event Organizer, nama depannya dari namamu sendiri bukan?” Kepala Jemma memberi anggukan, “iya, namaku.” Itu pun sudah pergantian nama. “Aku sempat baca mengenai artikel mengulas EO milikmu, pas beberapa bulan. Diberi kepercayaan untuk pernikahan anak Menteri?” Jemma tahu artikel mana yang Althaf maksud. Beberapa bulan lalu memang EO miliknya berkesempatan diberi kepercayaan untuk mengurus pernikahan besar salah satu putri Menteri. Itu pengalaman yang membuat nama JeFa EO miliknya naik, bahkan dapat klien besar-besar lagi. “Kamu mendirikannya sendiri?” “Iya, memulainya masih usia dua puluh satu tahun, selesai kuliah. Waktu itu event-event kecil saja. Aku malas gabung urus bisnis Papa, sudah ada Mas Eka dan Darby juga di sana. Cukup untuk bantu Papa-Mama. Terus Papa pinjamkan tambahan modal.” “Pinjam?” Althaf memastikan tidak salah dengar. Jemma lebih dulu mengambil satu suapan, mengunyah dan menelannya. “Iya, aku yang mau. Papa mau kasih percuma awalnya. Aku hanya enggak mau nanti bisnis yang dibesarkan susah payah sendiri, diklaim milik bersama jika pakai uang orang tua. Apa bedanya aku mau mandiri kalau begitu? Terus Papa setuju, aku baru bisa kembalikan tiga tahun lalu, sebelum memutuskan lanjut kuliah, dan bisnisku masih bisa berjalan dalam jangkauanku terutama sudah dapat orang-orang yang bisa kupercaya.” Althaf memberi anggukan, bisa merasakan kegigihan Jemma untuk bisnisnya. Sementara itu Jemma cukup terkesiap dengan dirinya sendiri, yang bisa lugas mengobrol dengan Althaf mengenai kehidupan pribadinya. “Kenapa? pasti kamu berpikir, sebenarnya aku enggak benar-benar mandiri? Bisnisku jalan karena ada Papaku?” Satu alis Althaf naik mendapati asumsi Jemma terhadap tanggapannya, yang bahkan Althaf belum mengatakan apa pun. “Sudah biasa kok, bahkan dari orang-orang terdekatku sendiri sering bilang kalau JeFa EO milikku enggak akan bisa sebesar, sukses sekarang tanpa sokongan Papa. Ya, memang Papa ada kontribusi besar terhadap kelancaran bisnisku.” “Keberhasilan bisnismu berkat kamu yang mengusahakannya hingga sebesar sekarang. Harusnya orang-orang tidak hanya melihat ke sana saja, bantuan Papa kamu. Padahal ada juga lho yang disokong besar-besaran oleh orang tuanya, tapi bisnisnya nggak ada satu pun yang berhasil.” Jemma mengerjap pelan mendapati nada serius Althaf. "Dan Jeje, kamu enggak usah dengarkan orang-orang yang melihatmu dari sisi kurangmu saja. Kamu yang jalani prosesnya. Kata ibuku, bahkan saat kita baik pun masih sering dicari buruknya sama orang-orang yang memang hatinya enggak bersih. Tapi, itu bukan berarti kita harus berhenti baik. Karena menjadi manusia yang baik atau buruk, urusannya bukan hanya untuk dapat tempat dihati sesama manusia, melainkan jadi urusan kita sama Tuhan.” Selain semalam, siang ini pun Althaf menunjukkan sisi yang akhirnya bisa membuat Jemma bisa melihat dewasanya seorang Althaf. Jemma yakin memang orangnya saja yang suka menambahkan sisi santai dan jahilnya. Dia tetap memiliki sisi dewasa untuk usianya yang Jemma tahu. Mendapati Jemma terdiam, lalu senyum terlihat di wajah yang biasa kaku itu, membuat sisi jahil Althaf muncul kembali, “kenapa? kagum ya sama ucapanku?” Jemma berhenti tersenyum, kemudian mengedikkan bahu dan mengungkapkan dengan jujur, “aneh saja bisa ngobrol serius sama kamu.” Althaf memaku tatapannya lekat pada wanita yang membuatnya semakin ingin dekat. Lalu mereka lanjut makan, sampai Althaf bertanya, “makananmu, bagaimana? Sesuai ekspektasi enggak?” “Enak, tapi nasi jeruknya kurang.” Althaf jadi ingat ibunya, selain nasi liwet andalannya pun sering membuat nasi jeruk, “lain kali coba buatan ibuku,” “Ibumu?” “Iya, aku yakin kamu suka buatan Ibuku. Nasi jeruk, atau lebih spesialnya nasi liwet. Sudah teruji lidah bukan orang biasa...” Jemma jelas tidak mengerti maksud Althaf. Sedangkan yang Althaf maksud adalah lidah kakak iparnya, seorang Sky Xabiru Lais. Dari tadi beberapa kali Althaf menyebut nama ibunya, membuat Jemma bertanya lagi dengan penasaran, “kamu dekat banget ya sama ibumu?” Bisa dikatakan Jemma sendiri, selain tidak dekat sama kakak-kakaknya, pun tidak dekat dengan orang tuanya terutama Mama. Jarang menghabiskan waktu bersama. Darby yang lebih dekat ke Mama. “Iya. Karena sedari kecil sekali, ayahku sudah meninggal. Ibu, orang tua yang kumiliki dan mengusahakan yang terbaik untukku dan kedua kakakku. Tujuan hidupnya hanya ingin lihat kami tumbuh menjadi manusia yang baik, dan sukses. Apa menurutmu, anak laki-laki yang dekat dengan ibunya aneh?” tanya Althaf lagi. “Aneh? Justru menurutku seharusnya memang anak dan orang tuanya bisa dekat, termasuk ikatan batin satu sama lainnya.” Bukan seperti dirinya, yang terasa jauh sekali pun sedang kumpul bersama-sama. Bahkan sejak semalam, orang tuanya belum ada yang menanyakan kabarnya. Pun Jemma sendiri enggan untuk mengabari. Obrolan sudah memasuki sesi mengenal pribadi masing-masing sejak tadi, sampai akhirnya makanan mereka habis, berpindah ke perut yang terasa kenyang sekali. “Sudah selesai, atau mau tetap di sini?” Jemma meraih tasnya, “sudah, aku harus segera kembali ke kantor. Kamu juga, kan?” “Iya, ya sudah ayo! Aku nebeng ya ke kantorku. Searah kok ke kantor kamu.” Jemma mengiyakan, lalu mengambil dompetnya, “bayarnya di mana, langsung kasir?” “Sudah dibayar, tadi sekalian aku pesan makanan.” Ucap Althaf, dan saat Jemma akan bicara sudah lebih dulu tangannya ditarik Althaf pergi. “Al perjanjiannya enggak kayak begitu ya tadi, makanya aku setuju lunch sama kamu. Kalau dibayari kamu juga, apa bedanya—“ Althaf berbalik setelah sepanjang jalan menuju mobil Jemma berada, Jemma terus saja mengomel, “kalau aku minta kamu terima aja, kamu pasti enggak terima.” “Ya, jelas enggak!" Jemma mengecek uang cashnya, baru akan mengeluarkannya saat Althaf lebih dulu menarik pintu mobil, mendorong Jemma. “Al!” “Aku kasih rekeningku saja ya, atau aku lebih senang kita atur waktu buat jalan sebagai gantinya lagi...” Jemma mendelik sebal, “akal kamu memang sengaja, iya kan? Biar terus merasa aku berhutang, dan enggak bisa menolak.” “Je—“ “Cepat sini rekening kamu, aku ganti semuanya! Atau aku benaran enggak mau ya bertemu kamu lagi?!” Althaf menemukan tatapan serius dari Jemma, membuat ia tidak berkutik dan akhirnya memberikan nomor rekeningnya. “Aku ganti semuanya. Dari urus mobil tadi, dan—“ “Bagian lunch jangan diganti, sama saja kamu melukai harga diriku sebagai laki-laki, Je.” Jemma hendak protes, tetapi akhirnya memberi anggukan, “biar cepat beres, dan enggak lama-lama debat ditempat parkir!” Althaf tertawa, “kamu yang bikin lama, Jeje sayang...” sambil mengusap kepalanya. Jemma sampai terdiam, jantungnya mulai kembali menemukan ritme meningkat. Sedangkan Althaf menutup pintu untuknya, lalu masuk ke belakang kemudi. Jemma sudah mengganti biaya mobilnya saja, seperti yang Althaf sepakati. “Lho kok kamu lagi yang nyetir?” Jemma baru menyadarinya setelah mobil melaju membawa mereka meninggalkan tempat makan siang bersama pertama mereka. Althaf yakin akan ada kebersamaan lain berikutnya. “Kamu tadi enggak berhenti ngomel sih, sampai enggak sadar duduk di sana. Aku nyetir sampai tempat kerjaku saja.” Jemma akhirnya membiarkan, lalu ponselnya dapat panggilan masuk. Jemma berbicara dengan Melati mengenai pekerjaannya. Althaf juga diam, memberi Jemma ruang untuk fokus. Dia hanya sesekali melirik wanita itu, tersenyum senang sekali karena berhasil mengajaknya makan siang dengan taktiknya. Beberapa saat Jemma akhirnya selesai bicara dengan asistennya, dia belum menurunkan tangan sepenuhnya ketika dering ponselnya kembali terlihat. Tapi, kali ini tidak seperti sebelumnya yang segera direspons, Jemma hanya memandangi dan tampak enggan sama sekali hingga deringnya berhenti sendiri. Barulah Jemma menurunkan ponsel, dia kembali hanya diam sepanjang perjalanan mengantar Althaf lebih dulu. *** Ternyata Althaf bekerja di perusahaan besar, Jemma tidak menanyakan posisinya di sana. Setelah Althaf turun dan Jemma berpindah ke belakang kemudi, lalu mereka berpisah untuk lanjutkan kesibukan masing-masing. Althaf mengirimkan pesan, memintanya barhati-hati pun terima kasih atas kesediaan makan siang bersama. Hari Jemma akan jauh lebih baik sebenarnya, jika saja tadi tidak dapati panggilan telepon dari Rifky. Iparnya yang ternyata masih saja mengganggu. Mengabaikan Rifky sudah ia lakukan dalam setahun ini, dan Rifky tidak pernah menyerah lalu berhenti. Sama seperti siang ini, saat Jemma sudah sampai di gedung EO miliknya. Melati menghampiri, kemudian memberitahu, “Mbak Jeje, ada tamu... sudah menunggu dari beberapa menit lalu.” “Siapa?” “Ipar Mbak Jeje yang ganteng itu, Pak Rifky...” kata Melati yang memang tidak pernah tahu masa lalu mereka. Sekali pun Melati sudah ikut kerja lama dengannya, Jemma tidak membagi kehidupan pribadinya. “Mbak...” panggil Melati yang bingung saat Jemma samai berhenti melangkah. “Kamu persilakan dia menunggu? Kenapa enggak minta pergi aja, kan aku lagi enggak di kantor? Terus tadi di telepon kamu enggak lapor, Mel?! Melati agak tersentak dengan perubahan sikap Jemma, tetapi kemudian menggelengkan kepala pelan, “Pak Rifky yang mau menunggu. Aku udah mau beritahu, tapi Pak Rifky bilang kalau ia yang mengabari Mbak Jeje.” “Sama siapa lagi?” “Sendirian, Mbak... Uhm itu orangnya sudah lihatin ke sini.” Jemma menoleh, dan benar saja Rifky sudah melihat ke arahnya. Menunggu di ruang tunggu bersekat kaca biasa Jemma menerima dan diskusi dengan kliennya. Jemma menghela napas dalam-dalam, meminta Melati lanjut bekerja dan ia terpaksa menghadapi pria masa lalu yang sudah jadi iparnya. Ia membuka pintu kaca, lalu masuk sambil memberi tatapan dingin, “Je—“ Jemma tidak menutupi kejengkelannya sama sekali, “aku yakin kamu ngerti maksudku, meminta kamu menjauh dariku... bersikap seperlunya hanya depan Darby dan keluarga. Bahkan sikap ini juga yang kamu minta waktu itu? Tapi, belakangan... kamu terus saja menyulitkan hidupku.” “Aku datang ke sini, karena khawatir Je... Sejak kejadian semalam. Aku pikir kamu nginap, ternyata pas pagi diberitahu Iyang, kamu bersikeras untuk pulang ke apartemen.” “Cuman jariku yang kegores ujung pecahan kaca, tapi sikap kamu yang menempatkan kita dalam bahaya. Kamu enggak peka apa sama perubahan sikap Darby?! Bahkan dia...” Jemma langsung menahan luapannya, Rifky jelas tidak boleh tahu jika semalam ia tidak sengaja mendengar pembicaraan Darby saat bersamanya. Alasan yang membuat Jemma memilih pulang ke apartemen. “Je...” Rifky mendekat, memberi tatapan yang menimbulkan keresahan dihati Jemma. “Darby pasti lagi capek saja, yang kamu khawatirkan tetap akan terjaga rapat. Bahkan sekali pun kamu enggak menjaga jarak dariku.” Jemma hanya ingin tertawa hambar mendengarnya, “kamu maunya begitu?” “Iya.” Jemma langsung mengangkat tangannya, kemudian memberi jari tengah tepat di hadapan Rifky, “aku tidak mau, dan kamu enggak bisa memaksaku.” “Je—“ “Kamu tahu pintunya, kan? Pekerjaanku masih banyak, bukan cuman ngurusin b******n kayak kamu saja! Sana pergi!” Usir Jemma dengan tegas. Rifky tetap di tempat, “aku datang karena khawatir, bahkan aku sengaja bawa makanan untuk kita berdua makan siang bersama. Kamu malah bersikap begini padaku, Je...” Jemma memilih bungkam. Ia langsung bersyukur sekali makan siang dengan Althaf tadi. Rifky mengambil satu langkah lagi, kemudian mengatakan dengan cukup jelas sambil memandangi wajah Jemma, “sikap kamu malah buatku yakin satu hal, Je....” Jemma mengepalkan tangan, tidak akan menanggapi. Hingga kalimat selanjutnya membuat Jemma tidak tahan untuk mendorongnya saat Rifky mengatakan, “kalau kamu masih mencintaiku!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN