bc

Happier Then Ever

book_age18+
729
IKUTI
11.6K
BACA
love-triangle
family
HE
age gap
fated
second chance
friends to lovers
kickass heroine
heir/heiress
blue collar
drama
tragedy
sweet
bxg
lighthearted
serious
kicking
bold
witty
city
office/work place
affair
like
intro-logo
Uraian

Althaf Kalfani, anak bungsu dari tiga bersaudara, dikenal sebagai si jahil penuh gaya santai yang tak pernah benar-benar dianggap dewasa oleh keluarganya. Di usia 25 tahun, meski sudah bekerja, ia masih suka mengganggu, bersaing perhatian dengan keponakan, dan tak pernah terlihat serius dalam apa pun—terutama urusan hati. Sampai suatu hari, dunia santainya terguncang saat ia terlibat dalam kekacauan kecil bersama seorang perempuan misterius yang jauh dari kata 'santai'.

Jemma Fateena Kaamla-Mahawirya hidup dalam garis ketat aturan keluarga, menyimpan luka masa lalu yang tak ingin ia buka kembali. Usianya 29 tahun, dan ia hanya ingin hidup tenang tanpa campur tangan siapa pun. Namun susunan hidupnya mulai kacau saat seorang pria konyol, usil, dan jauh lebih muda darinya mulai muncul terlalu sering dalam hidupnya—mengusik tembok pertahanannya seperti badai, mulai merepotkan, membingungkan, tapi juga diam-diam menyembuhkan.

Antara kekacauan yang tak disengaja dan rasa penasaran yang perlahan tumbuh, dua dunia yang sangat berbeda mulai dipertemukan.

Mungkinkah keduanya menemukan detak yang seirama, memiliki keinginan dan tujuan bahagia yang sama dalam garis semesta tak terduga ini?

***

"Ya ampun, bocah satu ini mulai usaha lagi!"

Lelah menghadapi tingkahnya, ia hendak berbalik pergi namun sebuah tangan mencekal agar tetap berdiri di sana. Tawanya berangsur hilang, bersamaan tatapan menyorot berbeda sambil satu kalimat kembali berujar, "aku minta kamu berhenti panggil aku bocah, aku pria dewasa. Mau bukti?"

chap-preview
Pratinjau gratis
Prolog
“Janji ya sama aku, suatu hari nanti kalau pun hubungan kita harus berakhir... kasih akhirnya yang enggak menyisakan sakit lama apalagi sampai aku trauma. Kalau kamu juga jahat ke aku, rasanya setelah itu aku enggak akan bisa percaya sama siapa-siapa lagi nantinya.” “Eh malah bengong kayak lihat penampakan! Hello... Manusia lho ini, bukan syaiton nirojim!” sebuah seruan bernada gemas tersebut menarik wanita itu dari sekelebat ingatan yang tiba-tiba menyusup dan mulai menggoyahkannya lagi. Ia mengerjap, menemukan wajah pria asing untuknya, tapi sepertinya pria itu cukup percaya diri bahwa mereka mengenal atau sudah pernah bertemu sebelumnya. “Mbak Ferrari! Wah udah lupa, ya?!" Jemma nama wanita tersebut, masih terdiam sambil mengeratkan pegangan pada tas yang tengah digenggamnya. Siapa yang jamin bahwa pria yang sok kenal sok dekat dengannya ini adalah orang baik? Bisa jadi ada maksud buruk, misal mengincar tasnya. Ia mengernyitkan kening, coba mengenalinya "siapa? Kita pernah bertemu? Dan, Mbak Ferrari? Namaku bukan Ferrari!” Senyum tengil yang muncul berhasil menarik sebuah ingatan Jemma pada seseorang yang pernah bertemu dengannya, memiliki jenis senyum yang sama. Bukan karena terlalu menarik sampai ia ingat, justru karena begitu menyebalkan jadi mudah diingatnya. “Pernah, beberapa bulan lalu. Mbak memundurkan mobilnya brutal sekali, sampai enggak lihat ada si Jalu di belakang. Bukannya ganti rugi, Mbak malah panik terus nangis, memutar balikan fakta seolah aku yang malah dikira habis ngapa-ngapain kamu.” Jemma menarik napas dalam-dalam, semakin ingat dengan siapa ia berhadapan sekarang. “Udah ingat, sekarang?” Termasuk Jemma tahu panggilan Mbak Ferrari memang disematkan untuknya karena mereka tidak berkenalan hari itu. Pria ini tidak menuntut ganti rugi karena melihat Jemma sudah menangis sampai gemetar. Alasannya sebenarnya bukan karena mundur brutal sampai tidak melihat ada motor pria itu, ia menangis untuk alasan sebelum tragedi yang terlibat antara mereka. Ia berniat ganti rugi, tapi pria itu menolak asal Jemma berhenti menangis. “Kamu mau menuntut ganti ruginya sekarang?” tanya Jemma lagi sambil memerhatikan wajahnya, dari penampilannya terlihat jika pria ini mungkin berusia lebih muda darinya. Walau panggilan ‘Mbak’ sering dilakukan sebagai panggilan sopan terhadap perempuan baru dikenali, sekali pun belum mengenali secara pribadi. “Ah Enggak, si jalu cuman lecet dikit saja sih...” dia menatap Jemma yang kemudian melirik ke belakangnya. Tampak serius, kemudian tiba-tiba ia meraih tangannya. “Eh, Mbak—“ “Mereka melihat kita, lanjut bicaranya nanti. Jangan di sini!” katanya, tanpa aba-aba segera menarik paksa supaya pria asing itu mengikutinya. Tidak mengelak walau bingung, akhirnya dia mengikuti meski tidak tahu tujuannya. “Terburu-buru amat sih, Mbak? Ini mau lanjut bicara di mana? Jangan tempat sepi ya—“ “Sudah jangan banyak tanya, tinggal ikuti saja!” Hardiknya menghentikan. “Mau nyulik aku ya, Mbak?!” Dia memutar bola matanya, tidak melayani kalimat dengan nada gurau hangat pria itu. "Astaga, yang benar saja! Menculiknya? Apa wajahku ada tampang kriminal, sampai dia berpikir begitu?!" Gerutu batin Jemma. Ia hanya mencari jalan supaya keluar dari zona tertangkap basah dua orang yang paling malas ditemui, sejak melihatnya tadi ia memang berencana menghindar, tapi malah bertemu pria ini. Sayangnya, pusat perbelanjaan di sana terlalu besar sampai rasanya mencapai pintu terdekat untuk keluar jauh sekali. Ditambah keberuntungan sedang tidak berpihak padanya saat langka-langkah di belakang lebih cepat dari mereka. “Jemma! Jemma! Jeje!" Seruan itu mau tidak mau membuat langkahnya terpaksa berhenti. Jemma menahan napas sejenak, bersamaan sebuah celetukan, “oh, jadi nama kamu, Jemma dipanggilnya Jeje?” Ia melepas napasnya, dan menoleh pada pria yang tangannya digenggam. Jemma cepat-cepat melepaskan sambil tatapan mata mereka bertemu, pria itu kembali tersenyum. “Je...” suara memanggil tersebut begitu dekat dari posisi mereka, Jemma dan pria asing itu berbalik. Menemukan sepasang pria-wanita berdiri di hadapan mereka. “Kita sudah lihat kamu lho, enggak bermaksud sengaja menghindari kami, bukan?” Jemma menelan ludahnya susah payah, kemudian ia berupaya menarik sudut-sudut bibirnya agar membentuk senyum meyakinkan kalau yang dituduhkan tidak benar. Padahal memang begitu nyatanya. “Aku enggak lihat ada kalian tadi.” Jawabnya terlalu kaku, bahkan pria di sampingnya saja bisa membaca bahwa ekspresinya kentara sekali berbohong. Dia memilih diam, mengamati keadaan di sana, “kalian sedang apa di sini? Ada acara?” “Oh, Mas Rifky temani aku ambil pesanan saja. Sekalian pacaran, ya Mas?” ujarnya. Pemilik nama Rifky yang berdiri dengan dekapan di lengannya itu hanya tetap berwajah dingin tanpa senyum sama sekali. Tidak mengiyakan atau menyangkal. Matanya kemudian beralih pada pria yang berdiri masih disisi Jemma. “Sama siapa, Je?” Jemma menoleh, pria itu dengan inisiatifnya memperkenalkan diri, “namaku, Althaf. Kami ti—“ Tiba-tiba lainnya, Jemma mendekat sekaligus membelitkan tangan di lengan pria itu. Menunjukkan sikap spesial yang seolah sengaja ingin dipamerkan, “karena sudah bertemu di sini, sekalian saja aku kenalkan kalian dengan Althaf.” “Teman dekat priamu?” akhirnya satu pertanyaan pertama kali dilemparkan Mas Rifky. Jemma memberi senyum sangat tipis, pun anggukkan, “ya!” menegaskan. Penegasan yang membuat pria di sampingnya langsung menoleh padanya tetapi cengkeraman di lengan memintanya untuk tidak merusak apa pun rencana Jemma mengatakan pada dua orang di depannya. Sesaat hening, dua pasang mata di hadapan mereka langsung memandangi Althaf dengan tatapan sulit diartikan—pastinya mereka mengamati begitu lekat berikut dengan penilaian dalam kepala mereka. Sementara Althaf sendiri begitu tegang, senyum tengil yang biasa ia munculkan lenyap tak ingin muncul. Satu pernyataan palsu bagai serangan tiba-tiba, pun membuat ia bingung dan sangat tidak siap. Mengapa Jemma harus melakukan, mengakui jika ia sebagai teman dekat prianya alias kekasih di hadapan dua orang ini? Senyum muncul di wajah Darby, “kamu harusnya memperkenalkan kami dengan cara yang lebih tepat, Je...” protesnya dan mengulurkan tangan, “aku Darby, Kakak Jemma... dan ini suamiku, Rifky.” Althaf terpaksa membalas uluran tangan itu, kembali menyebut namanya seolah mengikuti skenario yang Jemma ciptakan secara mendadak, “Althaf... Panggil Al saja.” Salaman tangan mereka terurai, Darby masih diposisinya saat mengatakan, sementara Rifky hanya tetap memandangi, “bulan depan ulang tahun Bokap. Kamu enggak lupakan, Je?” Jemma mengangguk, “ya, aku ingat.” “Nah, kurasa sangat tepat sekali jika kamu juga mengajak Althaf ke rumah. Memperkenalkan pada Papa-Mama dan lainnya sebagai pacar kamu. Datang ya, Al!” Jika Darby mengajak dengan semangat, sebaliknya ketegangan langsung meliputi tubuh Jemma. Menyadari satu tindakan impulsifnya hari ini tidaklah sesuai dengan sasarannya saja, dan ia menyesalinya. Detik selanjutnya, dengan alasan ada acara lain dan terburu-buru, Jemma mengajak Althaf untuk segera beranjak dari depan kakak-iparnya. Begitu sudah tidak terlihat, Althaf berjalan mendahului, lalu menghadang jalan Jemma. "Tunggu, sebentar!" Althaf mencegah, tidak ada senyum jahil, tatapannya sangat serius “kurasa, kali ini memang kita perlu bicara sungguh-sungguh. Bukan lagi tentang kejadian beberapa bulan lalu, tapi skenario beberapa detik tadi yang tiba-tiba kamu lakukan. Kenapa, mengakui aku sebagai pacarmu di hadapan dua orang tadi?” Kata Althaf, bahkan mereka satu sama lain baru mengenal nama masing-masing detik itu juga. Gilanya, langsung mengakui sebagai kekasih! Hanya sekian detik tatapan mata mereka beradu, kemudian Jemma memalingkan wajah tampak tidak ingin menjawab pertanyaan menuntut dari Althaf, sebab ia sendiri bingung. Mengapa ia harus melakukannya?! "Jelaskan. Bukan menangis lagi, Jeje!" Althaf sudah ikut memanggil seperti orang-orang yang mengenalnya. Jemma bersedekap, kembali berhadapan "siapa juga yang mau menangis lagi?!" deliknya tidak terima. Ia tidak secengeng itu, hanya kebetulan saja pertemuan pertama saat ia sedang benar-benar mendekap luka amat sangat menyakitkan. Bahkan luka yang mengendap lalu mengeraskan hatinya hingga sekarang atau seterusnya nanti.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Stuck With You

read
73.5K
bc

(Mantan) Suami

read
131.0K
bc

Karma : Kupermalukan Di Akad Nikahnya

read
203.0K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
20.6K
bc

Sweetest Pain || Indonesia

read
76.2K
bc

Growing Pains || Indonesia

read
34.8K
bc

Sekretarisku, Istriku

read
86.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook