Mengaku Pacar

1290 Kata
“Iya, Ibuku sayang... Ini mampir sebentar ke minimarket. Udah pulang kok, sebelum jam sebelas—“ ucapannya berhenti bersamaan dengan langkahnya. Mata Althaf terbelalak melihat motornya tengah tergeletak mengenaskan, “Astagfirullah si Jalu!” “Al, ada apa? Si Jalu kenapa?” Ibu ikut bernada cemas setelah mendengar kalimat terkejut putranya. “Bu, nanti aku jelaskan! Darurat, bu!” “Iya, darurat apa? Aa perlu ke sana? Kasih tahu posisi kamu.” “Ah, kalau aku butuh bantuan. Aku telepon Ka Sky atau Aa pasti. Sudah ya, bu. Assalamualaikum!” Cepat-cepat Althaf berhentikan teleponnya, itu pun ia tidak ketinggalan dengan salamnya. Ada yang perlu ia urus, terutama menuntut ganti rugi pada pengemudi mobil mewah berwarna merah tersebut. Sang Ibu pasti tahu ‘si Jalu’ sebutan tak asing untuk motor kesayangan si bungsu. Pasti telah terjadi sesuatu. “Weh, kenapa ini si Jalu sampai rebahan begini?!” Althaf langsung berlari. Ia memang mampir di minimarket yang sedang sepi. Bahkan tadi hanya baru ada motornya, tidak ada orang yang bertugas mengatur parkir juga jika sudah lewat dari jam sepuluh malam. Althaf mendekat, yang langsung dilakukannya ialah berusaha membangunkan motornya sendiri lalu memeriksa. Menemukan beberapa body motor yang lecet, bahkan kaca spionnya retak. Setelahnya ia mendongak tepat menatap mobil Ferrari yang masih hidup, pengemudinya masih belum turun juga untuk menemuinya atau bahkan punya inisiatif membantunya tadi. “Sudah salah, malah tetap diam saja. Sinting ini orang!” pemuda itu langsung terpancing emosi, ia mengambil langkah lebar dan membungkuk sedikit untuk mengetuk mobil Ferrari mewah. “Woy, tanggung jawab! Malah diem aja!” Tidak ada respons, beberapa kali melakukannya memaksa Althaf membawa wajahnya untuk mengintip, tepat pintunya dibuka dan itu mengenai wajahnya, “aduh!” Sudah motornya ditubruk, sekarang wajahnya terkena pintu karena terbuka tepat depan wajahnya. Althaf mengusap-usap wajahnya tepat ia akhirnya tahu bahwa pengemudi mobil itu seorang wanita, Althaf menelan omelannya. Akan lebih mudah jika sesama pria. “Mbak bisa nyetir, enggak sih? Apa baru belajar huh?! Lihat itu si Jalu sampai lecet-lecet!” Hardik Althaf kesal. Perempuan itu mempertemukan tatapan mata mereka, detik yang sama Althaf melihat mata sembabnya. “Sa-saya salah!” terbata-bata ia mengatakan. “Sudah tahu salah, minta maaf kek... apa kek—eh Mbak!” Omelan Althaf berubah kebingungan saat tubuh wanita itu gemetar sambil menangis. Air matanya benar-benar jatuh, mengalir di pipinya. Althaf melihat semuanya cukup jelas. “Lah Mbak, yang korbankan saya. Kok malah Mbak yang nangis!” decaknya dan tangis wanita itu semakin deras. Rasa marahnya tadi berubah jadi kepanikan, Althaf paling tidak bisa melihat wanita menangis—apalagi ia berpikir alasannya menangis karena mungkin kalimat dan reaksi Althaf menekan atau terlalu kasar. Ditambah ada tiga motor, memasuki area minimarket. Mereka memandang penasaran pada mereka. “Mbak merasa bersalah, atau tadi kalimat saya terlalu kasar? Duh, cup-cup...” tanya Althaf hati-hati dan coba menenangkan seperti ia biasa lakukan jika keponakannya menangis. Wanita itu menyusut air mata dengan punggung tangannya. Althaf sebagai anak Ibu yang berbakti, ia dididik untuk tidak kasar pada wanita. Althaf langsung menoleh kembali ke minimarket, “ikut saya!” Wanita tanpa nama itu menurut tanpa banyak protes. Althaf mengajaknya duduk depan minimarket, “tenangkan diri Mbak dulu. Tunggu sebentar...” Wanita itu masih menunduk, coba mengendalikan tangisnya sampai Althaf kembali membawa sebuah minuman kemasan botol, lengkap tisu juga. Ia bukakan tutupnya, lalu memberikan padanya, “sudah nangisnya ya, Mbak... nanti orang-orang berpikir saya apa-apain Mbak lho. Padahal Mbak yang habis apa-apain si Jalu.” Wanita itu mendongak, kembali menatap wajah Althaf yang kali ini tidak ada ekspresi kesal, melainkan senyum khas yang terlihat tengil sekaligus tulus, “kamu sudah enggak marah sama saya?” Dia mengusap tengkuknya dan berkata, “masih kesal sih, tapi ya udah lah... saya paling enggak bisa lihat perempuan nangisnya sampai gemetar begitu, berasa lihat Ibu atau Teteh Sea yang nangis.” “Saya nangis bukan—“ “Si Jalu cuman lecet dikit, kaca spionnya bisa diganti juga. Bukan masalah besar buat saya. Lain kali menyetirnya lebih hati-hati ya, Mbak.” Susulnya cepat, masih memberi senyum yang sama. *** Althaf Kalfani tidak menduga jika kejadian beberapa bulan lalu membuatnya tetap mengingat saat tadi sekilas melihat sebuah mobil yang rasanya sama, ia tidak yakin sampai mencari dan melihat wanita tersebut memanglah orang yang sama. Jemma, akhirnya Althaf mendapati nama wanita tersebut. Niatnya hanya ingin menyapa, tapi malah ada skenario mendadak yang melibatkannya. Berhasil membuat Althaf tidak ingin tersenyum sama sekali, kecuali merasa bingung. Ia menatap Jemma, menuntut penjelasan sampai-sampai tidak memikirkan untuk mencari tempat duduk yang nyaman dulu. “Jeje?” Jemma malah tertarik dengan panggilan Althaf. “Nama kamu, bukan? Tadi mereka panggil kamu begitu.” Santai sekali ia memastikan ulang. Hanya tahu nama depan dan panggilan, bahkan lengkap pun belum sama-sama tahu. Malah sudah buat pengakuan palsu jika mereka dekat. “Kita enggak seakrab itu sampai kamu panggil namaku Jeje, ya!” Jemma tidak suka membiarkan orang asing ikut memanggilnya begitu, hanya untuk orang-orang yang memang mengenalnya saja. Althaf terkekeh, lalu bersedekap. Jitu ia punya kalimat tepat untuk membalas kalimat Jemma, ”lah kamu, enggak seakrab itu tapi ngaku-ngaku pacar aku!” Nada formal dan kaku saat berinteraksi mereka benar-benar hilang, berubah santai. Jemma langsung tertampar dengan tindakan impulsif yang seharusnya tidak ia lakukan. “Kenapa kamu melakukannya? Mereka itu, kakak dan iparmu?” tanya Althaf sesuai pengamatannya. Jemma kembali diam, seolah pertanyaan Althaf tersulit didunia. Lebih tepatnya ia enggan menjelaskan alasannya. “Je—“ “Kamu enggak perlu tahu alasannya!” “Kok begitu? Lah, kamu melibatkan aku Je!” Althaf tidak terima, pun sebenarnya bingung sekali dengan tingkah Jemma. “Kamu juga jangan cemas, aku bisa atasi mereka. Tidak perlu diteruskan perihal tadi,” apalagi sampai mengajak Althaf ke rumahnya, bertemu orang tua dan keluarga untuk melanjutkan sandiwara yang disesalinya sekarang. Althaf menggelengkan kepala, pertemuan pertama ia takjub dengan Jemma yang bukannya meminta maaf dan bertanggung jawab, malah menangis sampai gemetar seolah ia korbannya. Pertemuan kedua, ia niat menyapa malah diseret dalam pengakuan sebagai pacar palsu depan kakak dan iparnya. Althaf jadi merinding sendiri dan berpikir... Jangan-jangan perempuan ini aslinya enggak waras lagi! Batin Althaf. “Tadi nama kamu siapa?” Jemma bertanya, memastikan. “Althaf Kalfani,” jawabnya. Jemma memberi anggukan singkat saja, “lupakan saja yang terjadi tadi.” “Cuman itu? Enggak mau perkenalkan namamu balik, gitu?” Althaf mencegahnya untuk segera pergi. “Perlu?” tanyanya dingin. “Ck!” Althaf gemas sendiri menghadapi wanita ini, “menurut kamu?” “Tadi sudah tahu namaku—“ “Jemma saja?” “Jemma Fateena Kaamla-Maawirya... Sekali aja, aku enggak mau ngulang kasih tahu!” ia menyebutkannya. Althaf terdiam, ia yakin tidak akan hafal begitu saja nama sepanjang itu dan terasa sulit diucapkan olehnya, “panjang dan berat banget. Pasti ngabisin tempat di KTP kamu!” Jemma tidak menanggapi ucapan tak penting. Jemma hanya tetap berdiri memandanginya, sampai suara dering ponsel menginterupsi mereka. Althaf meraih ponselnya, kemudian melihat nama iparnya membuatnya segera menjawab sambil meringis. Dia datang untuk menemani dan menjaga iparnya yang tengah hamil, selama kakaknya yang seorang Pilot tengah bertugas. Tadi ia pamitnya sebentar ke supermarket, padahal karena melihat Jemma dan mengikutinya. Selama Althaf menjawab teleponnya, Jemma pilih mengambil kesempatan untuk mundur dengan langkah pelan dan meninggalkan Althaf sebab ia memang tidak mau meneruskannya. Berpikir bahwa seharusnya memang tidak ada kelanjutan apa-apa lagi dari pertemuan kedua mereka, walau masih mempertanyakan tindakannya sendiri. Sementara itu, Althaf menoleh dan menyadari Jemma pergi diam-diam. Jika tidak karena sedang bersama iparnya, ia akan mengejar Jemma kembali. Ia menurunkan ponselnya, menatap Jemma yang semakin menjauh. Ia terpaku dan berujar, “Jemma Fateena Kaamla-Maawirya. Keberatan nama kayaknya, makanya aneh dan banyak drama!" ia terkekeh sendiri, “lah aku langsung hafal namanya!” takjub sendiri, ia terkekeh dan segera berbalik ke arah berlawanan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN