Flash Sale

1152 Kata
Jemma Fateena Kaamla-Maawirya, nama yang panjang dan berat itu ternyata mudah sekali melekat di ingatan Althaf. Sampai sudah beberapa bulan berlalu dari terakhir bertemu, belum ada pertemuan lagi. Lalu malam ini, tiba-tiba Althaf mengingatnya dan terpikirkan untuk mengetikkan nama tersebut dengan lengkap di pencarian internet, ada artikel yang memuat potret Jemma yang menarik atensinya. Althaf juga dapatkan media sosialnya, tampak sepi hanya ada dua postingan dan pengikut yang berjumlah ratusan saja. Lalu ia tidak melewati setiap kata dalam susunan artikel tersebut, berisi informasi positif. Dari sana juga ia dapat informasi mengenai Jemma, salah satu pemilik dan pendiri sebuah JeFa Event Organizer. Salah satu EO besar yang ada di Jakarta. Karena terlalu menyelami informasi tersebut, Althaf bablas sampai larut malam. Althaf selalu menetapkan alarm pada jam yang sama setiap harinya. Pagi ini, suara nyaring alarm tidak mampu menembus lelapnya. Sampai beberapa menit kemudian, pintunya digedor-gedor dari luar bersama suara Ibu yang dari lembut sampai terdengar tidak sabar, dan akhirnya masuk. Anggita Kartika, wanita paruh baya itu masih memakai mukena saat harus menghela napas dalam-dalam melihat putra bungsunya masih lelap, “benar aja, masih tidur. Adek...” Althaf kadang dipanggil adek, sekali pun ia sudah besar, karena ia bungsu. Ibu menghidupkan lampunya, kemudian mengguncang pelan tubuh putranya sambil membangunkannya, “subuhnya mau jam berapa?” “Uhm... Lima menit lagi ah bu... masih ngantuk!” Ia akhirnya menjawab meski dengan nada tidak terima diganggu. “Lima menit sebelum jam tujuh maksudnya? Atuh sudah habis waktunya, udah bangun!” “Ibu...” ia merengek. Ibu tetap berdiri, menemukan putranya bangun dan duduk walau matanya masih tertutup. “Ibadah tuh buat diri sendiri saja kok banyak alasan, ditunda-tunda. Bagaimana mau doain Bapak dan Ibu nanti.” “Iy-iyaaaaaa ah Ibu sudah nyinden saja.” “Kalau enggak mau dengar Ibu ngomel, ya bangun.” “Ini sudah bangun, bu!” “Bangun apanya? Mata masih rapat begitu? Cuman tidur pindah posisi sambil duduk saja namanya!” Si bungsu memaksakan matanya terbuka, tampak berat, Ibu kemudian mendesah panjang, “umur saja sudah dua puluh lima, katanya sudah dewasa. Tapi, salat subuhnya masih harus digubrak-gubrak Ibu juga!” Ia menyengir, Ibu tidak akan berhenti mengoceh sebelum melihat Althaf langsung beranjak dari tempat duduk dan saat akan memeluk Ibu, malah menahan dengan tangannya, “ke kamar mandi dulu, nanti waktunya keburu habis.” Ibu sudah akan berbalik, saat Althaf kembali berujar, “sudah dewasa lho bu, siap kasih tambahan incu-incu yang lucu.” “Sok bilang siap kasih incu, calon saja belum ada yang kamu bawa. Kenali ke Ibu.” Dia menyengir, membiarkan ibunya berlalu tetapi pintu kembali terbuka dan Ibu berujar, “benar sudah siap kasih tambahan Incu ke Ibu?” Althaf menelan ludahnya susah payah, bisa menebak apa yang ada di pikiran ibunya. “Ah elaaaah, Ibu mah enggak bisa salah pancingan dikit—“ “Minggu depan, antar Ibu pengajian. Sekalian Ibu kenali sama anaknya teman Ibu yang pernah diceritakan itu lho, Al. Hebat dia, dapat pertukaran Mahasiswa dari IPB ke Jerman. Mana sudah cantik, sholehah juga. Keluarganya juga agamanya bagus, dek. Usianya dua puluh tahun ini. Kenalan saja dulu ya, katanya siap nikah muda, dan nurut saja sama pilihan ibunya. Cocok pasti, beda lima tahun.” Althaf langsung berjalan cepat, kemudian mendorong Ibu lembut, “Ibu masih belum selesai—“ “Waktu subuhnya nanti habis, bu. Sudah ya!” Ia segera menyengir, kemudian menutup pintu sekali pun ocehan Ibu yang gencar menjodoh-jodohkannya dengan anak teman-temannya masih terdengar. Althaf menghela napas dalam-dalam, sambil menggerutu, “mentang-mentang Teteh sama Aa sudah sold out, sekarang aku yang di flash sale, ibu-ibu! Seperti enggak yakin kalau aku ini bisa cari calon istri sendiri!” *** Althaf sedang bersantai saat Ibu memanggilnya, lalu meminta bersiap. Ternyata kakak iparnya mengabari kontraksi dan akan melahirkan. Althaf menyetiri, karena kondisi kakaknya, Athaar yang terlihat cemas. Ibu bersama mereka. Ia hanya menurunkan Ibu dan kakaknya depan IGD rumah sakit RMC. Baru lanjut mencari tempat parkir, ia menyusul ke IGD bersamaan dengan seorang wanita yang turun dari mobil dan tampak terburu-buru. Meski dari samping dan sudah beberapa bulan tidak bertemu, ia cukup mengenalinya, “Je...” Jemma terlalu fokus mencari seseorang, Althaf jadi teralihkan untuk mengikuti wanita tersebut. Mengamatinya, terlihat menelepon seseorang yang tampak mengarahkannya. Althaf tetap mengikutinya sampai tiba-tiba Jemma berbalik dan langkahnya berhenti. Tatapan mata mereka beradu, ia masih tersambung dengan ponsel yang perlahan diturunkan, langsung ia akhiri. “Kamu...” Jemma terkejut sekali kembali bertemu Althaf di sana. Matanya perlahan menyipit, memberi tatapan tuduhan, “pasti kamu sengaja mengikutiku, kan?!” Althaf menarik sudut bibirnya mendengar tuduhan sembarang itu, juga tersenyum karena Jemma masih mengenalinya, “IGD rumah sakit, tempat umum. Kalau mengikuti sih iya, tadi pas banget lihat kamu masuk IGD terburu-buru. Aku pikir kamu sakit.” Jemma menghela napas dalam, sulit percayai ucapannya. “Kok bisa ada di sini?” “Mbakku mau melahirkan.” “Jeje!” sebuah seruan membuat Jemma dan Althaf menoleh. Darby Femina Zara, kakak perempuan Jemma berjalan menghampiri. Althaf juga cukup masih mengingatnya. Ia mendengar Jemma berdecak, “harusnya kamu enggak mengikuti aku tadi, semoga Darby enggak mengingat kamu!” “Kayaknya masih ingat, mukaku kan gampang diingat dan ngangenin.” Celetukan Althaf membuat Jemma mendelik kesal, bisa-bisanya saat ia sendiri tengah panik karena lagi Darby melihat ia bersama pria yang sempat diakui pacarnya, Althaf malah santai dan mengatakan kalimat narsisnya. Jemma baru kali ini mendapati seorang sangat percaya diri begitu. Darby semakin dekat, “Jemma, Iyang sebelah sini!” “Oh iya!” Jemma pikir Darby akan berbalik menunjukkan arah tanpa memerhatikan siapa yang tengah bersamanya, sayangnya lagi-lagi salah saat Darby melirik Althaf, “lho kamu datang sama pacarmu? Aku kira sendiri!” “Bu—“ Kalimat Jemma tidak selesai saat kakaknya kembali bicara. “Pas ulang tahun Papa saja kamu bilang Al enggak bisa datang, ini Pas Iyang drop diajak pasti sengaja? Iyang bakal semangat sembuhnya kalau kamu kenalkan pacarmu. Sudah ayo! Kebetulan Papa-Mama juga sudah datang!” Bukan hanya Jemma yang menelan ludahnya susah payah, Althaf juga tiba-tiba merasa bibirnya kering. Ternyata Darby mengingatnya, dan akankah skenario buatan Jemma waktu itu berlanjut? Jemma memberi lirikan pada Althaf, untuk ia mencari jalan keluar supaya tidak ikut dengannya. Apalagi neneknya yang dipanggil Iyang itu, memang sangat ingin melihat Jemma mempunyai kekasih yang serius, sebagai cucu satu-satunya yang belum menikah dan tidak pernah mengenalkan kekasih pada keluarga. Althaf tidak membaca maksud Jemma yang terus memberi kerlingan mata, ia malah bertanya, “mata kamu kenapa? Kelilipan?” Geez! Jemma hanya bisa menghela napas panjang serta gemas... Althaf kembali bicara begitu melihat mata Jemma berubah jadi begitu melotot tajam, dan wajahnya tegang, "atau kamu kebelet mau ke kamar mandi? Wajah kamu tegang banget, sayang..." jiwa jahilnya muncul diwaktu tidak tepat, hanya berkeinginan menjahili Jemma saja. "Arghhh dasar pria sinting! Apa panggilnya, sayang? Kesambet penunggu IGD apa gimana sih nih orang?! Oh ya ampun, aku rasanya ingin sekali menjambak rambutnya!" geram Jemma hanya bisa membatin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN