Episode 9

1877 Kata
Waktu baru menunjukkan pukul 18. 30 WIB. Namun Alexa sudah merasa mengantuk. Ia baru saja pulang bekerja dari kebun. Setelah seharian bekerja, tubuhnya kini meminta jatah beristirahat. Seumur hidupnya baru beberapa hari inilah ia bekerja begitu keras bagai kuda. Dan kini ia lelah lahir batin. Setelah membersihkan diri, ia bermaksud beristirahat sejenak. Mungkin dengan berbaring sebentar rada capeknya akan hilang. Alexa memejamkan mata sembari meringis kesakitan. Tubuhnya serasa remek semua saat ia membaringkan diri di peraduan. Sudah tiga hari ini ia menjadi buruh pemetik cabe di perkebunan Gala. Tugasnya bekerja dimulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul setengah enam sore. Bukan itu saja. Sehari setelah mengantarkannya bekerja dengan mobil pick up yang nyaris lepas pintunya, Gala memberinya alat transportasi sendiri. Berupa sebuah sepeda tua yang kerap ia lihat dalam film-film perjuangan tempo dulu. Bayangkan saja, sebelum ia berdiri seharian memetik cabe, kakinya sudah terlebih dulu digunakan untuk mengayuh sepeda. Bagaimana betisnya tidak gempor coba? Alexa sebenarnya sangat ingin melambaikan tangan ke kamera. Akan tetapi jika mengingat dirinya yang akan dinikahkan dengan Brandon apabila ia menyerah, maka ia pun berusaha menerima semua cobaannya dengan ikhlas. Terlebih lagi papanya kemarin tiba-tiba melakukan video call via ponsel Pak Hamid. Papanya melakukan sidak, apakah ia menaati hukumannya atau bermain curang. Untung saja saat itu ia sudah mandi dan berkebaya rapi. Padahal lima belas menit sebelumnya, ia masih menggunakan pakaian pinjaman dari Gala. Ya, sudah tiga hari ini Gala meminjamkan pakaiannya. Gala juga mengultimatum. Setelah ia menerima gaji pertamanya beberapa hari lagi, maka ia harus membeli pakaian sendiri. Sistem gajian sebagai buruh di sini adalah setiap akhir pekan. Dasar boss pelit, masalah baju saja perhitungan. Mana bajunya kebesaran semua lagi. Saat ia mengemukakan ingin menggunakan pakaian biasa, papanya tetap tidak membolehkan. Peraturan tetaplah peraturan. Papanya hanya memberi kelonggaran dengan memakai pakaian yang sesuai selama bekerja. Di luar itu, ia harus tetap memakai kebaya. Papanya memang teguh memegang ucapan. Sekali tidak, maka akan tetap tidak. Alexa terbangun saat mendengar suara derit pintu. Ia seketika terduduk tegak. Telinganya memang terlatih untuk mendengar suara walau tengah tertidur sekali pun. Terlahir sebagai seorang putri mafia, mengajarkannya tidur dengan telinga tetap terbuka. "Wah, Mbak Milah terbangun ya? Maaf ya, Mbak. Saya hanya bermaksud menyusun kain." Yanti, salah seorang kerabat Pak Hamid berdiri di ambang pintu kamar. Yanti memang bekerja paruh waktu di rumah ini. Tugasnya hanya mencuci gosok. Setelah Pak Hamid dan Mbok Sari kembali ke rumah ini, kedua orang tua Bagus, berikut Bagus sendiri telah kembali ke rumah asal mereka. Karena kehadiran mereka untuk menjaga rumah ini sudah tidak diperlukan lagi. Untuk itulah Mbok Sari kemudian mencari orang untuk membantu mencuci gosok dua hari sekali di rumah ini. Hingga Yanti yang masih berkerabat jauh dengan Mbok Sari datang mengajukan diri. Alexa ingat, sebenarnya Mbok Sari sebenarnya tidak tega memakai jasa Yanti yang tengah mengandung. Apalagi kalau siang hari Yanti juga bekerja di pabrik bawang goreng milik Gala. Mbok Sari takut kalau nanti Yanti kelelahan. Namun Yanti terus memohon- mohon. Ia harus membantu suami bekerja katanya. Pendapatan suaminya yang hanya seorang buruh di pabrik saos, tidak mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Saat ini di pelukan Yanti tampak kain-kain yang baru saja disetrika. Ada sprei, selimut dan pakaian dalam pelukannya. Sementara seorang gadis kecil berusia sekitar tiga tahun memegangi ujung gaun Yanti. Gadis kecil ini tampak takut melihatnya. Yanti ini masih sangat belia. Usianya baru dua puluh tahun menurut Mbok Sari. Tetapi ia sudah memiliki seorang anak yang berusia tiga tahun. Bayangkan usia berapa dirinya menikah. Selain itu saat ini Yanti juga tengah mengandung. Perutnya tampak mulai membukit. "Nggak apa-apa, Yanti. Saya belum tidur kok. Saya hanya meluruskan punggung yang pegal-pegal saja. Ini anakmu ya, Yanti?" Alexa membuat air muka lucu, agar si gadis kecil tidak takut lagi padanya. Usahanya berhasil. Si gadis kecil nyengir melihatnya memoyongkan bibir seraya menaikturunkan alisnya dengan jenaka. Ia memang belum pernah bertemu dengan si gadis kecil. Tetapi ia sudah tahu mengenai Nunik melalui cerita Mbok Sari. Yanti memang kerap membawa Nunik selama bekerja. "Iya, Mbak. Namanya Nunik. Maaf ya kalau Mbak merasa terganggu dengan kehadiran Nunik. Habis di rumah tidak ada yang menjaga," ucap Yanti resah. Suara Yanti terdengar sedih dengan air muka lelah. Kasihan sekali Yanti ini. Dalam keadaan hamil masih harus bekerja keras. Dengan membawa anak lagi. "Tidak apa-apa, Yanti. Nunik anak baik kok. Iya 'kan, Nunik?" Alexa bangkit dari ranjang. Ia kini berjongkok di hadapan Nunik. Mencubit pelan pipi gembilnya yang lucu. Selanjutnya Alexa berdiri dan mengambil alih kain-kain dari pelukan Yanti. "Sini kain-kainnya. Biar saya susun sendiri, Yanti. Kamu sudah boleh pulang. Istirahat saja di rumah." Alexa meminta Yanti agar segera kembali ke rumah. Ia kasihan melihat anak dan ibu yang tampak kelelahan ini. "Bukannya suamimu pukul lima tiga puluh sore sudah pulang bekerja, Yanti? Seharusnya Nunik bisa beristirahat di rumah dengan ayahnya bukan?" Pertanyaannya menghadirkan seulas senyum miris di wajah Yanti. "Setiap pulang bekerja, ayahnya selalu melepas lelah dengan bermain catur atau mengobrol dengan teman-temannya di warung depan rumah, Mbak Milah. Makanya Nunik jadi terpaksa saya bawa." "Wah, enak sekali. Setahu saya, kalau siang kamu juga bekerja di tempat pengemasan bawang goreng bukan? Jadi yang lebih capek itu kamu. Karena setelah pulang dari pabrik, kamu harus bekerja lagi di sini. Enak banget suamimu Yanti. Kamu banting tulang di sini, eh suamimu malah bermain catur. Besok-besok kalau kamu ke sini, titipkan saja Nunik padanya. Agar ia bisa mengasuh Nunik di rumah, saat kamu bekerja. Biasakan untuk saling bertenggang rasa, Yanti. Jangan biarkan suamimu bertindak seenaknya sendiri." Alexa geregetan mendengar cerita Yanti tentang sosok suaminya. Selain egois, suaminya ini tidak berperasaan sama sekali. Hal seperti ini tidak bisa dibiarkan. "Ya begitulah laki-laki, Mbak Milah. Rata-rata laki-laki yang seperti itu. Mereka tidak peka terhadap kesulitan istri. Beda dengan kita kaum perempuan." Mendengar kalimat pemakluman tidak adil Yanti ini, membuat Alexa naik darah. Hal seperti inilah yang membuat kaumnya semakin tidak dihargai laki-laki. "Kamu salah! Kepekaan tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin. Kepekaan itu berhubungan dengan rasa. Analoginya begini, jika kita memiliki rasa pada seseorang. Entah itu rasa sayang, peduli, cinta, maka kita otomatis akan peka dengan kondisi dan perasaan orang tersebut. Benar tidak?" Kalimatnya membuat ujung hidung Yanti memerah. Alexa tahu bahwa sesungguhnya Yanti membenarkan analogi yang ia ucapkan tadi. Alexa sebenarnya kasihan pada Yanti. Namun ia lebih kasihan jika tidak menyadarkan Yanti dan membiarkan tenaganya terus dieksploitasi oleh suaminya. Hal seperti ini tidak bisa ia biarkan. Kaumnya harus lebih cerdas untuk bisa membedakan antara dicintai atau dimanfaati. Oleh karena itulah ia terus menggas pendapatnya. Yanti ini harus dibuka lebar-lebar kedua mata dan telinganya. "Jadi, ketika suami kita berlaku seenaknya, yakinlah permasalahannya bukan pada masalah kepekaan. Suamimu bukan tidak peka, tetapi tidak peduli. Dan menurut saya, indikasinya bisa saja karena tidak cinta. Garis bawahi kata-kata bisa saja ya, Yanti? Karena itu sifatnya belum pasti. Saya tidak mau sembarang menuduh. Itu menurut saya pribadi." Yanti terdiam. Ia tidak membantah namun juga tidak mengiyakan. Ia memang mendengar selentingan akhir-akhir ini di pabrik saos. Bahwa suaminya tengah dekat dengan seorang buruh baru yang cantik. Hanya saja setiap kali ia menanyakannya kepada suaminya, maka adu mulut lah yang terjadi. Dan biasanya diakhiri dengan minggatnya sang suami ke rumah orang tuanya. Ia mengerti. Bahkan sangat mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh Milah itu adalah benar adanya. Hanya saja ia merasa terlalu sakit untuk mengakuinya. "Jadi ketika suamimu tidak berusaha meringankan keletihanmu dengan membantu menjaga Nunik, tapi malah asyik bermain catur dengan teman-temannya, itu artinya dia sudah tidak cinta," tandas Alexa lagi. Ia ingin Yanti sadar dan tidak dimanfaatkan lebih lama lagi, dengan kalimat cinta pembodohan. "Coba ingat-ingat saja dulu sewaktu kalian masih berpacaran. Segala urusan sudah makan atau belum saja dia ditanyakan bukan?" Kali ini Yanti terisak. Apa yang dikatakan Milah menohok jantungnya. Ia tahu Milah benar. Bahkan sebelum Milah mengatakannya. Hanya saja ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sudah punya anak satu dan tengah mengandung pula. Ia bisa apa? "Ah, belum tentu juga Mbak Milah. Mungkin suami saya ingin bersama teman-temannya setelah lelah bekerja," bantah Yanti dengan suara di hidung. Dadanya perih oleh kalimat pembohongannya sendiri. "Ya sudah kalau begitu maumu. Saya hanya mau bilang, berhentilah memaklumi perilaku egois dan tidak pedulian suamimu. Nanti, kamu yang sakit hati sendiri. Sudah disakiti, eh masih saja berusaha membohongi diri. Sakitnya itu double, Yanti." Yanti tidak menjawab kalimatnya. Sebaliknya ia segera permisi dan tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya. Sebelum keluar kamar, Nanik tersenyum dan Melambaikan tangan pada Alexa. Alexa membalas sembari tersenyum lebar. Ia berharap saat Nunik besar nanti, ia tidak senaif ibunya. *** Alexa menghempaskan bokongnya di atas tikar. Pukul dua belas siang seperti ini adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh semua buruh. Mereka bisa makan siang sembari beristirahat sebentar. Terlalu lama berdiri membuat kakinya kram. Ditambah cuaca panas dan matahari yang rasanya ada di ubun-ubun, Alexa merasa seolah-olah ia bisa meleleh. "Eh, Milah. Kamu pernah bilang kalau kamu suka durian 'kan?" Wiwid menepuk bahunya. Mendengar kata durian mulut Alexa rasanya berliur. Durian dan dirinya adalah soulmate. Alias tidak terpisahkan. Dan semenjak tiba di desa ini ia belum pernah makan durian lagi. "Ia, suka banget. Semenjak di sini gue belum pernah makan durian lagi. Emang lo tahu di mana ada tempat menjual durian?" tanya Alexa antusias. "Tenanggg. Ini aku bawakan lima buah durian besar-besar. Semoga kamu suka. Sebentar." Wiwid beranjak dari tikar. Ia kemudian berjalan ke belakang, dan kembali dengan menyeret sebuah goni. Aroma durian pun menguar di sana. "Wuidihhh... lo emang temen yang baik, Wid. Tau aja gue udah ngidam durian." Alexa beringsut dari tikar dan mengangkat durian begitu saja yang digeret-geret Wiwid. Wiwid dan beberapa rekannya melongo. Mereka pasti tidak biasa melihat perempuan mampu mengangkat benda-benda berat. Cuih, lemah! "Kamu kuat sekali ya, Milah? Makan apa sih kamu?" Rita bersiul melihat keperkasaannya. "Ya, makan durianlah. Mana parangnya? Sini, biar gue buka duriannya." Alexa menggosok-gosok kedua tangannya. Ia sudah tidak sabar ingin menikmati buah durian. "Nah itu dia. Aku lupa membawa parang. Kamu pinjam dong dengan Pak Gala, Milah. Di gubuk Pak Gala ada parang tuh." Alexa memutar bola mata. Sejenak tatapan melayang melintasi perkebunan. Sekitar delapan meter di belakangnya, tampak Gala tengah berbincang serius dengan Bagus dan beberapa pekerja lainnya. Ia sungkan jika harus mengganggu Gala. Malas adalah kata yang lebih tepat. Namun saat pandangannya membentur buah durian yang kuning keemasan, rasa sungkan pun segera ia enyahkan. Dengan langkah lebar-lebar ia segera mendekati Gala. Kehadirannya membuat kelompok kecil para laki-laki itu berhenti berbicara. "Permisi. Pak Gala, saya boleh tidak meminjam barang yang ada di dalam pondok?" Mendengar pertanyaannya, Gala menaikkan satu alisnya. "Siapa yang ingin kamu bacok, Midun?" Kalimat Midun yang Gala ucapkan membuat kelompok kecil itu mengulum senyum. "Bapak eh durian, Pak." Karena sewot Alexa sengaja memplesetkan kalimatnya. Biar saja. Emang enak mengata-ngatainya di depan orang banyak seperti ini. "Ayo," jawab Gala singkat. "Bapak nggak usah ikut. Biar saya ambil sendiri saja di pondok," tolak Alexa. Ia malas berdua-dua dengan Gala. Dikhawatirkan mereka berdua akan perang mulut lagi jika berduaan terlalu lama. "Saya tidak mau meresikokan barang-barang yang ada di sana hilang," tukas Gala santai. Eh buset, dia kata gue maling kali ya? Tetapi demi durian tercinta, ya sudahlah. Anggap saja ia tengah berbicara dengan orang gila. "Mas Gala," Baru saja mereka berdua akan berjalan ke pondok, sebuah suara lembut nan merdu menginterupsi. Ia dan Gala sama-sama menoleh ke arah asal suara. Terlihat seorang gadis cantik nan modis menghampiri. Sepertinya gadis inilah yang diceritakan oleh teman-temannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN