Pemimpin Tanpa Penerus

1178 Kata
Saat Marissa mendatangi kamar Stella keesokan paginya, wanita paruh baya itu menemukan Stella masih tergeletak begitu saja dalam posisi yang sama seperti saat Xavier meninggalkannya semalam. Melihatnya yang tak bergerak sedikitpun, awalnya, Marissa sempat mengira Stella tak mampu bertahan dari kebrutalan Xavier. Namun, saat Marissa menghampirinya dan memegang dahinya, wanita paruh baya itu menarik nafas lega saat menemukan Stella masih bernafas. Nafas Stella terasa lemah dan tubuhnya mengalami demam tinggi. Dengan perasaan khawatir, Marissa bergegas menghubungi dokter pribadi keluarga Leone untuk datang ke mansion Leonel. Saat melihat kondisi Stella, sang dokter hanya mampu menatapnya miris. Meski kasihan, namun, sang dokter tahu dirinya tak mampu melakukan apapun untuk membantu menjauhkan gadis malang itu dari nasibnya. Yang ia bisa hanyalah mengobati luka-luka Stella dan memberikan obat yang bisa membantu gadis itu merasa lebih baik, serta memastikan tidak ada luka yang tertinggal di tubuh Stella. Salep untuk lebam, salep untuk area kewаnіtaannya, obat penurun panas, obat penahan sakit, obat anti inflamasi, antibiotik, vitamin, dan berbagai macam lainnya, diresepkan sang dokter untuk Stella. Setelah kepergian sang dokter, Marissa kembali menemani Stella. Membantu gadis itu meminum segala macam obat-obatannya, sekaligus memberitahukan aturan minumnya. “Ma-Marissa…” Stella yang sudah sadar pada saat dokter memeriksanya, memanggil dengan ragu-ragu. “Apa?” “Ba-bagaimana dengan o-bat…. Obat pencegah kehamilan…” Stella bertanya dengan nada yang tak bisa dijelaskan. Sesaat wajah Marissa memucat. Tetapi, detik berikutnya, Marissa sudah mampu mengatur raut wajahnya agar terlihat biasa saja. “Aku akan mengambilkannya.” Dengan langkah cepat, Marissa keluar dari kamar Stella. Tak lebih dari 5 menit, Marissa sudah kembali dengan satu strip tablet obat berwarna putih, dan memberikannya kepada Stella untuk diminum. Keesokannya, sorot sinar matahari dari sela-sela tirai membangunkan Stella. Terkejut melihat hari yang sudah siang, Stella langsung melompat bangun dari tempat tidurnya. Baru saja kedua kakinya menjejak lantai, gelombang rasa sakit dan nyeri kembali menerjang seluruh tubuh Stella, membuatnya kembali terjatuh ke atas tempat tidur. “Sedang apa kau? Siapa yang memberikan izin padamu untuk bangun dari tempat tidur?” Stella yang masih berusaha menenangkan diri dari tubuhnya yang sakit, menengok cepat ke arah pintu kamarnya yang baru saja terbuka lebar. Marissa melangkah masuk sambil membawa sebuah nampan yang berisi makanan dan obat-obatan Stella. “A-aku harus bersiap-siap, Marissa. Aku sudah terlambat ke peternakan.” Stella kembali meringis saat rasa sakit kembali menderanya di setiap gerakan yang dilakukannya, terutama di bagian bawah diantara kedua kakinya, meski hanya bergerak ringan. “Tidak perlu. Kau dibebaskan dari seluruh tugas, sampai tubuhmu pulih dan kembali sehat.” Marissa menjawab cepat, tanpa menatap ke arah Stella sedikitpun. Marissa kembali menyibukkan diri dengan mempersiapkan meja kecil untuk Stella makan diatas tempat tidur, dan menata makanan serta obat yang dibawanya ke atas meja itu. “A-apakah Tuan Xavier yang memerintahkannya?” Marissa melirik sesaat, ketika mendengar pertanyaan itu terlontar dari bibir kering Stella. Marissa bisa melihat binar harapan di mata biru itu, meski Marissa tidak mengerti apa yang diharapkan Stella dari Xavier. “Tidak. Aku yang melarang mereka mengganggumu. Pekerjaan di peternakan dan di rumah ini akan tetap selesai, meski tidak ada dirimu.” Marissa menjawab dengan acuh tak acuh sambil menyodorkan sendok pada Stella untuk mulai menghabiskan makanan yang dibawanya. Sekilas Marissa bisa melihat kekecewaan di sorot mata Stella, sebelum gadis itu menundukkan kepala dan menatap makanan yang dibawanya. Awalnya Marissa mengira, Stella tidak menyukai makanan yang disiapkannya, baru bibirnya terbuka untuk mengungkapkan kekesalannya, suara lirih Stella terdengar. “Te-terima kasih, Marissa. Atas semua yang kau lakukan untukku. Ini pertama kalinya aku beristirahat lama sejak menjadi seorang budаk.” Suara Stella perlahan menguat, kata-katanya terucap bersamaan dengan senyum manis yang terukir di bibirnya untuk Marissa. Terpana sesaat. Marissa hanya merespon dengan anggukan kepala. Lalu dirinya kembali fokus mempersiapkan obat-obatan yang akan diminum Stella. ====== “Saya sudah memberikan beberapa obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Maria. Menurut dokter, luka-lu…” Xavier berhenti menulis dan mengangkat wajahnya menatap Marissa. Sontak tatapan itu membuat Marissa langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Xavier tak pernah meminta diberitahukan apapun tentang keadaan Stella, meski begitu, Marissa tidak pernah absen melaporkan segalanya. Mendapatkan kembali ketenangannya, Xavier melanjutkan pekerjaannya. Wajahnya tetap datar dan dingin, alpa dari segala macam emosi. “Dia menanyakan siapa yang memberikan perintah agar dia dapat beristirahat dan memulihkan diri.” Marissa melanjutkan dengan hati-hati. Bahu Xavier menegang, tangannya berhenti menulis. Kepalanya kembali terangkat dan menatap Marissa dengan tajam tanpa sepatah katapun terucap. “Saya mengatakan, kalau saya yang memberi perintah…Saya tidak menyebut nama Tuan sedikitpun, sesuai dengan yang Tuan perintahkan.” Marissa cepat-cepat meneruskan ceritanya. Tubuh Xavier kembali santai, kepalanya kembali menunduk melanjutkan membaca dokumen yang sejak tadi sedang dikerjakannya. “Dia meminta obat pe-pencegah ke-kehamilan.” Kali ini bahkan Marissa tergagap saat melaporkan. Kepala Xavier langsung terangkat, seluruh tubuhnya terlihat tegang. Wajahnya yang selalu datar tanpa emosi, kali ini terlihat penuh kemarahan dan kebencian. Dahinya berkerut dalam, menandakan dirinya merasa tidak senang. “Lalu?” Saat Xavier berbicara, suaranya tidak pernah meninggi ataupun keras, tetapi terasa begitu mematikan untuk yang mendengarnya. “A-aku…Sa-saya memberikan obat pencegah kehamilan 72 jam.” Kedua tangan Marissa saling meremas di depan tubuhnya, menandakan kegugupannya. Xavier terdiam cukup lama. Sampai akhirnya bibirnya kembali bergerak. Kata-kata yang dikeluarkannya terdengar begitu dingin tanpa emosi. “Kau seharusnya mengatakan padanya untuk tidak perlu khawatir. Ayahnya sudah memastikan kalau apa yang ditakutkannya tidak akan pernah terjadi.” Marissa menundukkan kepala. Suaranya sarat dengan kesedihan. “Saya tahu, bukan tempatku untuk mengatakan hal tentang Anda. Bagaimanapun juga Anda adalah seorang Pemimpin dari keluarga Leone. Seorang ketua mafia.” “Seorang Kepala Mafia yang sangat kuat tetapi mandul? Seorang Pemimpin yang tidak akan pernah memiliki penerusnya?” Bibir Xavier terlihat sedikit bergetar. Sorot matanya dingin membeku seperti dinginnya kutub utara. “Anda adalah seorang Ketua Mafia yang memimpin anak buahnya dengan tangan dingin, untuk mendapatkan kemenangan, membebaskan kami semua dari perbudаkan.” Marissa mengatakan semua itu tanpa ragu sedikitpun. Ada kebanggaan yang terselip di setiap kata-katanya. Di seluruh keluarga Leone, hanya Marissa, Alex, dokter pribadi keluarga dan Xavier sendiri, yang mengetahui tentang kemandulan Xavier. Bahkan Veronica saja tidak tahu apapun. Xavier tak mengatakan apapun lagi dan kembali bekerja. “Gadis muda itu…Nadira…” Marissa kembali memulai. “Ada apa dengannya?” Xavier bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang dipegangnya. “Dia masih tetap datang setiap pagi, menangis dan memohon agar diizinkan untuk masuk dan bekerja di mansion.” Xavier tidak memberikan tanggapan apapun. Dia terus sibuk dengan tumpukan dokumen yang berada di atas meja kerjanya. “Dia ingin bekerja di mansion, bukan menjadi pelayan tetapi menjadi budаk. Dia tak akan menyerah. Dia hanya ingin bersama dengan mantan Nona Mudanya, Stella.” Marissa meneruskan kata-katanya meski tanpa tanggapan. Menit-menit berlalu tanpa Xavier mengatakan apapun. Matanya terus sibuk membaca dokumen, tangannya sibuk menandatangani setiap lembar yang perlu ditandatanganinya. Marissa menarik nafas panjang perlahan. Dia sudah menyerah untuk membujuk Xavier hari ini dan berbalik pergi, berniat mencobanya lagi besok, namun, tiba-tiba Xavier berkata, “Jika besok dia datang lagi, tunjukkan tempatnya tinggal dan berikan dia seragam yang seharusnya.” “Baik, Tuan.” Marissa membungkuk penuh semangat memberi salam. Senyum lebar menghiasi wajah keibuannya saat dia berbalik dan berlalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN