Sejak hari kedua dirinya berada di dalam ruang sempit di bawah tanah ini, Stella sudah kehilangan perhitungan berapa lama dia sudah berada di sana. Hari-harinya hanya dilalui dengan meringkuk kedinginan. Tanpa bisa melihat matahari.
Sel yang ditempati Stella, merupakan sebuah ruangan yang sangat kecil dan lembab. Kamar itu hanya memiliki sebuah pintu terbuat dari kayu tebal, tanpa jendela dan sebuah lampu di langit-langit yang berwarna kuning dan sering berkedip-kedip. Selain dirinya, kamar itu hanya berisi sebuah tempat tidur kecil untuk satu orang dengan kasur yang begitu tipis.
Sahabat Stella di dalam sel hanyalah keheningan, dan sesekali kunjungan oleh penjaga yang mengirimkan makanan untuknya.
Sungguh, di saat seperti ini, Stella baru menyadari, betapa dirinya sangat merindukan matahari yang bersinar memanasi tubuhnya, dan juga dunia luar, dimanapun itu, selain di kamar kosong yang sangat dingin dan menakutkan ini.
Menarik nafas panjang, Stella mendudukkan tubuhnya di lantai dan kembali menyandarkan tubuhnya di dinding batu sambil memejamkan mata, merasakan hawa dingin yang menyesap ke punggungnya yang menempel di dinding.
Di dalam diam, benak Stella mengulang kembali kejadian yang baru saja berlalu. Sejak pembantaian yang dilakukan Xavier pada ayah dan keluarganya, Stella belum pernah melihat pria itu lagi.
Hari itu, pertama kalinya dalam hidupnya, Stella melihat seorang iblis yang sangat tampan.
Xavier menyebut Stella sebagai pelаcurnya, budаknya juga barang miliknya. Xavier benar-benar tidak menganggap Stella sebagai seorang manusia.
Masih teringat jelas di ingatan Stella, saat Xavier memasangkan kalung budаk di lehernya. Tatapannya adalah tatapan yang sangat dingin dan penuh penghinaan yang pernah Stella lihat di dalam hidupnya. Stella belum pernah bertemu orang yang memiliki tatapan penuh kebencian seperti Xavier membencinya.
Tetapi, Apakah Stella balas membenci Xavier?
Tidak. Sama sekali, tidak. Bahkan, Stella sangat memahami kebencian dan kemarahan Xavier pada dirinya. Stella sangat mengerti sekali.
Beberapa minggu yang lalu, semua orang masih mengenalnya sebagai Nona Muda Stella Costello, Putri kesayangan Dimitri Costello dan permata Keluarga Costello.
Saat Stella melangkah kemanapun, orang-orang akan menundukkan kepala sedalam-dalamnya memberi hormat. Tidak ada orang yang berani melihatnya dua kali. Tidak ada orang yang berani menatap langsung ke matanya. Tidak ada orang yang berani berjalan di depannya, kecuali kalau orang itu sudah tidak ingin hidup lagi, dan ayahnya, Dimitri Costello memastikan semua hal itu.
Namun, sekarang Dimitri Costello telah tiada, ayah Stella sudah mati, seluruh kekayaan dan aset keluarganya sudah diambil alih oleh Putra Mahkota keluarga Leone, Xavier Leone. Stella juga tidak tahu bagaimana nasib sahabat dan keluarganya yang tersisa.
Xavier bahkan tanpa ragu telah menginjak-injak harga diri Stella, dengan menjadikannya seorang budаk, bahkan kedepannya mungkin Stella akan dijadikan sebagai pеlаcurnya juga.
Stella yang masih asik melamun, terpaksa mengembalikan kesadarannya ke bumi saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat.
Dengan sedikit takut-takut tetapi juga penuh harap, Stella mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar. Dan tak lama, pintu kayu tebal itu terbuka dan masuklah seorang penjaga.
Stella mengenali pria yang baru saja masuk sambil membawa sebuah nampan. Pria ini yang biasanya membawakan makanan untuk Stella, jika dia ingat kalau dirinya masih memiliki tugas untuk memberi makan Stella.
Saat melihat makanan yang berada di atas nampan, perut Stella bergemuruh keras, rasa lapar menyerangnya, membuat Stella menyadari, jika ini adalah hari yang baru, berarti ini adalah makanan pertamanya pada hari itu, dan sepertinya saat ini malam sudah kembali menjelang.
“Silahkan makan, Nona Muda.” Meski penjaga itu memanggil ‘Nona Muda’ pada Stella, tetapi nada meremehkan dan senyum menghina menghiasi wajahnya. Semua orang di tempat ini membenci Stella, dan dia sangat tahu itu.
Stella mengangkat tinggi dagunya dengan sikap menantang, bibir pucatnya terkunci rapat, karisma seorang bangsawan yang sudah tertanam di dalam dirinya sejak kecil, terlihat dengan jelas.
Mendengus kesal melihat kesombongan Stella yang masih tetap tersisa, penjaga itu kemudian melanjutkan kata-katanya dengan datar dan dingin, sebelum pergi dan mengunci kembali pintu penjaranya. “Tuan Xavier akan datang sebentar lagi. Bersiaplah untuk bertemu dengannya.”
Mendengar rencana kedatangan Xavier, darah Stella terasa membeku. Rasa takut kembali menghantuinya. Berapa lamapun Stella mencoba mempersiapkan diri, dia tahu dirinya tidak akan pernah siap untuk menghadapi Xavier. Namun, Stella tahu, penundaan hanyalah kesia-siaan, pertemuan mereka tidak akan pernah bisa dihindari.
======
Stella tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, saat dia kembali mendengar suara-suara langkah kaki yang mendekat.
“Buka pintunya, Lex.” Sebuah suara berat, datar dan dingin, membuat Stella seakan bisa merasakan tiupan angin dingin merayap di tubuhnya, membuat semua bulu tubuhnya meremang.
Seumur hidupnya, Stella belum pernah mendengar suara yang begitu dingin, hingga mampu membuat darah terasa membeku.
Suara bunyi kunci yang berputar, membuat Stella semakin erat menarik kedua lututnya merapat ke dаdanya. Kepalanya ditundukkan sedalam-dalamnya diantara kedua lututnya.
Suara langkah kaki terdengar semakin mendekat. Stella memperkirakan hanya Xavier yang mendatanginya. Kamar yang tadinya terasa begitu kosong, mendadak sekarang terasa menyesakkan, membuat Stella tidak berani sedikitpun mengangkat wajahnya.
Dengan kepala yang masih menunduk, sepasang sepatu kulit buatan desainer ternama, dengan harga yang sangat fantastis, memasuki pandangan Stella.
“Sampai kapan kau hanya akan menatap sepatuku?” Suara dingin itu kembali terdengar. Membuat Stella mau tidak mau mengangkat pandangannya perlahan.
Stella melihat sepasang kaki panjang yang terbalut celana dengan bahan yang Stella yakin sangat halus dan nyaman, sama-sama buatan desainer ternama dengan harga satu setelan saja mencapai ratusan juta.
Tatapan Stella berlanjut naik dan menatap dаda bidang yang tertutup kemeja putih dan jas yang senada dengan celananya, buatan desainer yang sama.
Hanya dengan melihat struktur wajahnya, Stella sangat yakin, Xavier pasti adalah seorang pria yang sangat tampan. Meski ada segaris bekas luka yang dalam di salah satu pipinya, yang jelas-jelas tidak mampu mengurangi ketampanan Xavier, malah membuat dirinya terlihat semakin liar, seksi dan berbahaya.
Tubuh Xavier tinggi besar, gagah perkasa layaknya seorang prajurit, dia juga memiliki wibawa dan karisma seorang pemimpin.
Perbudаkan yang dilakukan oleh Dimitri, tidak mengurangi keagungan Xavier sedikitpun, wibawanya tak hilang oleh siksaan terus menerus yang didapatnya. Harga dirinya tetap sangat tinggi tak peduli sebanyak apapun dia dihina.
Di usianya yang baru mencapai 30 tahun, kekuasaan Xavier sudah sangat besar, nyaris tidak ada orang yang tidak mengenalnya di seluruh negeri ini.
Sampai akhirnya mata Stella menatap langsung sepasang mata coklat keemasan yang menatapnya dengan pandangan penuh kebencian.
Sang Raja Mafia dan Putri Yang Tertangkap saling bertatapan. Permusuhan diantara keduanya terasa sangat kental. Hanya saja, pada Xavier, bukan sekedar kebencian yang terlihat di matanya, tetapi juga rasa jijik dan dendam. Tidak ada sedikitpun kehangatan terpancar dari sepasang bola matanya.
Tanpa melepaskan pandangannya sedikitpun, Xavier melangkahkan kakinya mendekati Stella, dan membungkuk perlahan menyamakan tingginya dengan Stella. Tangan besarnya mengusap rambut pirang Stella yang begitu panjang hingga menyentuh lantai.
Tiba-tiba saja, tangan besar itu menjambak dan menghentak rambut Stella dengan keras ke belakang. Memaksa kepala Stella mendongak dan membuatnya langsung menatap sepasang mata yang dingin membeku. Sakit di kulit kepala Stella sangat menyengat.
“Saat aku datang, berlutut di depanku dan panggil namaku dengan hormat. Jangan hanya duduk dan bersikap seperti seorang pengecut serta menatapku dengan mata busukmu itu.” Mata Xavier memerah menahan emosi, sebelum ia melanjutkan perkataannya, “Buat lagi kesalahan yang sama, aku akan sangat senang sekali mendapatkan kesempatan untuk menghukummu.”
Stella mendapati kepalanya mengangguk patuh. Sebenci-bencinya Stella pada Xavier, tetapi Stella lebih membenci rasa sakit. Tidak sekedar benci, bahkan sudah menjadi trauma tersendiri bagi Stella. Jadi, Stella akan menghindari apapun yang akan menyakiti dirinya…jika mampu.
“Ya… Tuan.” Stella mengerang menahan sakit, sambil memperbaiki posisi duduknya menjadi berlutut di depan Xavier.
Mendengar panggilan Stella, rasa jijik berkilat jelas di mata Xavier.
Dengan kasar, Xavier melepaskan tangannya dari rambut Stella, tetapi bukan berarti semua berhenti disitu saja. Tangan besar itu turun menutupi buah dаda Stella. Jari besar Xavier mengitari kedua puncak bukit ranum Stella yang terlihat jelas dari luar kemeja katunnya yang menerawang.
Sejak Stella ditangkap, semua pakaian mewah dan bermerek yang dipakai Stella, ditanggalkan dengan paksa, termasuk pakaian dalamnya. Stella hanya diberikan sebuah kemeja katun lengan panjang tipis berwarna putih, berbahan murah dan bertekstur kasar, serta rok hitam lebar sepanjang lutut. Selain kedua pakaian itu, Stella tidak mengenakan apapun lagi.
Jari besar Xavier bermain-main sesaat di kedua ujung pаyudаra Stella, yang perlahan semakin mengeras, dan kemudian ia mencubit keras-keras keduanya, membuat Stella menjerit saat gelombang rasa sakit bercampur gelenyar aneh menyerangnya.
Xavier masih mencubit kedua benjolan kecil itu sambil menatap mata Stella. “Aku bukan Tuanmu, dan selamanya tidak akan pernah menjadi Tuanmu. Aku adalah Tuan bagi keluargaku dan orang-orangku dan kau bukanlah salah satu dari mereka. Kau hanyalah budаkku, Stella. Barangku.”
Stella mengangguk dengan cepat, dia tidak peduli dengan apapun yang dikatakan oleh Xavier. Saat ini satu-satunya yang ada di pikiran Stella hanyalah agar Xavier segera melepaskan putіng dаdanya yang terasa ngilu dan sakit.
Namun, sayangnya harapan tinggal harapan, bukannya dilepas, Xavier malah memelintir jarinya semakin keras, membuat Stella menggigit bibirnya menahan sakit. Mata Stella mulai berkaca-kaca.
“Kau akan memanggilku Master. Selalu ingat, kalau dirimu adalah budаkku, dan kau akan melayaniku seperti…ah tidak, kau bahkan lebih rendah daripada seorang pelayan.” Bibir tipis Xavier menyunggingkan senyum liar yang penuh dengan kebencian.
“Hmm, aku lupa. Tentu kau sangat tahu bagaimana seorang budаk melayani majikannya, bukan? Bagaimanapun juga, ayahmu pasti telah mengajarkanmu dengan baik, benar?” Jari-jari Xavier kembali memainkan dua tonjolan kecil di dаda Stella yang sudah membusung tinggi karena sentuhan Xavier.
“Y-Ya! Ya!’ Air mata Stella bercucuran tak tertahan, kedua tangannya mengepal dengan erat. “Tolong, lepaskan aku…!”
Bukannya merasa kasihan, jari Xavier kembali memelintir dengan keras, sambil menariknya ke atas, memaksa Stella untuk ikut berdiri. “Ya…Apa?!”
“Y-ya…M-Master.” Air mata kemarahan dan kali ini kebencian turut menggenangi mata biru Stella.
Xavier tidak pernah tahu, betapa Stella sangat membenci panggilan ‘Master’. Karena di keluarga Costello, panggilan itu diperuntukkan hanya untuk merendahkan harkat dan martabat seseorang.
Puas dengan sikap penurut Stella, Xavier langsung melepaskan jarinya. Raut wajahnya tetap datar tanpa emosi.
Untuk sesaat, Xavier tidak mengatakan sepatah katapun. Dia hanya menatap Stella dari ujung kepala sampai dengan ujung kaki.
Detik berikutnya, tangan besar Xavier meraih kerah kemeja Stella dan menariknya terbuka dengan keras, membuat kancing baju gadis itu terpental kemana-mana dan menampakkan bagian atas tubuh telanjang Stella di depan mata dingin Xavier.
Air mata terhina tercekat di tenggorokan Stella. Kedua tangannya menggenggam erat sisi roknya, sekuat tenaga Stella menahan diri, agar kedua tangannya tidak bergerak untuk menutupi tubuhnya yang terbuka dari pandangan Xavier.
Mata Xavier tidak memperlihatkan perubahan apapun saat dia memperhatikan tubuh setengah telanjang Stella. Tidak ada kilatan nafsu, gairah, tidak ada apapun.
Meski begitu, tangan Xavier bergerak membelai bolak balik antara kedua pаyudаra Stella, membuat kaki Stella gemetar keras. Matanya hanya bisa menatap lantai dengan pandangan yang kabur.
“Alex!” Xavier memanggil.
Mendengar suara Xavier, tubuh Stella langsung membeku. Setengah mati, Stella berusaha memberontak untuk melepaskan tangan Xavier dan berusaha menutupi tubuhnya yang setengah telanjang.
Namun, bukannya melepaskan, kedua tangan besar Xavier malah meremas kedua bukit kembar Stella semakin erat, menghentikan apapun tindakan yang telah direncanakan Stella, kecuali kalau Stella ingin merasakan sakit ditubuhnya semakin kuat.
“Tuanku?” Sosok tinggi besar nyaris sebesar Xavier melangkah masuk dan langsung menatap kearah Xavier.
“Lihat budаk ini, Lex. Kau suka dengan apa yang kau lihat?”
Mata Alex melihat dengan teliti tubuh telanjang Stella, dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan menilai.
Sungguh, andai bisa, Stella sangat berharap tanah yang di pijaknya saat ini terbuka dan menelannya, Menyembunyikan dirinya dari hal yang memalukan ini.
Namun, kenyataannya, Stella hanya bisa berdiri dengan tegak, mengangkat dagunya dengan penuh harga diri dan menatap Alex dengan tatapan menantang penuh kemarahan.
Gairah terlihat jelas mewarnai mata Alex saat melihat tubuh dengan kulit mulus seputih s**u. Meski kedua pаyudаranya terhalang oleh tangan besar Xavier, tetapi Alex sudah bisa membayangkan keindahannya. Pandangannya terlihat sangat mеsum. “Boleh aku sentuh, Tuan?” Alex bertanya dengan penuh semangat.
“Nanti. Sekarang, keluar.”
Alex menatap Xavier kembali, dan Stella mendapatkan ada yang aneh pada pandangan pria itu terhadap Xavier. Benci? Bukan, bukan kebencian, melainkan sesuatu yang lain, tetapi Stella tidak bisa menjelaskannya untuk saat ini.
Alex melangkah keluar dari ruangan yang menahan Stella.
“Penjaga!” Xavier kembali memanggil. Tidak dengan teriakan, tetapi dua orang penjaga segera muncul dan menyapanya. “Ya, Tuan.”
Mata dingin Xavier tidak meninggalkan Stella sedikitpun, saat dia berkata, “Katakan pada pelayanku untuk membersihkan budаk ini. Aku ingin dia berada di kamarku malam ini.”
“Baik, Tuan.” Kedua penjaga itu terlihat enggan meninggalkan ruangan, mata mereka terus memandang penuh nafsu ke arah tubuh bagian atas Stella yang tidak tertutup apapun, kecuali kedua tangan besar Xavier yang masih merangkum kedua bukit kembarnya.
Tak ingin merasakan pandangan-pandangan mеsum dari pria-pria itu, Stella memutuskan untuk memusatkan pandangannya hanya pada Xavier. Kemarahan dan kebencian terlihat jelas di matanya yang berair. Sikapnya terlihat begitu menantang.
Selepas kepergian para penjaga, Xavier melepaskan tangannya yang menutupi bukit kembar Stella.
Xavier kemudian membungkukkan badannya, menyamakan tinggi bibirnya agar tepat berada di dekat telinga Stella, dan berbisik “Aku akan menyakitimu… Dengan amat sangat.”
“Aku pastikan kau akan tetap hidup untuk merasakan semua rasa sakit itu. Aku akan melakukan segala sesuatu yang ayahmu pernah lakukan padaku dan keluargaku, dan aku berjanji…” Xavier menghentikan kalimatnya sesaat, matanya terus memperhatikan setiap perubahan di wajah Stella.
“Aku berjanji, akan melakukan yang lebih menyakitkan dibandingkan apa yang Dimitri Costello pernah lakukan kepada keluargaku dan diriku. Aku akan membagi dirimu dengan banyak orang, sebanyak yang kuinginkan, dan aku akan melatihmu menjadi anjing yang paling penurut.”
Setiap patah kata yang keluar dari bibir Xavier, membuat Stella bahkan nyaris bisa mengecap rasa takutnya sendiri, namun, Stella tidak pernah dididik menjadi pengecut oleh Dimitri. Satu-satunya didikan Dimitri yang disyukuri oleh Stella saat ini.
Sekuat tenaga Stella berusaha untuk tidak memperlihatkan ketakutannya. Stella sadar, semua ancaman yang dikatakan Xavier pasti akan menimpanya suatu saat. Meskipun bukan Xavier pelakunya, orang lain akan melakukan hal yang sama, karena perbuatan ayahnya yang memang keterlaluan kejam.
Melihat sikap Stella yang mencoba berani dan menantangnya, sudut bibir tipis Xavier kembali menaik, menyebabkan bekas luka di pipinya terlihat semakin jelas. “Aku berjanji, aku akan menghancurkanmu, Stella Costello.”
“Tidak, Xavier Leone, sampai kapanpun, kau tidak akan pernah bisa menghancurkanku. Kau monster!” Tanpa bisa ditahan, dan entah keberanian dari mana, kata-kata itu terlompat begitu saja dari bibir ranum Stella.