“Abang buruan! Eek mulu! Masa mempelai prianya bau eek bukannya wangi parfum!”
Mieko Tasya Adi—adik Ben—sudah terlalu gemas melihat pembawaan Ben sedari semalam. Bolak-balik ke kamar mandi, mundar-mandir, melamun, repeat! Padahal Ben mencintai Anne, lantas apa yang membuat Ben segugup itu menghadapi pernikahan?
“Lo tau sendiri gimana perfectionist-nya Papa Ga, kan Bang? Kecium dikit bau eek, kelar hidup lo! Ngga jadi nikah!”
Pintu kamar mandi terbuka, Ben melangkah keluar.
Mieko mengerutkan kening. “Kok ngga di-flush?” tanyanya seraya menutup hidung.
“Gue ngga eek!” jawab Ben seraya menjitak kepala Mieko.
“Terus ngapain? Nyari wangsit?”
“Mana ada pangsit di toilet?”
“Wangsit, Abang! Wangsit!”
Ben hanya menghela napas panjang, duduk di tepi ranjang.
“Kalau mau batal nikah, bilang dari sekarang, jangan nyusahin nanti!”
Mata Ben menatap tajam.
“Auw! Takut!” ledek Mieko dengan bibir meliuk-liuk.
“Lemes banget mulut lo!” sambat Ben. “Bikinin gue kopi, buru!”
Mieko mendengus keras, namun tak sampai hati menolak permintaan sang abang. Ia beringsut ke meja pantry di sudut kamar, mulai sibuk menyiapkan segelas latte untuk Ben.
Sementara calon mempelai pria masih bolak-balik mengatur napas.
Jantung Ben rasanya sudah lari duluan dari dad4.
Bukan karena gugup dengan proses akad yang sebentar lagi akan dimulai. Bukan pula karena takut lupa kalimat ijab kabul. Ia sudah latihan lima malam berturut-turut sambil ngaca dan role play dengan ayahnya, lengkap pakai nada dan intonasi yang katanya ‘harus mantap dan meyakinkan.’ Bukan juga khawatir keseleo lidah saat nyebut nama calon istrinya yang lebih mirip nama peri di negeri dongeng. Namun sekarang, di ruangan kecil yang nyaris beku karena suhu rendah pendingin udara dan aroma diffuser ocean, Ben masih juga merasa kepanasan.
Ia mematut dirinya di cermin—setelan jas hitam yang pas badan, dasi berwarna champagne, rambut yang sudah ditata dengan gaya ‘nggak keliatan niat, padahal niat banget’, dan sepasang iris cokelat gelap kebiruan yang kini menatap dirinya sendiri dengan ekspresi campur aduk.
“Ben, lima menit lagi turun.” Ayahnya menyeru dari balik pintu membuatnya refleks menarik napas panjang.
Lima menit. Lima menit sebelum hidupnya berubah selamanya.
“Kopinya gimana nih?” tanya Mieko.
“Jangan panas, Dek,” balas Ben.
“Oke.”
Ben menyentuh dadanya, lalu menatap bayangannya. “Tenang, bro. Ini cuma nikah. Lo udah nunggu belasan tahun buat ini. Masa sekarang kuyup kayak abis lari keliling kompleks?” monolognya.
Mieko menghela napas panjang, menggeleng iba. “Belum juga nikah, udah gila duluan abang gue,” gumamnya.
Di depan cermin, Ben nyengir sendiri. Tangannya gemetar, namun seperti biasa mulutnya tetap jago menyambat dan bercanda.
Toh bagaimana pun, hari ini adalah puncak dari perjalanan panjang. Sebuah jawaban dari doa-doa sunyi yang ia panjatkan sejak masih mengenakan seragam putih biru. Hari ini, ia akan resmi menjadi suami dari perempuan yang dulu kerap ia omeli karena sikapnya terlalu lembut, yang dulu ia panggil ‘Anne-noying’ karena seringkali mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab sendiri, yang selalu membuatnya tak tenang jika lama tak kelihatan. Namun… selalu sukses membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
Ben menarik napas dalam sekali lagi, lalu menghela pelan. Ia membuka kotak kecil dari beludru hitam di meja rias, menatap cincin di dalamnya. Polos, klasik, sedikit doff, dan di bagian dalamnya terukir kecil:
B.A ❤️ L.A—since always.
“Nih!” Mieko menyodorkan gelas kopi ke depan wajah Ben.
“Duduk, Dek,” tanggap Ben seraya menerima gelas tersebut. “Thanks.”
Kopi disesap pelan, tak terburu-buru, seolah peringatan lima menit lagi tak sanggup membuatnya siaga.
“Bang?” tegur Mieko.
“Apa?” sahut Ben.
“Kalau lo sudah jadi suami, gue masih boleh curhat?”
Ben menoleh, menatap adiknya yang masih tanggung itu. Tujuh belas tahun, kalau kata orang lagi sedeng-sedengnya. Maksudnya, anak-anak bukan, dewasa juga belum. Tapi kalau menurut Ben, lagi gila-gilanya. Sedeng = gila.
“Lo tuh adik gue, bukan selingkuhan gue. Dari mana asalnya lo ngga boleh curhat ke gue meski gue udah nikah?”
“Ngga usah ngegas, Bang!”
“Lo yang ngegas!”
“Susah ngomong sama lo! Kasian banget Kak Anne.”
“Kasian gue yang jadi abang lo! Ruwet!”
Keduanya sama-sama mendengus, lalu tergelak kompak.
“BEN! MIEKO!” Suara sang ibu terdengar menggelegar dari lantai bawah.
“Buruan, Bang,” ujar Mieko seraya beranjak dan melangkah menuju pintu kamar Ben. Ia keluar lebih dulu, sementara Ben meneguk habis kopinya sebelum menyusul sang adik.
“Sudah siap, Bang?” tanya Borne—sang ayah begitu Ben menapakkan kaki di lantai dasar villa yang mereka tempati.
“Siap... sambil mau muntah,” aku Ben, jujur.
Borne terkekeh. “Normal. Abang kan manusia.”
“Ayah juga gugup waktu mau nikah sama Ibu?”
“Guguplah, mana Ibu minta putus.”
“HEH! Ngarang aja!” sentak Debby—ibu Ben, sementara Borne makin tergelak.
“Sudah ih, ribut mulu nih Ayah sama Ibu. Nanti aja debat lagi habis akad. Sampai telat datang ke venue, bisa gila beneran tuh Bang Ben.”
“Mulut wey! Mulut! Gue lakban juga mulut lo!” balas Ben.
“Ngomel mulu ih!”
Ben mendengus. Borne merangkul putranya sebelum mereka keluar bersama, berjalan menyusuri jalan setapak yang membawa mereka ke titik kumpul keluarga sebelum beranjak ke venue akad nikah. Musik petikan gitar akustik terdengar samar dari tempat pelaksanaan. Para keluarga sudah menunggu.
Titik pandang Ben beralih ke wedding arch yang menjadi titik awal iring-iringan pengantin pria. Langit-langit venue tampak dihias bunga putih yang menjuntai dan lampu-lampu gantung nan cantik, membentuk suasana yang magical.
Ponsel Ben bergetar, ia menyempatkan diri merogoh saku meski barisan keluarga di belakangnya sudah siap. Notifikasi di layar membuat senyumnya otomatis terbit.
Anne-noying: Ben, kita jadi nikah kan?
Ben menghela napas panjang, dua jempolnya mengetik cepat. ‘Pake nanya!’ Lalu ia hapus lagi. Ia diam sejenak, mencoba merangkai kata yang efek sampingnya tak sampai membuat ambyar mood Anne.
Ben: Jadi dong, sayang. Nih sudah di depan venue. See you di meja akad, baby.
Anne-noying: Kamu salah makan?
***
“Benjamin Bastian Adi bin Borneo Nata Adi, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya—Lucianne Anoushka Collins Pranata binti Devandra Andreas Collins dengan mahar berupa logam mulia seberat dua ratus lima puluh gram, tunai."
“Saya terima nikah dan kawinnya Lucianne Anoushka Collins Pranata binti Devandra Andreas Collins dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Serempak semua saksi momen sakral tersebut menggemakan kata SAH, lalu diikuti doa semoga pasangan yang baru saja menjalin mahligai pernikahan tersebut dikaruniai kebaikan yang tak pernah putus.
Selepas menandatangani bermacam berkas, kedua mempelai beranjak dari meja akad. Beberapa langkah dari sana, berlatar wedding arch dengan bunga-bunga putih, mereka berdiri. Pengantin wanita dengan wedding dress simple yang jatuh anggun di tubuhnya. Sementara pengantin pria tampak gagah dalam setelan hitam.
Ben menyematkan cincin di jari manis Anne, Anne menyusul menyematkan simbol pengikat tersebut di jari suaminya. Mereka saling menatap sejenak sebelum Ben memanjatkan doa di pucuk kepala sang istri.
Lalu… ciuman itu pun terjadi. Diiringi sorak-sorai para saksi. Tak hanya keluarga, namun juga mereka yang menyaksikan perjalanan kasih yang berlangsung sejak belasan tahun yang lalu.
“Jadi, sejak kapan lo nyadar kalau Anne is The One, Ben?” tanya Bintang, salah satu sepupu Anne. “Jangan bilang dari piyik!”
Ben terkekeh. Ia merangkul Anne, mengecup pelipis istrinya. Pertanyaan itu tak ia jawab, meski Ben sangat tau jawabannya.