BERAWAL DARI BODYGUARD

1622 Kata
Enam belas tahun yang lalu. “Ngapain lo ikut campur?” Vito namanya, dikenal sebagai siswa tersombong dan dingin. Katanya sih anak orang kaya, banget, generasi keempat. Dari bayi sudah biasa ditinggal orangtuanya business trip. “Ini namanya bullying, Bang. Kok Abang diam aja?” sahut Ben. Dia juga berasal dari keluarga yang mapan, tapi ayahnya ‘nyebelin’, sementara ibunya bucin kronis sama ayahnya. Jangan pernah ngebayangin Ben bisa hidup petantang-petenteng. Mau beli sepatu baru aja harus lolos tantangan yang ayahnya berikan. Yang paling ringan adalah selesai baca sejumlah buku, lalu presentasi ke ayahnya—summary dan best part dari buku yang ia baca. Kalau si Ayah puas, baru reward meluncur mulus. Ben itu pembawaannya juga sengak, songong, hobi bikin orang kayak Vito kesal setengah hidup. Harap digaris bawahi; kayak Vito. “Gue ngga lihat ada bullying,” sahut Vito. “Lo pada lihat?” tanyanya kemudian ke tiga temannya yang lebih cocok diberi label ‘kacungnya Vito.’ “Katarak lo, Bang? Glaukoma? Keratokonus?” balas Ben. “Ngomong apa sih lo?” Ben mendecih. “Kenapa lo ganggu dia, Kak?” Ben beralih ke Nymeria, cewek ter—sok-cantik se-SMP Northvale International. Kalau Ben masih siswa baru, Vito dan Nymeria ini baru naik ke kelas IX. “Siapa yang ganggu? Gue cuma ngajak kenalan. Ngga boleh?” balas Nymeria, sementara dua orang temannya yang lain ngekek kayak orang tersedak. Kalau menurut Ben, nama kakak kelasnya itu dark banget. Berasa lagi ngadepin pemeran antagonis cewek di novel fantasy. “Dengan bikin orang yang lo ajak kenalan duduk di tanah? Isi tasnya berhamburan? Dan itu… tumbler-nya kok bisa di lo?” “Ini tumbler gue!” elak Nymeria. “Mana sanggup tukang bully kayak lo beli tumbler kayak begitu?” balas Ben lagi. “BACOT LO! ANAK BARU SUDAH BERANI BELAGU KE KAKAK KELAS.” “BALIKIN GUE BILANG!” balas Ben. Enak aja neriakin Ben, emangnya Nymeria siapa? Cuma karena dia lahir duluan, bukan berarti bisa seenaknya ninggiin suara ke Ben. Dan bagi Ben, komplotan perisak seperti tujuh makhluk di hadapannya, bukanlah manusia. Jadi, ngga perlu mandang gender. Biarpun betina, halal buat diteriakin. Toh Nymeria duluan kok yang ngebentak. “Anjing!” Vito mengikis jarak dengan Ben. Bugh! Vito menghadiahkan satu tinju di pipi kiri Ben. “Kok mukul?” tanya Ben, menahan emosi. “Kok mukul?” tiru Vito, dengan bibir menye-menye macam banci. Tangan Vito melayang lagi, kali ini mencengkeram kerah kemeja Ben. “Heh anjing culun!" Padahal Vito yang culun, Ben cuma kalah tinggi sedikit doang. "Berani nyari masalah lo sama gue? Kalau gue bilang ngga ada bullying, artinya semua aman! Paham lo?” “Kenapa gue harus nurut sama lo?” tantang Ben lagi. “Karena gue bisa bikin bokap lo—yang tol0l sampai punya anak t0lol kayak lo—bersujud di kaki bokap gue! Kalau lo mau aman sekolah di sini, ini peringatan pertama dan terakhir, jangan bikin masalah, dan pastiin lo selalu beliin kami bertujuh sarapan yang proper!” Ben tergelak. Vito menyeringai. “Kalau kayak gini, bikin masalah ngga?” tanya Ben kemudian. Kening Vito mengerut, menerka-nerka apa maksud Ben. Lalu, dalam hitungan detik yang rasanya sekedipan mata, Ben menghantamkan keningnya ke kening Vito hingga membuat Vito terjerembab ke belakang. *** Rekaman suara dari ponsel Borne-Ayah Ben-baru saja berakhir. Borne paham jika gejolak hormon sulit dibendung di masa puber. Dari mulai jatuh cinta, ingin membuktikan diri, sampai emosi yang mudah terpancing kerap mewarnai fase pertumbuhan tersebut. Jadi, demi menjaga putranya, terutama saat Borne tak bisa mendampingi Ben, Borne meminta Ben mengenakan sebuah jam tangan yang terkoneksi ke ponselnya. Sebelum Ben maju ke medan tempur pagi tadi, ia mengaktifkan perekam suara di arlojinya, lalu mengirimkan ke sang ayah begitu keamanan sekolah dan beberapa guru berlari untuk menyelamatkannya dari keroyokan. Di hadapannya, ibunya Vito menunduk malu, sementara sang ayah menatap berang pada putranya. “Papa Mama sampai ketinggalan pesawat hanya untuk mengurusi kenakalanmu?” “Bokap gue juga harusnya flight ke London. B aja tuh. Lebay!” gumam Ben yang tetap saja terdengar semua pasang telinga yang mengisi ruangan kepala sekolah tersebut. “Ben!” tegur Borne ke putranya. Ben mengalihkan tatapannya, ke Anne-si korban bullying yang duduk di sampingnya. Ia mendecak. “Bersihin rok lo. Papa Ga ngamuk nanti!” “Ben ke rumah sakit gih,” balas Anne, sengau. “Jangan nangis! Bisa patah tulang leher bapaknya Vito dibikin Papa Ga gara-gara lo nangis.” Anne buru-buru menyeka air matanya. Borne dan Debby menggeleng kompak melihat keduanya. Berselang detik, pintu ruangan itu terbuka. Kedua orangtua Anne akhirnya tiba. Eddie-Kepala Sekolah SMP Northvale International berdiri dari duduknya, hendak menyambut. “Pak Dirga,” sapanya seraya mengulurkan tangan. Dirga hanya melirik dingin, lalu menyapukan pandangannya ke setiap orang di ruangan itu. Sementara Andien-ibunya Anne-langsung mendekati putrinya, memastikan Anne baik-baik saja. “Kalian yang mem-bully putri saya dan memukuli Ben?” tanya Dirga. Eddie menurunkan tangannya yang sejak tadi menggantung sendirian di udara. “Begini, Pak Dirga …” Eddie mencoba memberi penjelasan. “Saya akan memperkarakan sekolah ini, menarik investasi saya, dan melaporkan semua pihak yang melakukan bullying dan yang mencoba melindungi—“ ucapnya, belum pungkas, tergantung. Bukan tanpa sebab, namun karena seringai meremehkan yang hadir di wajah Vito. “Apa kamu mau melihat ayahnya Ben yang kamu hina t0lol menggulingkan usaha orangtuamu, boy?” ujar Dirga lagi. Vito membeku, sementara sang ayah terpaku menatap Dirga. “Telpon Dae-Ho!” titah Dirga kemudian pada Borne. “Tunjukkan pada anak itu kalau satu panggilan saja bisa membuat saham perusahaan ayahnya terguling dari stock exchange. Kita lihat siapa yang bersujud di kaki siapa!” *** Waktu istirahat siang tiba. Ben ngacir duluan meninggalkan kelasnya, bahkan gurunya yang berjalan santai ia salip sambil lari mundur. Tangan kanannya menggenggam lunch bag, sementara tumbler berbentuk dumbbell ada di tangan kiri. Kalau biasanya anak laki-laki kelas VII otot-otot badannya belum jadi, beda dengan Ben. Punya Ayah yang fans berat latihan beban, membuat Ben sudah kenal dumbel, barbel, kettlebell, dan antek-anteknya jauh sebelum dia kenal sama Anne. Badannya bugar dan atletis untuk anak seusianya. Tiba di gedung siswi, Ben masih berlari. Tujuannya adalah kelas di ujung kanan lantai satu. Begitu tiba, semua penghuni kelas tersebut sontak mentapnya, termasuk Anne. “Kok ke sini?” tanyanya begitu Ben mendekati mejanya. “Ngga ada peringatan ‘dilarang masuk bagi Benjamin Bastian Adi’,” jawab Ben seraya memperhatikan pakaian Anne. Roknya masih kotor karena terkena tanah basah saat ‘dikeroyok’ pagi tadi. “Yuk, gue antar beli rok baru,” ujar Ben kemudian. “Pinjam aja, setau gue bisa,” timpal Arini, teman Anne yang duduk di depannya. “Ngga usah, kerjaan gue lagi nanti yang ngingetin Anne balikin,” jawab Ben, ketus. “Ayo!” ajaknya lagi ke Anne. Anne berdiri perlahan, namun Ben memperhatikannya—wajah yang sedikit menegang, gerakan tangan yang refleks menekan sisi paha, dan langkah yang sedikit timpang. Ben tidak berkomentar. Hanya berjalan setengah langkah di depan Anne. Di kepalanya, semuanya ia hubungkan satu demi satu: jatuhnya Anne tadi pagi, gaya duduknya yang berat sebelah, dan kini langkahnya yang terseret pelan. 'Sial! Kenapa gue baru ngeh sekarang?’ Begitu sampai di koperasi sekolah, Ben mendahului Anne membuka pintu. Staf yang jaga—Bu Asri—baru saja merapikan deretan kaus kaki dan perlengkapan pramuka yang dipajang di rak kaca. “Bu,” sapanya. “Rok ukuran S ada?” “Buat siapa?” Ben menunjuk Anne. “Dia.” Anne mencengir kaku. “Ukuran M, Bu. Jangan S. Terlalu ngepas nanti.” Asri mengangguk, ia mengambil bawahan putri yang dibutuhkan, lalu menyerahkannya ke Anne. Sementara Anne beranjak ke toilet putri yang hanya beberapa langkah dari sana, Ben meminta hal lainnya. “Punya antiseptik, kasa steril, sama plester, Bu?” “Luka?” “Kayaknya iya, Bu,” tanggap Ben. “Kenapa ngga ke UKS?” “Lewatin kelas IX, Bu.” “Oh.” Setelah Anne kembali dan Ben mendapat semua yang dibutuhkan, Ben menarik Anne keluar dari koperasi. Namun alih-alih menuju taman—yang biasa digunakan sebagian siswa/i makan siang—seperti dugaan Anne, Ben justru membelok ke sisi lain gedung. Sebuah jalur yang mengarah ke taman yang sama, namun dengan suasana yang lebih sepi karena berlawanan arah dengan lapangan atau kantin—tempat banyak anak-anak berkumpul. “Ben, kita mau ke mana?” “Nggak rame di sini.” “Lho, tapi—” “Duduk,” pinta Ben dengan nada datar namun jelas tak memberi ruang penolakan. Anne menurut. Ia duduk di bangku kayu yang ternaungi sebuah pohon. Ben jongkok di hadapannya, menaruh lunch bag di sebelah paha Anne, dan membuka kantong kecil berisi antiseptik dan kasa. “Angkat dikit rok lo, Ne. Sampe lutut aja,” pintanya dengan wajah yang memaling ke balik bahu. Anne mematung. “Apa?” “Lo pincang dari tadi. Luka lo belum dibersihin, iya kan?” Anne menunduk, pelan-pelan menarik ujung roknya naik. Di bagian lututnya, ada luka gesek sepanjang dua ruas jari. Sedikit membengkak, kemerahan, dan mulai berkerak. “Udah,” lirihnya. Ben mengembalikan titik pandangnya ke kaki Anne, lalu mendengus pelan. Ia kemudian menyemprotkan antiseptik dengan hati-hati. Anne meringis, tapi tak berujar apa pun. “Kok lo diam aja sih? Lo kan bisa karate, Ne,” gumam Ben. Anne tak menjawab. Ia menahan napas. Sekuat tenaga. Tapi begitu plester terakhir menempel, matanya mulai berkaca. Lalu tangisnya meledak begitu saja. “Aku tuh... kenapa sih, Ben? Kenapa aku ngga bisa jagain diri aku sendiri?” Ben diam. Ia tetap berjongkok di hadapan Anne, menatap lutut yang sudah terbalut rapi. “Aku takut, Ben,” isaknya. Ben menghela napas. Perlahan, ia mendongak, menatap Anne. “Kalau lo ngga bisa jagain diri lo sendiri…” Ben menyeka sudut mata Anne dengan sisi punggung jarinya, pelan. “...gue aja yang jagain lo.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN