“Uni….”
Ayah dan putrinya, Ibu dan putranya, menari elok di lantai dansa. Matahari perlahan meninggi, angin berembus pelan, wangi lembut bunga yang berpadu dengan aroma segar pinus mengisi udara. Denting piano, petikan gitar, dan gesekan biola mengalun merdu, mengiringi langkah demi langkah.
Tempat itu… saksi bisu saat Dirga dan Andien—orangtua Anne—menyatukan diri dalam ikatan pernikahan. Dan kini, pun menyaksikan ikrar sehidup sesurga dirinya dan Ben.
Kedua mata Dirga berkaca-kaca. Meski putrinya menikah dengan pria yang ia percaya, tetap saja kekhawatiran bertahta di hatinya. Semua momen bersama Anne berputar di benaknya. Mulai dari kali pertama mereka bertemu, kali pertama Anne memanggilnya Papa, kali pertama Anne meminta sesuatu darinya, kali pertama kencan ayah dan putrinya versi mereka, kali pertama Anne menangis dan mengadu di pelukannya, dan kali pertama Anne bercerita tentang Ben kala menyadari jika ia mencintai pemuda itu.
“Papa jangan nangis. Nanti Uni ikutan nangis. Kalau ngga bisa berhenti gimana?” jawab Anne.
“Uni cengeng sih!”
Anne terkekeh, meski kedua matanya terasa menghangat. “Papa yang ngajarin. Papanya cengeng, ngga aneh kan putrinya juga begitu?”
Kini Dirga yang tergelak. “Jangan pake toa ih. Itu kan rahasia kita.”
“Ngga, Papa,” sahut Anne di sela tawa.
“Uni mau Papa kasih tau rahasia pernikahan?”
Anne mengangguk.
“Yakin? Papa pernah gagal lho.”
“Yakin banget, Pa. Lagian Uni ngga lihat gimana pernikahan Papa yang sebelumnya. Yang Uni lihat kan Papa yang sekarang, yang jadi papanya Uni.” Anne tersenyum sejenak saat air mata Dirga menitik begitu saja. Jemari yang sebelumnya bertumpu di bahu sang ayah bergeser ke wajah beliau, menyeka lembut. “Papa mau kasih pesan apa buat Uni?”
Gaun Anne menjuntai lembut di lantai, sederhana tapi anggun. Rambutnya ditata cantik natural, tanpa banyak aksesori. Dan senyumnya… jujur saja, Dirga agak kesal karena melihat putrinya harus berdandan cantik demi pria lain.
‘Mantu, Ga! Mantu! Resmi jadi putra lo juga itu. Ngga bisa diretur kecuali lo mau dibikin kesel sama Borne seumur hidup!’
Dirga mendengus, isi kepalanya sampai ke hati.
“Papa kenapa?” kekeh Anne.
Dirga menggeleng, lalu berdehem singkat. “Pernikahan itu kayak naik rollercoaster, Uni.”
Anne mengangguk.
“Awalnya seru, lama-lama mabok juga,” lanjut Dirga.
Tawa Anne pecah. Ia tau betul, papanya tidak sedang sinis atau mengeluh. Dirga selalu punya cara menyampaikan hal serius dengan pendekatan yang santai dan lucu.
“Kalau mabok gimana, Pa?” tanyanya di sela tawa.
“Tunggu berhenti dulu, turun, kalau mau muntah ya muntahin aja setelah mendarat,” jawab Dirga.
Anne memicingkan mata. “Jangan muntah pas rollercoaster-nya masih di atas, Pa?”
Dirga menahan tawa. “Sebisa mungkin jangan, supaya orang yang lagi seru-serunya main, ngga kena muntahan kita,” tanggap Dirga. “Habis muntah, istirahat dulu. Makan, minum, atau tidur. Lakukan apa pun yang bisa bikin tenang dan semangat lagi buat naik rollercoaster ronde selanjutnya. Jangan kapok. Taklukin sampai akhirnya kita bisa bilang, ‘ternyata seru juga’.”
Anne mengangguk paham.
“Uni ngerti maksud Papa?”
“Lama-lama mabok juga… yang Anne tangkap, kadang masalah rumah tangga tuh bukan satu hal besar, tapi hal kecil tapi terjadi terus-menerus dan akhirnya numpuk di titik jenuh. Kayak pas awal main rollercoaster, keretanya nanjak pelan-pelan, sampai akhirnya suasana di sekitar terasa mengerikan.”
Dirga mengedip lambat. “Terus?”
“Muntah aja,” jawab Anne. “Tapi, jangan asal muntah yang bisa bikin orang lain terganggu. Maknanya, pilih orang yang bijak untuk berdiskusi.”
Sang ayah terkekeh. “Good.”
“Terus… tenangin diri dan selesaikan masalah dengan kepala dingin,” lanjut Anne. “Lakukan berulang sampai kita mampu berkompromi dan beradaptasi.”
Dirga menatap putrinya dalam-dalam, lalu mengangguk. “Selama bukan KDRT dan perselingkuhan, inshaaAllah akan selalu ada solusi yang justru menguatkan kalian.”
Anne mengangguk mantap. “Makasih nasehatnya, Papa.”
Lagu berhenti, begitu pun langkah mereka. Namun Dirga tak langsung meninggalkan lantai dansa. Ia merengkuh sang putri, erat. “Uni selalu punya Papa dan Mama,” ujarnya, sengau. “Kapan pun Uni datang, pintu rumah selalu terbuka.”
“Iya, Papa. Papa Mama pun… selalu punya Uni. I love you, Pa.”
“I love you too, sweety.”
***
Jika sebelumnya tiga sepupu Anne—Arga, Bumi, dan Samudera—memainkan musik untuk mengiringi Eldra—abang Anne—menyanyikan Sweet Child O’ Mine dalam versi slow acoustic cover, kini mereka bermusik mengiringi Reina—kakak sepupu Anne—menyanyikan Never Grow Up.
Pasangan dansa Anne dan Ben pun berubah, kini Anne menari bersama Borne, sementara Ben dengan Andien.
“Ibu tadi bilang apa, Bang?” tanya Andien.
“Nangis doang, Ma. Padahal kemarin-kemarin tegar banget. Pas sungkem tadi juga masih senyum. Ibu bilang ngga mau nangis di hari bahagia Abang. Pas dansa malah sesenggukan,” jawab Ben.
“Memangnya Abang ngga sadar Papa Ga ngga balik ke kursi?” balas ibu mertuanya.
Ben menoleh ke meja-meja yang diisi keluarga dan orang-orang terdekat kedua belah pihak. Benar saja, Dirga tak nampak di sana.
“Ke mana tuh, Ma?”
“Ya nangis.”
“Kok Mama santai banget?”
“Pasti sudah disusulin sama Cantika. Kalau Mama yang nemanin nanti makin ngeraung.”
“Sama Ca ngga emangnya?”
“Nggalah. Ca kan galak. ‘Papa cup ih! Emang Papa mau Uni dan Ca jadi perawan tua?’”
“Berarti ngga baru hari ini nangisnya Ma?”
“Oh, dari Abang ngelamar udah mewek mulu si Papa.”
“Pawangnya Papa tuh Ca, Ma?”
Andien mengangguk. “’Tuh kan! Mulai lagi deh Papa!’ ujar Andien menirukan putri ketiganya. “Auto ngga jadi nangis.”
Ben malah tergelak. “Ngga kebayang kalau nanti Mieko mau nikah,” gumamnya kemudian.
“Yang pasti besannya bakalan dibikin kesal seumur hidup sama ayahnya Abang.”
“Mama juga dong?”
Andien mendengus keras, membuat tawa Ben pecah kembali.
Tak jauh dari mereka, Anne tengah berputar—tubuhnya ringan mengikuti irama, tangannya menggenggam tangan Borne yang terangkat di atas kepala. Gaunnya menjuntai lembut di udara, melambai-lambai seperti kelopak bunga putih yang menari bersama angin.
Borne hanya mengenakan kemeja putih dan vest abu-abu, entah di mana ia letakkan jasnya. Surainya tak lagi serapi saat akad tadi, namun justru membuatnya tampak seperti rockstar yang tersesat di pesta keluarga. Matanya berkaca-kaca, dan Anne menyadari itu, namun seperti biasa… ekspresinya bete, seolah baru menerima tagihan pinjol—yang sungguh mustahil—sebelum berdansa.
“Ayah mau nangis ya?” goda Anne.
Ayah mertuanya mengangkat alis. “Ngga mungkin,” jawabnya pongah.
Anne tergelak renyah. “Tapi Ayah ngembeng tuh.”
“Lagi alergi, Uni.”
“Alergi apa?”
“Alergi ditinggal.”
Sang menantu menghela napas pelan. “Siapa yang mau ninggalin Ayah? Ben?”
“Kalian tinggal di rumah Ayah aja gimana?” ujar Borne. Namun sedetik kemudian, ia menggeleng. “Jangan deh, nanti Uni ilfil sama Ayah.”
Anne tertawa lagi. “Ngga mungkinlah, Ayah.”
“Ngga mungkin tinggal di rumah Ayah?”
“Ngga mungkin ilfil sama Ayah.”
“Tapi ngga mungkin juga kan tinggal di rumah Ayah?”
“Iya,” jawab Anne di sela tawanya.
“Sudah kuduga, pasti kerjaannya si Burung ini!” sambat Borne.
“Daripada Ayah sama Papa berantem hayo?”
“Kalau itu ngga usah dipisahin. Dari bocah pun tiap hari Papa nyari ribut mulu sama Ayah! Sekarang mamanya Uni ikut-ikutan pula!”
Anne makin terbahak. “Tapi kata Papa, Ayah yang ngeselin.”
Borne mendengus keras, lalu ikut tertawa. “Kalau nanti Ayah jadi mertua yang ngeselin, tegur aja, ya Uni?”
“Nggalah Ayah. Ayah ngga pernah ngeselin Uni kok.”
“Tapi Ayah sering ngeselin Ben.”
“Ngga apa-apa,” jawab Anne, tak bisa menghentikan tawanya. “Lanjutin, Yah.”
“Malah lanjutin!”
“Kan bentuk sayangnya Ayah begitu. Uni ngga keberatan kok.”
Borne menyapukan pandangannya, berhenti di Ben dan Andien yang tengah berdansa pelan.
“Uni?”
“Kenapa, Yah?”
“Uni bahagia ngga?”
“Iya dong, Yah.”
“Masih bisa cabut nih kalau Uni mau mikir ulang. Kita naik taksi, nongkrong sambil makan pop mie sama sate.”
“Ngga nyambung banget pop mie sama sate, Yah.”
“Ayah siap nemanin nih.”
Anne mendengus, meski lengkung manis masih terpatri di bibirnya. “Uni bahagia, Yah. Beneran.”
Borne menatapnya agak lama, kemudian ia mengangguk. “Ben beruntung banget dapetin Uni. Ayah bersyukur. Dan ngga cuma Ben, Ayah, Ibu, dan Mieko juga beruntung. Kami dapat putri dan kakak sebaik dan secantik Uni.”
“Uni juga… beruntung jadi putrinya Ayah dan Ibu, juga kakaknya Mieko,” balas Anne, air mata bahagianya mulai mengenang lagi.
“Kalau nanti Ben bertingkah, cerita sama Ayah, ya Uni?”
“InshaaAllah, Yah.”
“Jangan cerita sama Papa duluan. Nanti Papa marah sama Ben, karena ngga ada bapak di dunia ini yang bisa lihat putrinya sedih. Bukannya Ayah ngga terima kalau itu terjadi.”
“Iya, Yah. Malah Anne nanti yang kesal sama Papa, dan Ben sakit hati ke Papa.”
“Kalau Ayah yang marahin Ben, dia ngga akan sakit hati.”
“Memangnya Ayah dan Ibu ngga akan sakit hati kalau Anne ngeluhin Ben?”
Borne menggeleng. “Ayah dan Ibu ngga akan sakit hati. Paling kesel sebentar. Tapi kami udah tau anak kami gimana. Kami yang ngebentuk dia.”
Anne menatapnya, mendengarkan.
“Kalau Uni ngeluhin Ben ke Papa, Papa pasti ngerasa gagal, menyerahkan Uni ke laki-laki yang salah. Papa akan nyalahin dirinya sendiri. Akan ada luka di sana yang ngga bisa diobatin cuma sama kata ‘udah baikan kok sekarang’. Bahkan ketika Uni dan Ben udah damai, luka di hati Papa bisa tetep nganga.”
Anne diam sejenak, menyerap semuanya.
“Begitu juga sebaliknya,” lanjut Borne. “Kalau Ben yang kesal, jangan cerita ke Ayah. Jangan ke Ibu. Ceritalah ke Papa dan Mama. Karena mereka yang ngebentuk Uni. Mereka lebih tau cara nenangin Ben soal Uni, daripada Ayah yang pasti auto marah karena ngerasa Ben ngga becus ngurus istri, atau Ibu yang merasa putranya disakiti.”
“Hmm…” Anne mengangguk pelan.
“Intinya, kalau kalian ribut dan butuh masukan, cari orang yang bisa ngademin, bukan yang bisa ngebakar suasana. Kalau salah milih tempat berkeluh-kesah, yang ada malah terbakar hangus tuh jembatan antar dua keluarga,” jelas Borne.
Anne terkekeh, sorot matanya berujar kagum. “Ayah keren ih.”
“Keren dong! Makanya laku.”
Anne tertawa lagi.
“Jadi mulai sekarang,” ujar Borne lagi. “Kalau Ben ngeselin, curhat dulu ke Ayah. Kalau perlu, Ayah yang cubit Ben. Tapi kalau Uni curhat ke Papa... yang dicubit bukan Ben, tapi harga diri Papa sendiri.”
Anne menarik napas panjang, lalu mengangguk dengan penuh rasa hormat. “Terima kasih, Yah. Uni belajar banyak hari ini.”
Borne membalas anggukan itu, lalu berbisik pelan, “Sini peluk dulu, anak Ayah.”
Anne pun memeluknya erat. Meski semua mata menatap. Karena di pelukan ayah mertuanya yang moody, sok nyebelin, dan katanya alergi ditinggal, Anne merasa aman.
***
Selepas dansa, Anne dan Ben bergandengan tangan menuju kamar ganti. Masih ada acara makan siang bersama dalam rangkaian hari bahagia mereka.
“Ben, sebentar deh,” ujar Anne sambil menahan langkah. Pandangannya tertumbuk ke meja penerima tamu.
“Kenapa?” Ben ikut berhenti, alisnya mengerut.
“Kepo aja sama daftar tamu.”
“Memangnya mereka bakalan nulis nyawer berapa aja?” balas Ben datar.
Anne tergelak. “Ya nggalah.”
“Lah terus ngapain dilihatin?”
“Ayo ih,” Anne menarik tangannya lagi.
Ben mendengus, mengikuti langkah Anne dengan malas. “Padahal kita bisa curi-curi ciuman dulu kan, sayang,” rajuknya.
“Ngapain curi-curi, kan udah halal,” balas Anne.
“Iya sih. Tapi kan ngga mungkin juga aku nyergap kamu di sini,” tanggap Ben.
Mereka tiba di meja tamu. Anne langsung membuka halaman pertama buku tamu, sementara Ben berdiri di sampingnya, lebih tertarik mengutak-atik dasinya yang sedikit miring.
“Nyari nama siapa sih?” tanya Ben sambil menguap. “Lagian kenapa juga masih pakai buku, padahal angpao-nya pakai QRIS. Ngga konsisten.”
Anne meliriknya tajam. “My grumpy hubby.”
“Ngga bisa diretur!” balas Ben.
“Siapa juga yang mau ngeretur?”
Anne membalik lembar demi lembar. Lalu… sebuah pesan dari salah satu tamu mencuri perhatiannya.
“Selamat sudah menikahinya, Ben. Aku terlambat ya?”
Jemarinya membeku sejenak di atas halaman. Perlahan, Anne menoleh ke suaminya yang malah sibuk membersihkan hidung.
Ben melirik, menatapnya balik dengan alis terangkat dan telunjuk yang masih di dalam lubang.
“Ini siapa, Ben?” tanya Anne seraya menunjuk tulisan tersebut.